Jurnal Syntax Transformation

Vol. 1 No. 7, September 2020

p-ISSN : 2721-3854 e-ISSN : 2721-2769

Sosial Sains

 

DIVERSI DAN PELAKSANAAN TANGGUNG JAWAB ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM (ABH)

 

Rima Khuriatul Rakhmatiah

Balai Pemasyarakatan Kelas 1 Bandung, Indonesia

Email: rimarahmatiah@gmail.com

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Diterima 2 September 2020

Diterima dalam bentuk revisi

15 September 2020

Diterima dalam bentuk revisi

20 September 2020

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana yang bertujuan untuk menanamkan rasa tanggung jawab pada anak pelaku tindak pidana/Anak yang berkonflik dengan Hukum sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang telah dilakukannya tanpa harus mendapat hukuman yang bersifat pembalasan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan proses pelaksanaan tanggung jawab yang dilakukan oleh ABH (yang perkaranya ditangani oleh pihak Balai Pemasyarakatan kelas 1 Bandung) setelah perkaranya diselesaikan melalui diversi. Kesimpulan dari tulisan ini bahwa pelaksanaan tanggung jawab yang harus dilakukan oleh ABH tidak dapat sendiri dilakukan oleh ABH melainkan memerlukan bimbingan  dari orang tua/keluarga dan bantuan dari pemerintah setempat atau masyarakat disekitarnya agar ABH dapat melaksanakan tanggung jawabnya dan tidak mengulangi tindak pidana lagi.

Kata kunci:

Diversi; Tanggung Jawab dan Anak Berkonflik dengan Hukum



Pendahuluan

Anak merupakan generasi penerus bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan Nasional. Anak adalah asset bangsa. Masa depan bangsa dan Negara dimasa yang akan datang berada ditangan anak sekarang.Semakin baik keperibadian anak sekarang maka semakin baik pula kehidupan masa depan bangsa. Begitu pula sebaliknya, Apabila keperibadian anak tersebut buruk maka akan bobrok pula kehidupan bangsa yang akan datang. Dengan demikian anak adalah masa depan suatu bangsa yang perlu dibina dan dilindungi agar kelak anak-anak tersebut tumbuh menjadi manusia pembangunan yang berkualitas tinggi. Namun dalam kenyataannya banyak ditemui seorang anak yang melakukan kesalahan atau pelanggaran terhadap norma hukum sehingga anak harus menghadapi permasalahan berat misalnya harus menghadapi proses hukum dan pemenjaraan. Jika sudah mengalami hal seperti itu, bagaimana anak akan menjadi asset bangsa yang dibutuhkan oleh bangsa, negara atau keluarga. Sementara untuk mengaktualisasikan kehidupan dirinya sendiri saja tidak mampu karena selama menjalani proses hukum dan atau pemenjaraan ruang gerak anak akan dibatasi oleh dinding dinding tempat penahanan atau pembinaan bahkan harus berpisah dengan keluarga untuk sementara. Belum lagi harus mengalami tekanan akibat label atau adanya stigma negative dari masyarakatnya. Balai Pemasyarakatan (Bapas) adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan dan pendampingan pada perkara anak (Pasal 1UU RI N0 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak /SPPA). Bapas Kelas 1 Bandung adalah unit pelaksana teknis diwilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat yang hingga tahun 2019 tugasnya meliputi 11 wilayah yaitu : Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, Kabupaten Sumedang, Kota Cianjur, Kabupaten Cianjur, Kota Sukabumi dan Kabupaten Sukabumi.

