Jurnal Syntax Transformation

Vol. 2 No. 7, Juli 2021

p-ISSN : 2721-3854 e-ISSN : 2721-2769

Sosial Sains

 

PESANTREN SEBAGAI SOLUSI PEMBERDAYAAN EKONOMI KERAKYATAN

 

Arif Rahman Nurul Amin, Maya Panorama

Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang, Indonesia       

Email: arifna16@gmail.com, maya.izuddin@gmail.com

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Diterima

10 Juni 2021

Direvisi

20 Juni 2021

Disetujui

30 Juni 2021

 

Pondok pesantren merupakan lembaga keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan, serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam dan dakwah, menjadikan pondok pesantren memiliki fungsi sebagai pusat pemikir-pemikir agama. Pondok pesantren juga memiliki fungsi sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia, dan sebagai lembaga yang mempunyai kekuatan melakukan pemberdayaan pada para-alumni keluarga pesantren dan masyarakat sekitar. Penelitian ini berusaha menggali data untuk menemukan hal-hal mendasar dari fenomena, realitas maupun pengalaman, yang bertujuan memberikan ragam khazanah pengetahuan bagaimana pengoptimalan pemberdayaan ekonomi berbasis pesantren. Pemberdayaan ekonomi adalah proses sekaligus tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan ekonomi adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah (kondisi ekonominya) dalam masyarakat. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai, dan konsep mengenai tujuan pemberdayaan ini seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses. Hal-hal pendukung terwujudnya pemberdayaan seperti; adanya doktrin agama, peran santri dalam pemberdayaan, penguatan ekonomi kerakyatan berbasis pesantren maka sebagai Langkah konkrit dan aplikatif terlaksananya pemberdayaan ekonomi kerakyataan harus memperhatikan 3 hal utama yaitu potensi produksi, potensi distribusi, potensi konsumsi. Potensi kontribusi pesantren terhadapa peningkatan ekonomi kerakyatan tidak bisa dinafikan, pesantren dengan segala dinamika sejarah dan kulturnya memiliki peran penting dalam kebangsaan, sehingga dengan kuantitas serta kualitasnya pesantren dapat memberikan andil danp perang penting dalam pemberdayaan memajukan ekonomi kerakyataan.

 

ABSTRACT

Islamic boarding schools are religious institutions engaged in education, as well as developing and disseminating Islamic religious knowledge and da'wah, making Islamic boarding schools have a function as a center for religious thinkers. Islamic boarding schools also have a function as an institution that prints human resources, and as an institution that has the power to empower the alumni of the pesantren family and the surrounding community. This study seeks to explore data to find the basics of phenomena, reality and experience, which aims to provide a variety of knowledge treasures on how to optimize pesantren-based economic empowerment. Economic empowerment is both a process and a goal. As a process, economic empowerment is a series of activities to strengthen the power or empowerment of weak groups (economic conditions) in society. As a goal, empowerment refers to the state or result to be achieved, and the concept of the goal of empowerment is often used as an indicator of the success of empowerment as a process. Things that support the realization of empowerment such as; the existence of religious doctrines, the role of santri in empowerment, strengthening the pesantren-based populist economy, then as a concrete and applicable step the implementation of populist economic empowerment must pay attention to 3 main things, namely production potential, distribution potential, and consumption potential. The potential contribution of pesantren to improving the people's economy cannot be denied, Islamic boarding schools with all their historical and cultural dynamics have an important role in nationality, so that with quantity and quality pesantren can contribute and play an important role in empowering the people's economy.

Kata Kunci:

ekonomi pesantren; pemberdayaan ekonomi; ekonomi kerakyatan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

pesantren economy; economic empowerment; and people's economy


 


Pendahuluan

Pondok pesantren sebagai lembaga keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan, serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam dan dakwah (Nasir, 2005),  menjadikan pondok pesantren memiliki fungsi sebagai pusat pemikir-pemikir agama. Pondok pesantren juga memiliki fungsi sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia, dan sebagai lembaga yang mempunyai kekuatan melakukan pemberdayaan pada para-alumni keluarga pesantren dan masyarakat sekitar (Halim, 2005).

Dari fungsi pesantren tersebut, telah menciptakan dinamika yang menarik kaitannya dengan hubungan ekonomi, pendidikan, politik, dan sosial kemasyarakatan di mana semakin baik status ekonomi, kualitas dan mutu pendidikan, semakin luas pengaruh kekuasaannya, maka semakin baik budaya dan tradisi yang dilahirkan dan dikembangkan (Nur Azizah, 2012). Sejalan dengan berbagai macam tantangan global yang harus dihadapi dalam bidang ekonomi terlebih di masa pandemic covid 19 yang melanda mayoritas negara di dunia termasuk Indonesia, problematika ekonomi semakin terpuruk  seperti banyaknya kemiskinan, banyaknya pengangguran, pemutusan hak kerja, sedikitnya lapangan kerja, perubahan trand canter pekerjaan dari offline ke online dan sejumlah permasalahan ekonomi lainnya, menjadikan pondok pesantren juga ikut bersikap. Seiring perkembangan zaman dan teknologi banyak pondok pesantren yang melakukan transformasi dengan memasukkan fungsi sosial ekonomi atau pengembangan ekosistem perekonomian ke dalam program kegiatan pondok pesantren baik bersifat internal atau eksternal. Terlebih saat ini perhatian dan dukungan pemerintah semakin nyata dengan penggalangan program terbaru yaitu “Sinergi Implementasi Ekosistem Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah di Pondok Pesantren” hal ini akan semakin terwujudnya perkembangan ekonomi berbasis pesantren yang akan berdampak positif terhadap perekonomian nasional (Isa, 2011).

Program pemberdayaan ekosistem perekonomian berbasis pondok pesantren, seperti memberikan pelatihan keterampilan usaha, kewirausahaan dan bentuk kegiatan ekonomi lainnya, bertujuan sebagai penunjang dari tugas utama pondok pesantren yaitu membekali ilmu agama. Sehingga pondok pesantren diharapkan tidak hanya sebagai pencetak generasi intelektual yang produktif dan kompeten secara spiritual, namun juga produktif dan kompeten secara ekonomi.

Secara mendasar kegiatan pemberdayaan ekonomi pesantren ditentukan oleh kemampuan pengelola pondok pesantren dalam membaca, mendefinisikan, memanfaatkan, dan mengorganisasi sumberdaya, baik internal maupun eksternal. Berbagai jenis pemberdayaan yang dapat dikembangkan pada pondok pesantren di antaranya adalah bidang agrobisnis, konveksi, percetakan, minimarket, koperasi, perdagangan, dan industri skala kecil UMKM. Bidang usaha yang dikembangkan biasanya mengikuti potensi usaha lokal yang banyak dikembangkan di sekitar atau wilayah pondok pesantren tersebut.

Agama Islam merupakan agama yang paling banyak pemeluknya di dunia. Data terbaru Indonesia memiliki populasi penduduk muslim 87,2 % dari total penduduknya yang berjumlah 265 juta, sehingga Indonesia merupakan negara dengan tingkat jumlah populasi pemeluk agama Islam terbanyak di dunia. Maka dengan jumlah pemeluk agama Islam terbanyak ini Indonesia memiliki potensi dan peran besar dalam pembangunan ekosistem perekonomian Islam yang kuat.

Didukung dengan data keberadaan pondok pesantren yang berjumlah 28.194 (data Kementerian Agama RI) di seluruh Indonesia. Sebanyak 44,2% atau 12.469 pondok pesantren memiliki potensi ekonomi, baik pada sektor agribisnis, peternakan, perkebunan, dan sektor lainnya. Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, pondok pesantren berfungsi sebagai lembaga pendidikan, dakwah, hingga pemberdayaan masyarakat.

Implementasi ekosistem pengembangan ekonomi dan keuangan syariah berbasiskan pondok pesantren terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu: (1) Edukasi dan literasi keuangan syariah; (2) Pembiayaan syariah bagi usaha kecil dan mikro (UKM) sekitar pondok pesantren serta UKM binaan pondok pesantren; (3) Pembukaan rekening syariah; (4) Program tabungan emas; serta (5) Kemandirian ekonomi pesantren terintegrasi keuangan syariah yang mendukung “halal value chain”.

Terdapat pula ekosistem pendukungnya meliputi yang pertama, terbentuknya di lingkungan pondok pesantren Unit Layanan Keuangan Syariah (ULKS) yang terdiri dari Agen Bank Syariah, Agen Pegadaian Syariah, Agen Fintech Syariah, yang terintegrasi dengan Unit Pengumpul Zakat (UPZ), dan Halal Centre Pondok Pesantren (Halim, 2005).

Melihat dari sudut pandang ini, pesantren dipandang memiliki ekosistem perekonomian yang ideal, berikut beberapa alasan potensial mengapa pesantren sangat ideal untuk bisa ikut berperan dalam pembangunan ekosistem perekonomian Islam : (1) sumber daya manusia yang melimpah yaitu para santri yang jumlahnya dapat mencapai ratusan orang dan bahkan sampai ribuan orang; (2) kepemilikan lahan, rata-rata setiap pesantren mempunyai kepemilikan lahan luas terutama pesantren yang berada di pedesaan; (3) potensi pasar, mengingat adanya hubungan sosial dan kekerabatan yang erat antara lembaga keagamaan dengan masyarakat sekitarnya; (4) potensi teknologi, sebagai sarana di mana lembaga keagamaan merupakan lembaga strategis untuk mengembangkan teknologi; dan (5) kepemimpinan dari para kyai sebagai pemimpin pondok pesanten yang ditaati dan kharismatik. (6) Jumlah pondok pesantren yang sangat banyak dan tersebar di hamper seluruh wilayah Indonesia baik di perkotaan, desa dan kampung.

Pondok pesantren dengan berbagai harapan dan predikat yang dilekatkan padanya, sesungguhnya berujung pada tiga fungsi utama yang senantiasa diemban,   yaitu: pertama, sebagai pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama (center of excellence). Kedua, sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia (human resource). Ketiga, sebagai lembaga yang mempunyai kekuatan melakukan pemberdayaan pada masyarakat (agent of development). Pondok pesantren juga dipahami sebagai bagian yang terlibat dalam proses perubahan sosial (social change) di tengah perubahan yang terjadi (Rimbawan, 2012).  Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dalam mencetak kader-kader pemberdayaan masyarakat tersebut, seperti yang ditetapkan oleh pondok pesantren yang memiliki khas entrepreneurship adalah: (1) menumbuh-kembangkan jiwa entrepreneur dikalangan santri, alumni dan masyarakat; (2) menumbuh-kembangkan sentra dan unit usaha yang berdaya saing tinggi; (3) membentuk Lembaga Ekonomi Mikro berbasis nilai Islam; dan (4) mengembangkan jaringan ekonomi dan pendanaan di pesantren baik horisontal maupun vertical serta dukungan pemerintah dengan berbagai kelembagaannya sebagai komitmen dukungan dengan disahkannya Undang Undang Pesantren tahun 2019 (Rimbawan, 2012).

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi yang bersifat deskriptif analitis dan induktif. Penelitian ini berusaha menggali data untuk menemukan hal-hal mendasar dari fenomena, realitas maupun pengalaman. Penelitian ini menggunakan studi dokumenter dan telaah teori- teori yang digunakan untuk menjelaskan dan menyimpulkan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Adapun pesantren yang menjadi objek penelitian adalah Pesantren Aulia Cendikia Talang Jambe, Kota Palembang Sumatera Selatan.

 

Hasil dan Pembahasan

1.       Pemberdayaan Ekonomi

Terdapat banyak definisi pemberdayaan ekonomi ummat di banyak literatur yang dikemukakan oleh para ahli. Para ahli menggunakan kata “masyarakat” untuk menunjuk makna “ummat”. Dari segi kebahasaan, pemberdayaan merupakan terjemahan dari empowerment, sedang memberdayakan adalah terjemahan dari empower. Menurut Oxford English Dictionary, kata empower memiliki dua arti, yaitu: (1). to give power atau autority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain; (2) to give ability to atau enable atau usaha untuk memberi kemampuan atau keperdayaan.

Sedangkan dari segi istilah (terminologi), banyak ahli yang menawarkan definisi pemberdayaan. Variasi definisi mengenai pemberdayaan bisa dijumpai di banyak literatur.    Beberapa ahli memakai langsung memakai frase “pemberdayaan ekonomi” ketika menerangkan hal ini. Beberapa paragraf berikut adalah tokoh dan definisi pemberdayaan ekonomi yang dinyatakannya.

Hutomo menyatakan bahwa pemberdayaan ekonomi adalah penguatan pemilikan faktor-faktor produksi, penguatan penguasaan distribusi dan pemasaran, penguatan masyarakat untuk mendapatkan gaji/upah yang memadai, dan penguatan masyarakat untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan ketrampilan, yang harus dilakukan dengan multiaspek, baik dari masyarakat sendiri, maupun aspek kebijakannya (Hutomo, 2000).  Definisi di atas banyak dipakai oleh kalangan penyelenggara pemerintah.