Berdasarkan data yang berasal dari Kantor Bapas Bandung, Selama 2 tahun terakhir ini jumlah anak yang telah melakukan tindak pidana cukup banyak yaitu tahun 2018: 361 kasus dan tahun 2019:326 kasus dan 20% nya dari tiap tahun masih harus menjalani serangkaian proses hukum dan harus menjalani pembinaan di Lembaga Khusus Anak (LPKA) yang diasumsikan sebagai pemenjaraan. Jumlah tersebut belum termasuk di wilayah lain dan belum termasuk jumlah tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang tidak dilaporkan oleh pihak korban kepada pihak kepolisian dalam artian jumlah pelaku anak yang tidak diketahui oleh pihak yang berwenang karena pihak korban tidak mau atau enggan melaporkannya kepada pihak kepolisian.. Adapun jenis tindak pidana yang dominan dilakukan oleh anak adalah pencurian, pengeroyokan atau kekerasan dan pencabulan atau persetubuhan

Dampak negatif dari tindak pidana yang dilakukan seorang anak sangatlah besar dan merugikan banyak pihak yaitu:

1.      Anak itu sendiri.

       Anak harus menghadapi proses penyidikan yang dilakukan oleh Polisi, Jaksa dan Hakim, harus menjalani penahanan dibalik jeruji besi hingga harus keluar masuk ruang sidang yang sangat mencekam sampai ahirnya harus siap menerima sanksi hukum yang diputuskan oleh pengadilan. Jika putusan pengadilan berupa  pembinaan di sebuah Lembaga atau yang dianggap sebagai penjara, anak akan terpisah dengan keluarganya walaupun untuk sementara. Setelah itu anak akan mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat yaitu pemberian label negatif serta dicurigai oleh masyarakat apabila anak telah selesai menjalani putusan pengadilan dan tinggal kembali ditengah tengah keluarga dan masyarakatnya. Dengan demikian anak akan sulit memperoleh kepercayaan kembali dari masyarakat.

 

2.        Pihak keluarga

Orang tua/keluarga/wali dari anak sudah pasti merasakan sedih dan kecewa terhadap anaknya. Selain itu orang tua/keluarga/wali harus terkuras tenaga, waktu dan pikiran serta materinya untuk mengurus kepentingan proses hukum anaknya. Banyak diantara mereka ada yang sampai jatuh sakit memikirkan nasib dan masa depan anaknya. Harapan yang besar kepada anak agar menjadi anak yang sukses seolah olah pupuslah sudah. Sejumlah rupiah sudah pasti terkuras untuk biaya transportasi mengikuti rangkaian proses hukum sang anak. Rasa malu kepada masyarakat disekitar tempat tinggalnya sudah terabaikan. Rencana Alokasi biaya yang tadinya akan digunakan untuk perbaikan/pertumbuhan kondisi ekonomi keluarga terhambat oleh proses hukum sang anak

 

3.      Pihak Masyarakat

Masyarakat disekitar tempat tinggal anak memang hanya merasakan turut prihatin dan kecewa terhadap anak karena sebagai warga masyarakat anak tidak dapat turut berpartisipasi aktif dalam kegiatan kegiatan yang diselenggarakan oleh masyarakat  karena anak harus menjalani putusan pengadilan atau pembinaan di Lembaga yang diselenggarakan oleh pemerintah. Disamping itu masyarakat akan merasakan ketakutan anak akan mengulangi lagi tindak pidananya di tengah tengah lingkungan mereka yang akan membuat mereka resah.

 

4.      Pihak pemerintah

Seperti halnya dengan yang dirasakan oleh masyarakat, Pemerintah pun akan turut kecewa kepada anak karena anak tidak dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan kegiatan pembangunan bangsanya. Proses regenerasi dalam pembangunan di segala bidang terhambat karena generasi yang tangguh, terampil dan smart akan  sangat langka dan lamban bergerak karena tersandung proses hukum.

 

5.      Pihak korban

Apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak menyebabkan adanya korban, akan muncul permusuhan atau setidaknya pertentangan antara anak dengan korbannya dimana dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru yaitu adanya rasa dendam dari pihak korban.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dampak negatif dari tindak pidana yang dilakukan oleh anak sangatlah merugikan dan lambat laun akan merusak tatanan sosial dan ekonomi dari lembaga yang paling kecil yaitu keluarga hingga negara. Untuk menghindari adanya dampak negatif dari tindak pidana yang dilakukan oleh anak, Undang Undang  RI N0 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) mengatur tentang Diversi.

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana (pasal 1). Dalam Undang Undang ini, anak yang melakukan tindak pidana disebut Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH)  yang telah berusia 12 tahun tetapi belum berusia 18 tahun. Tujuan utama diversi adalah untuk menanamkan rasa tanggung jawab pada anak sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang telah dilakukannya tanpa harus mendapat hukuman yang bersifat pembalasan. Tujuan penulisan makalah  ini adalah untuk menggambarkan tentang pelaksanaan tanggung jawab Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH) setelah perkaranya diselesaikan melalui diversi.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif.. Sugiyono (dalam Subhan, 2018:17) menyatakan bahwa Penelitian kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Penelitian kualitatif adalah penelitian dengaan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus yaitu bagaimana proses pelaksanaan tanggung jawab yang dilakukan oleh beberapa ABH (yang perkaranya ditangani oleh pihak Balai Pemasyarakatan kelas 1 Bandung) setelah perkaranya diselesaikan melalui diversi.

 

Hasil dan Pembahasan

          Menurut Undang Undang RI N0 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Diversi adalah (pasal 1) :  pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana. Tujuan diversi adalah (pasal 6) :

1.      Mencapai perdamaian antara korban dan anak

2.      Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan

3.      Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan

4.      Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi

5.      Menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak

          Proses pelaksanaan diversi harus berdasarkan “Keadilan Restoratif” yaitu “penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan” (pasal 1). Berdasarkan definisi tersebut maka hasil diversi dapat dikatakan sejalan dengan keadilan restoratif apabila:

Mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya

1.      Memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukannya dengan berbuat kebaikan bagi korban.

2.      Memberikan kesempatan bagi pelaku untuk dapat mempertahankan hubungan baiknya dengan korban.

3.      Memberikan kesempatan bagi pelaku untuk dapat mempertahankan hubungannya dengan keluarga.

          Diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri serta dapat dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan anak (pasal 7):

1.    Diancam dengan pidana penjara dibawah 7 tahun.

2.    Bukan merupakan pengulangan tindak pidana

Proses diversi wajib memperhatikan (pasal 8):

1.    Kepentingan korban

2.    Kesejahteraan dan tanggung jawab anak

3.    penghindaran stigma negative

4.    Penghindaran pembalasan

5.    Keharmonisan masyarakat

6.    Kepatutan, kesusilaan dan  ketertiban umum

          Apabila proses diversi berhasil dan mencapai kesepakatan, maka kesepakatan diversi dapat berbentuk (pasal 11):

1.    Perdamaian dengan atau tanpa kerugian

2.    Penyerahan kembali kepada orang tua/wali

3.    Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lambat 3 bulan.

4.    Pelayanan masyarakat.

          Menurut Levine dalam (Hambali, 2019) konsep diversi dimulai dengan pendirian peradilan anak pada abad ke19 yang bertujuan untuk mengeluarkan anak dari proses peradilan orang dewasa agar anak tidak lagi diperlakukan sama dengan orang dewasa.

          Menurut Wahyudi, 2011. Diversi sebagai bentuk pengalihan atau penyampingan penanganan kenakalan anak dari proses peradilan anak konvensional, ke arah penanganan anak yang lebih bersifat pelayanan kemasyarakatan, dan diversi dilakukan untuk menghindarkan anak pelaku dari dampak negatif praktek penyelenggaraan peradilan anak.

          Peter C. Kratcoski dalam (Pemasyarakatan, 2012) ada tiga jenis pelaksanaan program diversi yang dapat dilaksanakan sebagai berikut.

  1. Perlaksanaan kontrol sosial (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.
  2. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya.Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.
  3. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihakyang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pelaku.

          Terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan diversi. Beberapa prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Anak tidak boleh dipaksa untuk mengakui bahwa ia telah melakukan tindak pidana
  2. Program diversi hanya digunakan terhadap anak yang mengakui bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan. Tapi tidak boleh ada pemaksaan.
  3. Pemenjaraan tidak dapat menjadi bagian dari diversi. Mekanisme dan struktur diversi tidak mengijinkan pencabutan kebebasan dalam segala bentuk.
  4. Adanya kemungkinan penyerahan kembali ke pengadilan (perkara harus dapat dilimpahkan kembali keperadilan formal apa bila tidak ada solusi yang dapat diambil).
  5. Adanya hak untuk memperoleh persidangan atau peninjauan kembali. Anak harus tetap dapat mempertahankan haknya untuk memperoleh persidangan atau peninjauan kembali.
  6. Tidak ada diskriminasi (Sri Susilarti dkk, 2012: 206 dalam (Pemasyarakatan, 2012))