Sumodiningrat menyatakan bahwa pemberdayaan ekonomi adalah usaha untuk menjadikan perekonomian yang kuat, besar, modern, dan berdaya saing tinggi dalam mekanisme pasar yang benar. Karena kendala pengembangan ekonomi rakyat adalah kendala struktural, maka pemberdayaan ekonomi rakyat harus dilakukan melalui perubahan struktural (Hutomo, 2000).  Pemberdayaan ekonomi ummat adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan perekonomian ummat baik secara langsung (misalnya: pemberian modal usaha, pendidikan ketrampilan ekonomi, pemberian dana konsumsi), maupun secara tidak langsung (misalnya: pendidikan ketrampilan ekonomi, perlindungan dan dukungan terhadap kaum dengan kondisi ekonomi lemah, dan lain-lain).

Beberapa literatur menyebutkan bahwa konsep pemberdayaan lahir sejak revolusi industri atau ada juga yang menyebutkan bahwa konsep pemberdayaan ada sejak lahirnya Eropa modern pada abad 18 atau renaisance, ketika banyak pihak mulai mempertanyakan determinasi gereja. Jika kemunculan ide pemberdayaan dipahami sebagai upaya untuk keluar atau melawan determinisme gereja serta monarki, maka pendapat yang menyakatan bahwa gerakan pemberdayaan mulai muncul pada abad pertengahan barangkali benar.

Di Eropa, wacana pemberdayaan muncul ketika industrialisasi menciptakan masyarakat penguasa faktor produksi dan masyarakat pekerja yang dikuasai. Pada saat itu, Karl Marx mendefinisikan pemberdayaan sebagai perjuangan kaum powerless untuk memperoleh surplus value sebagai hak normatif yang harus diterima masyarakat pekerja. Perjuangan untuk mendapatkan surplus value tersebut dilakukan melalui distribusi penguasaan faktor-faktor produksi dan perjuangan untuk mendistribusikan faktor-faktor produksi tersebut harus dilakukan melalui perjuangan politik (Nadzir, 2015).

Di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, wacana pemberdayaan muncul ketika pembangunan yang dilaksanakan pemerintah menimbulkan disinteraksi sosial, kesenjangan ekonomi, degradasi sumber daya alam, dan alienasi masyarakat dari faktor-faktor produksi oleh penguasa. Penguasa memiliki akses yang lebih besar untuk menguasai kegiatan-kegiatan ekonomi yang akhirnya mempengaruhi banyak pihak dalam masyarakat. Hal- hal di atas akhirnya memunculkan dikotomi, yang membedakan antara masyarakat yang berkuasa dan masyarakat yang dikuasai. Untuk membebaskan masyarakat dari situasi ini, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of the powerless). Ini adalah alasan awal mengapa pemberdayaan dinilai penting untuk dilakukan.

Secara konseptual, pemberdayaan (empowerment), berasal dari kata “power” yang berarti “kekuasaan” atau “keberdayaan”. Karenanya ide pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan yang dimiliki pihak pertama untuk membuat pihak ke-dua melakukan apa yang diinginkan pihak pertama, terlepas dari keinginan dan minat pihak ke-dua (Suharto, 2005).

Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang atau kelompok, khususnya kelompok yang rentan dan lemah sehingga memiliki kekuatan atau kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga memiliki kebebasan (freedom), menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan kelompok lemah/rentan untuk meningkatkan pendapatannya, dan memperoleh barang dan jasa yang dibutuhkan; dan  berpartisipasi dalam pembangunan dan proses pengambilan keputusan-keputusan yang mempengaruhi kelompok lemah/rentan (Nadzir, 2015).

Para ahli mengemukakan bahwa bahasan mengenai pemberdayaan hendaknya ditinjau dari tujuan, proses, dan cara-cara pemberdayaan yang dilakukan yang meliputi (Nadzir, 2015).

a.       Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan pihak-pihak yang lemah atau kurang beruntung.

b.       Pemberdayaan adalah sebuah proses yang dengannnya suatu pihak akan menjadi kuat untuk ikut berpartisipasi aktif dalam memperbaiki keadaan.

c.       Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur ekonomi yang ada di tengah masyarakat.

d.       Pemberdayaan  adalah  suatu    cara agar          masyarakat,      organisasi, dan komunitas mampu menguasai (berkuasa atas) kehidupannya.

Dengan demikian, pemberdayaan ekonomi adalah proses sekaligus tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan ekonomi adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah (kondisi ekonominya) dalam masyarakat. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai, dan konsep mengenai tujuan pemberdayaan ini seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses. Bila konsep pemberdayaan di atas dilekatkan mendahului konsep ekonomi, maka didapati konsep baru yang lebih sempit dan spesifik. Pemberdayaan ekonomi merupakan kegiatan memberi kekuasaan pada pihak ke-dua (sasaran pemberdayaan) agar menjadi mampu dalam bidang ekonomi.

2.       Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberdayaan Ekonomi di Pesantren

a.       Doktrin Keagamaan

Agama merupakan petunjuk bagi manusia, baik di dalam masalah keduniaan maupun masalah ibadah dengan Tuhan. Dalam segi muamalah (hubungan keduniawian) agama-agama samawi telah mengatur umatnya, baik yang berhubungan antar manusia dalam bidang pemerintahan, hukum, kemasyarakatan, maupun persoalan-persoalan yang berhubungan dengan ekonomi. Pada bidang ekonomi, para ilmuwan telah mengadakan suatu penelitian secara mendalam hubungan agama dan ekonomi, yang salah satu pokok penelitiannya adalah adakah kontribusi agama terhadap semangat ekonomi pada masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh Kenneth Boulding, di dalam penelitianya tentang pengaruh agama Kristen protestan terhadap semangat ekonomi, ia menemukan bahwa pengaruh agama protestan ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan ekonomi dan sejarah, bahkan lebih besar daripada pengaruh agama terhadap pemikiran ekonomi saja. Agama turut mempengaruhi pengambilan keputusan mengenai jenis komoditi yang diproduksi, terbentuknya kelembagaan ekonomi dan tentu juga praktek-praktek atau perilaku ekonomi (Landa, 1994).

Didalam Islam sebenarnya masalah perekonomian – yang masuk kategori urusan keduniaan (muamalah) - mempunyai bobot yang besar dalam agama, tidak hanya sekedar suplemen sebagaimana anggapan umum selama ini. Islam mengajarkan keseimbangan antara orientasi kehidupan dunia dan akhirat. Walau demikian, Islam yang mengajarkan etika kehidupan agar di dalam memperoleh harta tetap menjaga perbuatan kebaikan terhadap orang atau menjaga hak-hak asasi orang lain; tidak serakah, tidak dengan merampas hak orang lain, tidak zalim, dan tidak merugikan orang lain (Azizy, 2004).

Islam memandang masalah ekonomi tidak dari sudut pandang kapitalis yang memberikan kebebasan serta hak kepemilikan kepada individu dan menggalakkan usaha secara perseorangan. Tidak pula dari sudut pandang komunis, yang ingin menghapuskan semua hak individu dan menjadikan mereka seperti budak ekonomi yang dikendalikan oleh negara. Tetapi Islam membenarkan sikap mementingkan diri sendiri tanpa membiarkannya merusak masyarakat (Jatmika, 2018).

Untuk meningkatkan perekonomian Islam memberikan motivasi pada pemeluknya untuk bekerja keras dan mempunyai etos kerja yang tinggi. Karena Islam pada hakekatnya adalah agama yang mengajarkan dan menganjurkan umatnya untuk meraih kekayaan hidup baik secara material maupun spiritual. Anjuran tersebut paling tidak tercermin dalam dua dari lima rukun Islam yaitu zakat dan haji. Kedua pelaksanaan rukun Islam ini mensyaratkan adanya kekayaan atau kecukupan yang bersifat material. Jika pelaksanaan zakat dan ibadah haji memerlukan kecukupan material itu, lantas mencari materi menjadi wajib hukumnya. Dengan kata lain, rukun Islam mewajibkan umatnya untuk berkecukupan secara material. Nabi sendiri juga menegaskan bahwa al-yad al-ulya khairun min al-yad as-sufla, “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”, atau memberi lebih baik daripada meminta (Fitri, 2017).

b.       Santri dan Pemberdayaan Ekonomi

Konsep tentang peran santri dalam pemberdayaan ekonomi sangat menarik dibahas, karena santri yang setiap harinya disibukkan dengan berbagai aktivitas belajar atau mengaji, ternyata juga memiliki aktivitas ekonomi. Pada pesantren tertentu, santri memang dibekali dengan berbagai ketrampilanS/ keahlian di bidang ekonomi seperti koperasi, kerajinan dan berdagang. Semua itu dilakukan oleh pihak pesantren sebagai upaya untuk membekali para santri dengan berbagai skill keahlian atau setidaknya menyiapkan mental dan ketrampilan para santri supaya kelak ketika keluar dari pesantren sudah bisa mandiri. Oleh karena itu wajar jika pesantren berusaha mengembangkan diri dengan melakukan suatu tindakan nyata (dakwah bil hal) pada masyarakat di sekitar pesantren di segala bidang, termasuk di dalamnya pemberdayaan ekonomi.

Untuk melangkah pada Program pembangunan yang berbasis pemberdayaan ekonomi, paling tidak pesantren harus memenuhi persyaratan sebagai berikut, kegiatan yang dilaksanakan harus terarah dan menguntungkan pesantren dan masyarakat sekitar terutama masyarakat yang lemah,  pelaksanaannya dilakukan oleh pesantren dan masyarakat sendiri,  karena pesantren dan masyarakat yang lemah sulit untuk bekerja sendiri-sendiri akibat kurang berdaya, maka upaya pemberdayaan ekonomi pesantren menyangkut pula pengembangan kegiatan usaha bersama (cooperatif) dalam kelompok yang spesifik terkait dengan unit-unit usaha yang bisa diberdayakan kaum santri dan menggerakkan partisipasi masyarakat sekitar untuk saling membantu dalam rangka kesetiakawanan sosial dalam hal ini termasuk keikutsertaan orang-orang setempat yang telah maju.

Ada beberapa pesantren yang mencoba membuat satu ikhtiar menambah kemampuan santri di bidang wira usaha atau ekonomi. Berangkat dari kesadaran bahwa tidak semua santri akan menjadi ulama, maka beberapa pesantren mencoba membekali santri dengan ketrampilan di bidang pengembangan ekonomi. Artinya santri yang dihasilkan diharapkan mempunyai pengalaman dan syukur keahlian praktis tertentu yang nantinya dijadikan modal untuk mencari pendapatan hidup sekeluar dari pesantren. Kalau mencermati prilaku ekonomi di lingkungan pesantren pada umumnya, kita dapat menerka kemungkinan model apa yang sedang berjalan dalam usaha usaha tersebut. Setidaknya ada empat macam kemungkinan pola usaha ekonomi di lingkungan pesantren;

1)      Usaha ekonomi yang berpusat pada kyai sebagai orang yang paling bertanggungjawab dalam mengembangkan pesantren. Misalnya seorang kyai mempunyai perkebunan cengkih yang luas. Untuk pemeliharaan dan pemanenan, kyai mmelibatkan santri-santrinya untuk mengerjakannya. Maka terjadilah hubungan mutualisme saling menguntungkan: kyai dapat memproduksikan perkebunannya, santri mempunyai pendapat tambahan, dan ujungnya dengan keuntungan yang dihasilkan dari perkebunan cengkeh maka kyai dapat menghidupi kebutuhan pengembangan pesantrennya. seperti kasus di Pandeglang, yaitu pesantren Nurul Hidayah Cilaja kec. Pandeglang (Nadzir, 2015).

2)      Usaha ekonomi pesantren untuk memperkuat biaya operasional pesantren. Contohnya, pesantren memiliki unit usaha produktif seperti menyewakan gedung pertemuan, rumah dsb. Dari keuntungan usaha-usaha produktif ini pesantren mampu membiayai dirinya, sehingga seluruh biaya operasional pesantren dapat ditalangi oleh usaha ekonomi ini. Seperti pesantren Sidogiri yang mempunyai beberapa usaha seperti swalayan, toko-toko kelontong yang hasilnya untuk pembiayaan pesantren.

3)      Usaha ekonomi untuk santri dengan memberi ketrampilan dan kemampuan bagi santri agar kelak ketrampilan itu dapat dimanfaatkan selepas keluar dari pesantren. Pesantren membuat program pendidikan sedemikian rupa yang berkaitan dengan usaha ekonomi seperti pertanian dan peternakan. Tujuannya semata-mata untuk membekali santri agar mempunyai ketrampilan tambahan, dengan harapan menjadi bekal dan alat untuk mencari pendapatan hidup. Pesantren Baitul Hamdi di Menes Pandeglang dapat dijadikan sampel pesantren dalam jenis ini juga, karena disana     santri diajak untuk bertani dan berkebun.