Syarat-syarat Keputusan hasil musyawarah

  1. Dapat dilaksanakan oleh para pihak
  2. Putusan tidak bersifat balas dendam, tetapi lebih merupakan solusi dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak, korban,dan masyarakat,sepeti misalnya berupa restitusi (ganti rugi) atau community service order (kewajiban kerja sosial).
  3. Putusan didasarkan pada adanya kesepakatan semua pihak yang terlibat dan dapat dilaksanakan.
  4. Masyarakat turut dilibatkan dalam pengawasan terhadap pelaksanaan putusan musyawarah (Sri Susilarti dkk, 2012: 206 dalam (Pemasyarakatan, 2012)

          Dengan demikian Dengan lahirnya Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak pada Pasal 6 tentang Diversi, akan memberikan suatu pemahaman baru yang dapat menjadi jalan keluar bagi masalah kejahatan yang dilakukan oleh anak di Indonesia.

          Menurut kamus Ensiklopedi Umum Bahasa Indonesia “Tanggung Jawab” adalah “kewajiban dalam melakukan tugas teretntu”. Menurut Daryanto, 2013, tanggung jawab adalah sikap dan perilaku untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

          Mu’in, 2013,  mengemukakan beberapa istilah yang berkaitan dengan tanggung jawab, yaitu:

1.   Duty (tugas): artinya apa yang telah diberikan pada kita sebagai tugas kita harus melaksanakannya.

2.   Laws (hukum dan undang-undang): kesepatan tertulis yang harus kitaikuti dan apabila kita melanggarnya berarti kita harus bertanggungjawab untuk menerima konsekuensinya.

3.   Contracts (kontrak): kesepakatan yang harus diikuti dan melanggarnyajuga tidak bertanggung jawab.

4.   Promises (janji): sebuah kesepakatan yang diucapkan yang harus ditepati sesuai dengan apa yang telah dibuat. Melanggar janji juga berarti tidak bertanggung jawab, tidak ada sanksi tegas tetapi akan menimbulkan kekecewaan. Orang yang ingkar janji adalah orang yang jelek karakternya.

5.   Job descriptions (pembagian kerja): melanggarnya berarti bukan hanya tidak bertanggung jawab, tetapi juga akan mengganggu kinerja seluruh rencana yang telah dibuat

6.   Relationship obligations (kewajiban dalam hubungan): apa yang harus dilaksanakan ketika orang menjalin hubungan. Melanggarnya bisa-bisa akan membuat hubungan berjalan buruk karena tanggung jawab sangatlah penting dalam sebuah hubungan.

7.   Universal ethical principles (prinsip etis universal): prinsip-prinsipbersama yang merupakan titik temu dari orang-orang atau kelompok yang berbeda latar belakang. Misalnya, hak asasi manusia (HAM),bahwa tiap orang berhak hidup, hak akan kehidupan material, pendidikan, dan kesehatan, adalah titik temu nilai-nilai yang disepakati oleh manusia seluruh dunia. Melanggar hal ini berarti tidak bertanggungjawab. Menghilangkan nyawa orang lain, membuat rakyat miskin, merupakan tindakan pimpinan negara yang tak bertanggung jawab.

8.   Religius convictions (ketetapan agama): nilai-nilai yang dianut oleh agama yang biasanya dianggap ajaran dari tuhan. Bagi penganut yang melanggarnya, akan berhadapan dengan aturan agama tersebut.

9.   Accountability:keadaan yang bisa dimintai tanggung jawab dan bias dipertanggung jawabkan. Misalnya dalam dunia politik kita sering mendengar istilah akuntabilitas public atau bublic accountability yang berarti bahwa sebuah jabatan publik harus dipertanggungjawabkan para rakyat. Misalnya, waktu rakyat yang tak pernah membawa aspirasi rakyat, tetapi malah melakukan penyimpangan berarti melanggar akuntabilitas publik.