4)      Usaha ekonomi bagi para-alumni santri. Pengurus pesantren dengan melibatkan para-alumni santri menggalang sebuah usaha tertentu dengan tujuan untuk menggagas suatu usaha produktif bagi individu alumni, syukur bagai nanti keuntungan selebihnya dapat digunakan untuk mengembangkan pesantren. Prioritas utama tetap untuk pemberdayaan para-alumni santri. Hal ini seperti yang dilakukan oleh pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur dan pesantren Maslakul Huda di Kajen Pati Jawa Tengah.

Sedangkan dalam melakukan pemberdayaan masyarakat, pesantren setidaknya memiliki tiga motif.

1)      Motif keagamaan, karena kemiskinan bertentangan dengan etika sosial ekonomi Islam.

2)      Motif sosial, karena kyai juga seorang pemimpin yang harus mengatasi krisis ekonomi setempat.

3)      Motif politik, karena pemegang kekuasaan setempat mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi pada tingkat mikro dan makro. Pondok pesantren dalam fungsinya melayani masyarakat, dapat pula dilihat dari upayanya dalam melayani masyarakat, terutama kebutuhan untuk menanggapi persoalan-persoalan kemiskinan, memberantas kebodohan, menciptakan kehidupan yang sehat dan sebagainya.). Di sinilah bisa ditunjukkan betapa pentingnya kehadiran pesantren yang tidak hanya mementingkan kepentingan sendiri tetapi juga kepentingan masyarakat sekitar lebih mendapat tempat dalam kerangka usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik lahir maupun batin (Zaini, 2000).

Hal ini penting untuk dipahami karena pesantren secara historis didirikan dari dan untuk masyarakat. Pesantren didirikan dengan tujuan mengadakan transformasi sosial bagi (masyarakat) daerah sekitarnya. Ia hadir mengabdikan dirinya mengembangkan dakwah Islam dalam pengertian luas, mengembangkan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai keagamaan dan pada gilirannya didukung secara penuh oleh mereka (Usman, 1998).

Salah satu prinsip dalam pemberdayaan adalah penguasaan terhadap kemampuan ekonomi yaitu, kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi, pertukangan dan jasa. Kemampuan dalam konteks ini menyangkut kinerja individu yang merupakan wujud kompetensi individu tersebut dapat meningkat melalui proses pembelajaran maupun terlibat langsung di lapangan, seperti kompetensi mengelola ekonomi. Kemampuan (pengetahuan dan keterampilan pengelola ekonomi) yang perlu ditingkatkan; sebagaimana diungkapkan oleh Damihartini dan Jahi adalah menyangkut aspek: (1) sumber daya manusia (2) kewirausahaan (3) administrasi dan manajemen (organisasi); dan (4) teknis pertanian (Rimbawan, 2012).

Pengetahuan dan keterampilan merupakan salah satu instrumen dalam mencapai kompetensi kerja. Pemberdayaan yang dilakukan oleh pesantren terhadap santrinya atau alumninya yaitu pemberdayaan melalui peningkatkan kompetensi ekonomi para santri agar nantinya para santri tersebut setelah berada kembali di lingkungan masyarakatnya dapat menjadi panutan baik dalam bidang keagamaan juga bidang ekonomi produktif atau sebagai kader-kader pemberdaya ekonomi, di samping peran utamanya sebagai ustadz/ustadzah yang mempunyai kemampuan dalam bidang ilmu agama Islam. Usaha pemberdayaan masyarakat tersebut, bukan hanya tugas dan kewajiban pemerintah semata. Akan tetapi juga menjadi tanggung jawab bagi institusi-institusi atau organisasi lokal (pondok pesantren) yang ada di masyarakat. Hal ini dapat dijelaskan bahwa secara mendasar dan substantif, organisasi lokal memiliki kegiatan internal dan eksternal. Kegiatan internal berupa konsolidasi dan koordinasi ke dalam dengan membangun solidaritas dan komitmen. Sedang kegiatan eksternal berupa usaha-usaha pemberdayaan dan pelayanan kepada masyarakat.

Melihat potensi dan fungsi yang dimilikinya sesungguhnya pesantren dapat berperan sebagai lembaga perantara yang diharapkan dapat menjadi dinamisator dan katalisator pemberdayaan sumber daya  manusia, penggerak pembangunan di segala bidang, termasuk di bidang ekonomi, Karena melakukan pemberdayaan ekonomi merupakan bentuk dakwah bil hal dan sekaligus mengimplementasikan ilmu-ilmu yang dimilikinya secara kongkrit (aplikatif). Di dalam Islam, ekonomi merupakan wasilah bukan maqashid, jadi ekonomi merupakan salah satu cara untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal ini tentunya sesuai dengan yang di ajarkan Islam bahwasanya harta dan kegiatan ekonomi merupakan amanah dari Allah SWT (Misbah, 2021).

Konsep Islam tersebut seharusnya dijadikan dasar oleh pesantren, dalam konsep Islam diajarkan bahwa pekerjaan yang baik adalah pekerjaan yang dilakukan seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap perniagaan yang mabrur (baik). Berdagang atau perniagaan merupakan pekerjaan yang paling baik dan itu dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Bagaimana berdagang dengan baik? yaitu berdagang dengan penuh kejujuran. Dalam sebuah hadits disampaikan bahwa:  Suatu ketika ada yang bertanya kepada Nabi SAW: “Wahai Rasulullah SAW, pekerjaan apa yang paling baik? Rasulullah SAW menjawab: “Pekerjaan yang dilakukan seseorang dengan tangannya dan juga setiap perdagangan yang mabrur (baik).” (HR. al-Baihaqi) (Al-Baihaqi & Bakar, 2003).  Ini merupakan dalil bahwa bekerja dengan penuh kemandirian jiwa entrepreneur atau ke wirausahaan adalah lebih baik untuk dilakukan. Selain hadits tersebut di atas, Kita perlu juga merujuk pada ajaran kemandirian yang diajarkan oleh Khalifah Umar ibn Khattab RA. Ajarannya bertujuan untuk mencapai kehidupan manusia yang mandiri, bebas dari tekanan, merdeka (liberty), penuh keadilan (justice), dan penuh kesejahteraan (prosperity) sehingga dapat melakukan kebaikan dan mewujudkannya. Beliau mengatakan bahwa: Artinya: “Kuasai ekonomi dan produktiflah, kalau tidak, saya khawatir kamu akan tergantung kepada mereka”.

Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam pengimplementasi ajaran-ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan hadits. Unsur ini mempermudah untuk melakukan tindakan-tindakan kemandirian dalam perekonomian. Kemandirian dalam berusaha, kemandirian dalam berproduksi untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan bahkan membantu orang lain, yang tidak terlalu bergantung pada pihak lain dalam menjalankan dan melaksanakan proses pendidikan yang dikelola sehingga menjadi berkualitas dan bahkan berdaya saing. Tentu sebagian dari pada kebutuhan ekonomi tersebut harus bekerjasama dengan pihak lain untuk dikelola.

Kemandirian kewirausahaan dan jiwa entrepreneur dalam perekonomian merupakan sikap dan mental yang memungkinkan seseorang atau kelompok orang untuk bertindak bebas, benar, dan bermanfaat, yaitu berusaha melakukan segala sesuatu dengan jujur dan benar atas dorongan dirinya sendiri dan kemampuan mengatur diri sendiri, sesuai dengan hak dan kewajibannya, sehingga dapat menyelesaikan masalah-masalah yang berkembang, serta dapat bertanggungjawab terhadap segala resiko yang terjadi. Mandiri secara finansial adalah mampu membiayai segala keperluan diri dan tidak lagi bergantung kepada yang lain. Dan ini memerlukan proses transisi, waktu, dan usaha untuk selalu bersikap gigih tanpa putus asa.

Meningkatkan perekonomian Islam perlu memberikan motivasi pada seluruh lapisan dipondok pesantren baik internal maupun eksternal, yaitu untuk bekerja keras dan mempunyai etos kerja yang tinggi. Karena Islam pada hakekatnya adalah agama yang mengajarkan dan menganjurkan umatnya untuk meraih kekayaan hidup baik secara material maupun spiritual. Anjuran tersebut paling tidak tercermin dalam dua dari lima rukun Islam yaitu zakat dan haji. Kedua pelaksanaan rukun Islam ini mensyaratkan adanya kekayaan atau kecukupan yang bersifat material. Jika pelaksanaan zakat dan ibadah haji memerlukan kecukupan material itu, lantas mencari materi menjadi wajib hukumnya. Dengan kata lain, rukun Islam mewajibkan umatnya untuk berkecukupan secara material. Nabi sendiri juga menegaskan bahwa al-yad al-ulya khairun min al-yad as-sufla, “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”, atau memberi lebih baik daripada meminta (Nadzir, 2015).

Al-Qur‟an juga yang menjelaskan untuk bekerja keras dan mengajarkan pentingnya umat Islam untuk bekerja dan memikirkan ekonominya. Di antaranya QS. Al-Qashash [28]: 77: “Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu [kebahagiaan] negeri akhirat; dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari [kenikmatan] duniawi. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi”. Dalam tafsir al-Jalalayn, ayat tersebut ditafsirkan; “Perolehlah (untuk) kepentingan akhirat (harta kekayaan) yang telah Allah berikan kepadamu, dengan cara menginfaqkan sebagian harta tersebut untuk ketaatan kepada Allah. Dan jangan kamu lupakan bagian kamu yang berkaitan dengan keduniaan untuk menjadi amal akhirat” (Nadzir, 2015).  Dalam ayat lain Juga dalam QS. Al-Jumu‟ah [62]: 10: Allah SWT berfirman: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu sekalian di muka bumi dan carilah karunia Allah (yakni rizqi/harta) dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak agar kamu beruntung”.

Islam mendorong orang untuk bekerja berwirausaha dan berjiwa entrepreneur. Dalam hadits yang Rasulullah SAW bersabda: “Asyaddu an-nas adzaban yauma al-qiyamah al-maghfiy al-bathil” artinya: “siksaan paling berat pada hari kiamat, adalah bagi orang yang hanya mau dicukupi orang lain dan hidup menganggur)”.

Menurut Yusuf Qardhawi, Islam tidak menginginkan umatnya berada dalam kemiskinan. Karena akibat kemiskinan dan ketimpangan sosial bisa menyebabkan umunculnya penyimpangan akidah (Fitri, 2017).  Pendapat ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: “Kemiskinan dapat mengakibatkan kekafiran” (HR. Abu Na‟im dari Anas). Islam mendorong orang untuk bekerja. Hadits yang berbunyi: “Asyaddu an-nas „adzabun yauma al-qiyamah al-maghfiy al-bathil (siksaan paling berat pada hari kiamat, adalah bagi orang yang hanya mau dicukupi orang lain dan hidup menganggur)”. Kemiskinan juga bisa menyebabkan orang tergelincir dalam akhlak dan moralitas yang tercela. Karena suara perut dapat mengalahkan suara nurani. Lilitan kesengsaraan pun bisa mengakibatkan seseorang meragukan nilai-nilai akhlak dan agama.

Manusia sebagai subyek ekonomi, yang dalam kelompok besar disebut umat, oleh Islam dibebani (mukallaf) untuk berikhtiar sesuai dengan kadar potensinya. Taklif (pembebanan) ini berimplikasi pada banyak hal. Dalam disiplin fiqih –meskipun ekonomi sendiri bukan merupakan komponen fiqih- ikhtiar dalam arti luas disinggung karena erat kaitannya dengan usaha ekonomi. Kita mengenal kaidah muamalah al iqtisodi sebagai modifikasi perekonomian islam yang mengatur tata cara dalam perniagaan atau kewirausahaan.

Menyinggung perihal ikhtiar dalam perekonomian, kita ingat sebuah hadits yang kurang lebih artinya, “Bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi adalah wajib (fardhu) setelah kewajiban yang lain.” Interpretasi hadits ini akan melahirkan kelompok-kelompok manusia produktif atau manusia yang bersumber daya tinggi yang sekaligus merupakan inti perekonomian. Barangkali dari kenyataan bahwa Allah tidak memberi rizqi dalam bentuk jadi dan siap digunakan, melainkan hanya dipersiapkan sebagai sarana dan sumber daya alam agar mampu mengolah dan menafaat karunia Allah SWT yang terhampar luas di muka bumi ini, sebagai wujud syukur.

Dari hadits ini, kita bisa menemukan pandangan yang proporsional terhadap ekonomi. Sikap ikhtiar dapat menghindarkan manusia dari sikap fatalistik (berserah pada nasib) yang secara tegas telah dilarang oleh Allah dalam surat Yusuf ayat 87: “Janganlah kamu sekalian terputus asa atas rahmat Allah. Tiada yang berputus asa kecuali orang-orang kafir”.