10.  Diligence (ketekunan, sifat rajin): orang yang rajin dan tekun itu biasanya adalah orang yang bertanggung jawab. Tidak rajin dan  tidak tekun dalam menjalankan sesuatu sama dengan orang yang tidak bertanggung jawab. Ketika mengerjakan sesuatu secara malas-malsan pada saat tujuan untuk mencapai sesuatu sudah ditetapkan dan standar kerja untuk mencapainya bisa diukur, ia adalah orang yang tidak bertanggung jawab.

11.  Reaching goals (tujuan-tujuana yang ingin diraih): tujuan yang ingin dicapai bersama. Ini adalah tanggung jawab bagi orang yang telah menetapkan tujuan dan harus bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu agar tujuan itu bisa dicapai. Karena sekali tujuan ditetapkan, dibutuhkan kerja untuk membuktikan bahwa orang itu harus serius mencapainya.

12.  Possitive outlook (pandangan pisitif kedepan), yaitu suatu pandangan tentang masa depan yang positif yang harus dicapai untuk mewujudkan tujuan-tujuan berdasarkan visi misa yang ditetapkan.

13.  Prudent (bijaksana): orang yang melakukan sesuatu secara tidak bijaksana dapat dikatakan secara tidak bertanggung jawab.

14.  Rational (hal yang masuk akal): orang bertanggung jawab adalah yang mengatakan sesuatu secara hal yang masuk akal, tidak mengumbar kebohongan dan irasionalitas. Time management (pengaturan waktu): orang yang bertanggung jawab itu biasanya adalah orang yang bisa mengatur waktu dan konsekuen dengan jadwal yang telah ditetapkan.

15.  Resource management (pengaturan sumber daya): orang itu bias melakukan yang baik sebagimana kemampuan yang ia miliki. Tanggungjawab bisa diukur berdasarkan pembagian tanggung jawab seseorang berdasarkan kemampuannya, prinsip orang yang tepat sesuai tempat yang tepat (the right man on the right place). Orang yang dibebani tugasyang tidak sesuai dengan kemampuannya biasanya akan tidak bertanggung jawab melakukan sesuatu. Karena itulah, manajemen sumber daya sangatlah penting untuk mencapai tujuan.

16.  Teamwork (time kerja): orang yang menyimpang dari kesepakatan timdan ingin mengambil keuntungan untuk dirinya dari kegitan bersama tim adalah orang yang tidak bertanggung jawab.

17.  Financial independence (kemadirian keuangan): orang yang bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhannya dari uang yang ia dapatkan secara benar. Orang yang bertanggung jawab pada dirinya dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya karena kemandirian dalam memperoleh uang adalah bentuk tanggung jawab yang penting.

18.  Self-motivated (motivasi diri): orang yang bertanggung jawab itu memiliki kemampuan motivasi diri dan tingkat harapan yang kuat dalam dirinya. Tanggung jawab berakar dari rasa percaya diri dan kesadaran akan potensi diri yang bisa diaktualisasikan secara baik dalam keseharian

Ciri-ciri tanggung jawab  menurut (Mustari, 2014) adalah :

  1. Memilih jalan lurus
  2. Selalu memajukan diri sendiri
  3. Menjaga kehormatan diri
  4. Selalu waspada
  5. Memiliki komitmen pada tugas
  6. Melakukan tugas dengan standar yang terbaik
  7. Mengakui semua perbuatannya
  8. Menepati janji
  9. Berani menanggung resiko atas tindakan dan ucapannya

          Berdasarkan teori teori tersebut di atas dapat diartikan bahwa tanggung jawab wajib dilaksanakan secara sadar dengan cara menjauhi segala sifat negative dan mencoba untuk melakukan hal hal yang positif. Dengan demikian harus ada perubahan perilaku yang dilakukan oleh anak sebagai salah satu perwujudan tanggung jawab atas tindak pidana/pelanggaran hukum yang telah dilakukannya. Disamping itu pelaksanaan tanggung jawab yang dilakukan oleh anak tidak dapat dilakukannya sendiri melainkan butuh bimbingan, pembinaan, dan pengawasan dari orang tua, masyarakat dan pemerintah.

          Berdasarkan tujuan dan kerangka teori yang telah dikemukakan, proses upaya diversi harus dilaksanakan semaksimal mungkin dan secara sistematik. Para aparat penegak hukum  harus memahami tugasnya dalam melaksanakan upaya diversi. Hal ini dilakukan agar semua pihak yang terlibat dalam upaya diversi mengetahui dan memahami tujuan dilaksanakannya diversi sehingga proses diversi menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima oleh pihak korban serta dapat menanamkan rasa tanggung jawab pada ABH. Pertama kali UU Tentang SPPA diberlakukan yaitu Agustus 2014, proses upaya diversi banyak mengalami kendala. Pihak yang turut terlibat yaitu pihak korban dan aparat pemerintah setempat tidak memahami maksud dan tujuan diversi. Terlebih pihak korban. Mereka curigai aparat penegak hukum akan membebaskan ABH begitu saja. Aparat pemerintah setempat pun enggan terlibat dan seperti tidak mau direpotkan oleh permasalahan warganya. Namun setelah diselenggarakan sosialisasi Tentang SPPA kepada seluruh elemen masyarakat maka saat ini istilah “Diversi” sudah banyak yang memahami

          Berdasarkan data yang diperoleh dari Bapas Kelas 1 Bandung, ada beberapa perkara yang berhasil diselesaikan melalui upaya diversi:

 

 Tabel 1. Data Perkara Anak Yang Diselesaikan Melalui Diversi Periode Januari S.D Desember 2018

Proses Diversi Berhasil Di Tingkat

Bulan

Jumlah

J

F

M

A

M

J

J

A

S

O

N

D

 

Kepolisian

6

6

4

1

1

0

13

5

2

7

6

60

111

Kejaksaan

0

1

0

0

0

0

3

0

0

0

0

1

5

Pengadilan

0

1

1

1

0

0

0

3

0

0

1

0

7

JUMLAH

6

8

5

2

1

0

16

8

2

7

7

61

123

 

Tabel 2. Data Perkara Anak Yang Diselesaikan Melalui Diversi Periode Januari S.D Desember 2019

Proses Diversi Berhasil Di Tingkat

Bulan

Jumlah

J

F

M

A

M

J

J

A

S

O

N

D

 

Kepolisian

8

4

10

7

3

7

11

6

16

8

19

2

101

Kejaksaan

1

2

0

0

0

0

0

5

0

0

4

0

  12

Pengadilan

0

0

5

0

0

0

0

0

0

0

1

0

    6

JUMLAH

9

6

15

7

3

7

11

11

16

8

24

2

119

 

 

             Kesepakatan diversi mayoritas berupa perdamaian dengan ganti rugi materi yang diberikan oleh pihak keluarga ABH kepada pihak korban untuk mengganti atau membantu biaya pengobatan korban. Kesepakatan diversi dengan mengganti biaya kerugian yang dialami korban ini sebelumnya diawali dengan proses negosissi antara pihak korban dengan pihak ABH. Kesepakatan diversi dengan ganti rugi ini adalah merupakan tanggung jawab ABH dan orang tua/keluarganya dalam upaya memulihkan hubungannya dengan pihak korban. Pemberian ganti rugi ada yang dibayarkan secara langsung ketika proses upaya diversi berlangsung, ada juga yang diberikan beberapa hari/minggu setelah upaya diversi berlangsung. Hal tersebut disesuaikan dengan kesepakatan. Disamping itu pemberian ganti rugi ada yang dicicil dan ada juga yang dibayarkan secara kontan.

          Disamping ganti rugi, ABH pun diminta untuk meningkatkan ibadah sesuai kepercayaannya. Bagi yang beragama muslim, ABH diminta untuk menunaikan shalat wajibnya di Masjid terdekat di lingkungan tempat tinggalnya. misalnya khusus shalat Maghrib dan Isya saja. Sebagai upaya pengawasan, petugas Bapas Kelas 1 Bandung bekerjasama dengan aparat pemerintah setempat/pengurus DKM melakukan pengawasan bersama sama dalam jangka waktu tertentu disesuaikan dengan bunyi keputusan yang termuat dalam Berita Acara Kesepakatan Diversi. Hal ini dimaksudkan agar ABH memperlihatkan rasa tanggung jawabnya kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat yang diawali dengan bertobat atas kesalahan yang telah dilakukannya  dengan menjalankan norma agama seintensif mungkin agar terhindar dari berbuat salah kembali.