Konsep tentang peran santri dan seluruh civitas yang ada di Lembaga Pendidikan dakwah Pondok Pesantren kaitannya dalam pemberdayaan ekonomi sangat menarik dibahas dan diteliti, karena santri yang setiap harinya disibukkan dengan berbagai aktivitas belajar atau mengaji, ternyata juga memiliki aktivitas ekonomi. Pada pesantren tertentu, santri memang dibekali dengan berbagai keterampilan atau keahlian di bidang ekonomi seperti koperasi, kerajinan dan berdagang. Semua itu dilakukan oleh pihak pesantren sebagai upaya untuk membekali para santri dengan berbagai skill keahlian atau setidaknya menyiapkan mental dan ketrampilan para santri supaya kelak ketika keluar dari pesantren sudah bisa mandiri. Oleh karena itu wajar jika pesantren berusaha mengembangkan diri dengan melakukan suatu tindakan nyata (dakwah bil hal) pada masyarakat di sekitar pesantren di segala bidang, termasuk di dalamnya pemberdayaan ekonomi.

Untuk melangkah pada Program pembangunan yang berbasis pemberdayaan ekonomi, paling tidak pesantren harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) kegiatan yang dilaksanakan harus terarah dan menguntungkan pesantren dan masyarakat sekitar terutama masyarakat yang lemah, (b) pelaksanaannya dilakukan oleh pesantren dan masyarakat sendiri, (c) karena pesantren dan masyarakat yang lemah sulit untuk bekerja sendiri-sendiri akibat kurang berdaya atau minimnya modal awal usaha, maka upaya pemberdayaan ekonomi pesantren menyangkut pula pengembangan kegiatan usaha bersama (cooperatif) dalam kelompok yang spesifik terkait dengan unit-unit usaha yang bisa diberdayakan kaum santri, (d) menggerakkan partisipasi masyarakat sekitar untuk saling membantu dalam rangka kesetiakawanan sosial. Dalam hal ini termasuk keikutsertaan orang-orang setempat yang telah maju, (e) melakuakn kerja sama dengan lembaga swasta, dan juga pemerintah baik daerah atau pusat, sebagai bentuk sinergi dalam implementasi undang undang pesantren 2019.

Aspek lain signifikansi pelibatan pesantren dalam pemberdayaan masyarakat, berpeluang pada kenyataan bahwa masyarakat Indonesia yang mayoritas terdiri dari komunitas muslim yang tersebar seantero bumi nusantara. Pada sisi itu, pesantren yang memang berkembang dan tersebar di banyak tempat terutama didaerah pedesaan dan pelosok, merupakan representasi dari masyarakat muslim yang rahmatan lilalamin.

Kenyataan itulah yang membuat pesantren sampai saat ini masih berpengaruh pada hampir seluruh aspek kehidupan di kalangan masyarakat muslim pedesaan yang taat. tetapi upaya untuk menuju ke arah pemberdayaan masyarakat melalui fungsi ekonomi pesantren terkadang dibenturkan dengan berbagai kenyataan yang bisa menjadi penghambat langkah tersebut. Salah satu contohnya adalah karena biasanya pesantren selalu menjadi tempat bagi keluarga dekat kiai, yang bisa berupa anak, cucu dan seterusnya atau biasa disebut dzurriyyah kiai. Mereka kadang bertumpu secara ekonomis terhadap santri, apakah dalam bentuk penyediaan makanan, bahan kebutuhan sehari-hari, atau yang lainnya.

3.       Ekonomi Kerakyatan berbasis pesantren

Undang-Undang Dasar 45 pasal 33 merupakan payung hukum dalam pelaksanaan sistem ekonomi kerakyatan, yaitu sebuah sistem perekonomian yang mempunyai tujuan dalam upaya mewujudkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Terdapat tiga prinsip utama dalam ekonomi kerakyatan :

1.       Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan

2.       Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara

3.       Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Prof. Sri Edi Swasono memaparkan bahwa ciri-ciri ekonomi kerakyatan adalah (Nusantara, n.d.):

1.       Ketuhanan Yang Maha Esa yang artinya ada etika moral yang berasas Ketuhanan, bukan berdasarkan materialisme, tetapi berdasarkan syariah yang telah ditetapkan oleh Allah

2.       Kemanusiaan yang adil dan beradab, maksudnya ekonomi yang modern atau ekonomi yang non-Neo-klasikal tidak mengenal kekerasan, penghisaban, ataupun riba’

3.       Persatuan berdasar sosio-nasionalisme yang artinya ekonomi berasaskan kekeluargaan, gotong royong, dan tidak saling mematikan

4.       Kerakyatan berdasar demokrasi ekonomi, kedaulatan ekonomi, mengutamakan hajat hidup orang banyak

5.       Keadilan sosial secara menyeluruh, artinya kemakmuran rakyat yang utama.

Sementra Prof Mubyanto seorang guru besar Fakultas Ekonomi di Universitas Gajah Mada. Selama hidupnya dikenal sebagai pakar ekonomi kerakyatan Indonesia dan penggagas konsep ekonomi pancasila bahwasanya sistem ekonomi kerakyatan adalah Sistem Ekonomi Nasional, indonesia yang berasas kekeluargaan, berkedaulata rakyat,  bermoral pancasila, dan menunjukkan keberpihakan yang sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Pemihakan dan perlindungan ditujukan pada ekonomi rakyat yang sejak zaman penjajahan sampai 57 tahun Indonesia merdeka selalu terpinggirkan. Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi nasional yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.

1.       Pesantren dan Perberdayaan Ekonomi Rakyat

Transformasi sosial merupakan visi besar berdirinya pesantren ditengah-tengah masyarakat. Semangat pengabdian kepada masyarakat dengan mengemban amanat agung dalam mengembangkan dakwah Islam   dalam   dimensi   yang   luas, membangun, mengembangkan   dan memberdayakan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama Islam yang pada akhirnya mendapat legitimasi dan dukungan mereka. Peran pesantren dalam lintasan sejarah pendidikan Islam Indonesia tak mungkin diragukan. Pesantren telah menjadi khazanah pendidikan dan budaya Islam di Indonesia.  Kontribusi yang besar telah ditorehkan  pesantren  dalam kancah  pendidikan  dan  pembentukan  sumberdaya  manusia  Indonesia secara kuantitas maupun kualitas jauh sebelum berdirinya sekolah.