          Adapula kesepakatan diversi berupa mengikutsertakan ABH pada program pembinaan yang diselenggarakan oleh Lembaga penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS). Kesepakatan ini diputuskan apabila ABH sudah putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan kerja. 

          Proses upaya diversi yang berhasil dengan damai dan menghasilkan sebuah kesepakatan hendaknya disyukuri oleh ABH dan keluarganya karena ia terhindar dari ancaman proses hukum formal seperti menjalani persidangan dan atau pembinaan di Lembaga pembinaan yang sering diasumsikan sebagai pemenjaraan. Disamping itu ABH dan keluarganya hendaklah menghargai pengorbanan yang dengan berat hati memaafkan serta memberikan kesempatan untuk menyelesaikan perkara dengan berakhir damai. Namun  ada beberapa perkara anak yang telah diselesaikan melalui diversi namun ABH tersebut beberapa bulan kemudian  mengulangi tindak pidana lagi. Bahkan tindak pidana yang dilakukan untuk kedua kalinya ini menyebabkan korban meninggal dunia.

          Hal ini dilakukan oleh anak atas nama “EG” dan “Y” yang masing masing berusia sekitar16 tahun. Sebelumnya “EG” dan “Y” melakukan tindak pidana penganiayaan dan dijerat pasal 351 jo 170 KUHP yang menyebabkan korban mengalami luka luka dibagian wajahnya. Kemudian perkara nya telah diselesaikan melalui diversi  Proses diversi yang dihadiri oleh ABH serta para orang tua, penyidik kepolisian, pihak Bapas, pihak korban dan aparat pemerintah di tempat tinggal ABH tersebut berakhir dengan perdamaian tanpa ganti rugi karena pihak korban telah memaafkan perbuatan kedua anak tersebut. Namun 3 bulan kemudian kedua anak tersebut kembali melakukan tindak pidana yang sama dan kali ini korbannya merupakan orang yang berbeda mengalami luka luka disekujur tubuhnya dan meninggal dunia. Akhirnya “EG” dan “Y” harus menjalani proses hukum lagi. Kali ini “EG” dan “Y” ditangkap dan ditahan oleh pihak kepolisian, Perkaranya dilimpahkan ke Kejaksaan dan Pengadilan seperti proses hukum formal umumnya serta tidak dapat diupayakan diversi lagi karena tindak pidana yang dilakukan oleh “EG” dan “Y” adalah merupakan pengulangan. yang lebih memprihatinkan “EG” dan “Y” sudah mendapat gelar baru yaitu residivis. Pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh “EG” dan “Y” menandakan bahwa mereka tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya setelah perkara pertamanya diselesaikan melalui upaya diversi. Ada beberapa hal yang menyebabkan kedua ABH tersebut tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya:

1.      Mereka tidak memahami maksud dan tujuan diversi. Penyelesaian perkaranya yang berakhir dengan damai dianggap sebagai permasalahan biasa yang tidak perlu dibesar besarkan apalagi sampai dilaporkan kepada pihak kepolisian. Disamping itu mereka merasa dilindungi oleh undang undang karena masih anak anak yang harus dimaklumi oleh masyarakat. Hal ini membuat “EG” dan “Y” menganggap remeh proses upaya diversi yang telah dijalaninya dan menganggap bahwa mengeroyok dan menganiaya orang tidak akan diproses hukum.

2.      Tanggung jawab yang harus dilakukan “EG” dan “Y” hanya dilakukan beberapa saat setelah diversi menghasilkan kesepakatan damai. Mereka hanya mengakui kesalahan dan meminta maaf pada saat itu. Setelah itu mereka tidak melakukan hal hal yang dapat mencegah agar tidak melakukan perilaku negative kembali seperti taat beribadah, mengisi waktu nya dengan hal hal positif. Mereka tetap memiliki paradigma yang salah,  mempertahan perilaku atau sikap yang arogan dalam mengatasi situasi yang mereka alami sehingga mereka melakukan tindak pidana penganiayaan dan pengeroyokan kembali ketika menghadapi ketidaknyamanan dalam beraktivitas.

3.      Tidak adanya bimbingan yang konsisten dari orang tua setelah perkara“EG” dan “Y” diselesaikan melalui upaya diversi. Orang tua tidak mampu menuntun “EG” dan”Y” untuk melaksanakan tanggung jawabnya. Yang dirasakan oleh orang tua hanyalah rasa tentram setelah perkara anaknya diselesaikan dengan damai dan anaknya tersebut tidak jadi ditahan atau dipenjara.

4.      Tidak adanya kontrol social dari pemerintah setempat atau masyarakat terhadap aktifitas “EG” dan “Y” sehari hari baik teguran secara langsung maupun mengarahkan “EG” dan “Y” untuk mengikuti kegiatan karang taruna atau kegiatan sosial kemasyarakatan di wilayahnya yang menuntut partisipasi warganya.

5.      Berdasarkan uraian  di atas maka seorang ABH yang perkaranya diselesaikan melalui diversi tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya sendiri melainkan memerlukan bimbingan  dari orang tua/keluarga dan bantuan dari pemerintah setempat atau masyarakat disekitarnya dan bantuan tersebut harus dilakukan secara konsisten.

 

Kesimpulan

Upaya diversi dilakukan untuk melindungi seorang anak yang telah melakukan tindak pidana yaitu Anak Yang Berkonflik dengan Hukum (ABH) agar terhindar dari penyelesaian perkaranya secara formal yang dapat merampas kemerdekaan anak. Tujuan dari diversi adalah  agar pihak korban dan pihak ABH dapat menyelesaikan perkaranya dengan cara duduk bersama sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Dengan demikian ABH dituntut kesadarannya untuk melakukan hal hal yang semestinya sebagai bentuk tanggung jawab atas tindak pidana yang telah dilakukannya tanpa harus melalui proses hukum.

Tanggung jawab yang dapat dilakukan oleh ABH dapat berupa pemberian ganti rugi materi kepada pihak korban sebagai kompensasi atas penderitaan yang dialami korban, dapat berupa  tekad untuk bertobat atas kesalahan yang telah dilakukannya  dengan menjalankan norma agama seintensif mungkin agar terhindar dari berbuat salah kembali, dapat berupa kepatuhan atau kesungguh sungguhan untuk mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial  (LPKS) dan dapat berupa partisipasi dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat di tempat atau kantor yang fungsinya memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Tanggung jawab tersebut tidak dapat sendiri dilakukan oleh ABH melainkan memerlukan bimbingan  dari orang tua/keluarga dan bantuan dari pemerintah setempat atau masyarakat disekitarnya agar ABH dapat melaksanakan tanggung jawabnya dan tidak mengulangi tindak pidana lagi.

 

Bibliografi

 

Hambali, A. R. (2019). Penerapan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan pidana. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 13(1), 15–30.

 

Mustari, M. (2014). Nilai Karakter refleksi untuk pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

 

Mu'in, Fatchul. 2013. Pendidikan Karakter (konstruksi teoritis dan praktek). Ar Ruzz Media, Yogyakarta.

 

Pemasyarakatan, D. J. (2012). Modul pembimbing kemasyarakatan. 10.

 

Daryanto dan Suryatri, Darmiatun. (2013). Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Gava Media.

 

Susilarti, Sri dkk:2012.Modul Diversi, Direktorat jenderal Pemasyarakatan Kementerian    Hukum dan HAM RI

 

Undang Undang N0 11 tahun 12 Tentang Sistem peradilan Pidana Anak

 

Wahyudi, Setya.2011. Implementasi Ide Diversi dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Genta Publishing, Yogyakarta.

 

Zul Ardi, Subhan dan Widodo Hariyono.2018. “Analisa Penerapan Budaya Perilaku Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit” dalam Kes Mas: Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat. Volume 12 (hlm 17). Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.