Pesantren sejak berdiri pada abad ke 14 Masehi telah memiliki peran dan fungsi sebagai lembaga pendidikan dan pengkaderan ulama, lembaga dakwah bahkan sebagai pusat perjuangan rakyat dalam menentang penjajahan. Peran dan fungsi pesantren yang strategis juga mengikuti perkembangan zaman. Diantaranya, pesantren sebagai pusat pemberdayaan masyarakat adalah respon terhadap masa pemerintahan orde baru (Ziemek, 1986).

Di era 2000an pesantren telah berfungsi menjadi pusat pengembangan ekonomi kerakyatan, disini pesantren mengembangkan koperasi. Maka muncul Kopontren sebagai lembaga dibawah naungan Kemenag / Depag yang berupaya menfasilitasi beberapa kegiatan perkoperasian pesantren. Saat inipun, di era millineal posisi pesantren telah mununjukkan elan vitalnya dalam arus perubahan. Bank Indonesia sebagai salah satu lembaga pengambil kebijakan dalam sistem perekonomian Indonesia   melalui   Gubernurnya,   Perry   Wariyo   menyampaikan   pada acara high level discussion“ Fastabiqul Khairat melalui Pesantren sebagai Salah Satu Rantai Nilai Halal ”, yang diselenggarakan sebagai rangkaian Indonesia  Shari’a  Economic  Festival  (ISEF) 2018  pada  11  sd. 15 Desember 2018 di Surabaya bahwa ada tiga program pengembangan kemandirian ekonomi pesantren untuk mendukung pesantren sebagai basis arus ekonomi Indonesia:

a.       Pengembangan berbagai unit usaha berpotensi yang memanfaatkan kerjasama antar pesantren.

b.       Mendorong terjalinnya kerjasama bisnis antar pesantren melalui penyediaan virtual market produk usaha pesantren sekaligus business matching.

c.       Pengembangan holding pesantren dan penyusunan standarisasi laporan keuangan untuk pesantren dengan nama SANTRI (Sistem Akuntansi Pesantren Indonesia) yang dapat digunakan oleh setiap unit usaha pesantren

Kondisi tersebut diatas mengambarkan bahwa pesantren senantiasa bergerak melakukan inovasi, responsif terhadap perubahan zaman. Pesantren dengan segala potensinya cukup mempunyai daya tawar bagi perubahan masyarakat Indonesia namun upaya marginalisasi pesantren juga patut dicermati.

Dengan demikian maka pemberdayaan ekonomi merupakan sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan ekonomi berarti serangkaian aktifitas dalam upaya memperkuat kekuasaan kelompok lemah secara ekonomi dalam masyakat. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan harus dilihat dari hasil yang hendak diraih dengan mengacu pada indikator- indikator keberhasilan dalam pemberdayaan. Pemberdayaan ekonomi adalah konsep yang lahir sebagai antithesis terhadap model pembangunan dan model industrialisasi yang kurang berpihak kepada mayoritas masyarakat yang bukan pemegang kekuasaan ekonomi (Nadzir, 2015).  Realitas sosial menggambarkan bahwa pesantren merupakan lembaga yang sangat potensial dalam menggerakkan ekonomi berbasis pesantren. Pesantren harus bergerak aktif progresif dan responsif terhadap kemajuan ekonomi mikro dimasa yang akan datang (Syam, 2009).

Beberapa          Langkah kongkret yang dilakukan oleh pesantren, diantaranya :

1)      Pesantren sebagai pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat. Masyarakat dan alumni pesantren dimotivasi untuk membuka usaha-usaha kreatif mandiri dirumah sekitar pesantren (home industry)

2)      Pesantren sebagai pusat pengembangan ekonomi kerakyatan. Pesantren mendirikan koperasi-koperasi dilingkungannya, dimana para ustadz dan santri terlibat dalam mengelolanya dan bertanggung jawab secara manajemen dan operasional. Koperasi menerima barang, makanan minuman dan lainnya dari masyarakat sekitar.

3)      Pesantren membekali para santrinya dengan ketrampilan berwirausaha.

4)      Santri ketika terjun kedunia masyarakat mampu untuk berdikari dengan membuka usaha sebagai lapangan pekerjaannya sementara dakwah adalah amanat yang mesti diembannya. Disisi lain tidak semua santri akan menjadi ulama.

5)      Pesantren membuka dan mendirikan unit-unit usaha produktif. Usaha produktif didirikan dan dikembangkan dengan tujuan agar dapat menopang biaya operasional pesantren, meningkatkan kesejahteraan warga pesantren bahkan untuk mengembangkan pesantren yang pada akhirnya tercipta kemandirian pesantren.

6)      Pesantren menghimpun para-alumni yang mempunyai usaha dalam forum bisnis alumni, membuka jalinanan kerjasaama (networking) yang kuat guna pengembangan ekonomi umat / rakyat.

7)      Pesantren menyikapi global economic dengan merambah model bisnis online. Bisnis dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi.

Sumodiningrat menyatakan bahwa pemberdayaan ekonomi adalah usaha untuk menjadikan perekonomian yang kuat, besar, modern, dan berdaya saing tinggi dalam mekanisme pasar yang benar. Karena kendala pengembangan ekonomi rakyat adalah kendala struktural, maka pemberdayaan ekonomi rakyat harus dilakukan melalui perubahan struktural (Sumodiningrat, 1999).

Pemberdayaan ekonomi ummat adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan perekonomian ummat baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

2.       Potensi Perekonomian Pesantren

Pesantren   di   Indonesia   yang   mencapai   ribuan   jumlahnya   jelas mempunyai potensi besar dalam bidang ekonomi. Potensi yang dimiliki pesantran saat ini cukup mendapat perhatian, baik oleh pemerintah maupun yang lainnya. Secara historis kemandirian pesantren sudah teruji dan sumbangsihnya pada bangsa dan negara Indonesia menjadi suatu yang tak mungkin dinafikan. Saat ini pesantren harus dapat mampu berperan sebagai lembaga yang menjadi dinamisator dan katalisator pemberdayaan sumberdaya manusia dan penggerak pembangunan disegala sektor, termasuk sektor ekonomi (Amin, 2004).  Semboyan al muhafadotu ’alal qodimish sholih wal akhdu bil jadidil ashlah menjadi pemicu semangat pesantren untuk terus eksis dalam sistem budaya global. Pesantren secar terus menerus menggali  segala potensi yang ada, termasuk potensi ekonominya.

Kekuatan yang dimiliki pesantren merupakan potensi besar untuk dapat melakukan pemberdayaan umat dibidang ekonomi. Langkah pemberdayaan ekonomi merupakan dakwah bil hal dan upaya mengimplementasikan ilmu-ilmu yang diembannya secara kongkrit / aplikatif.  Islam memandang bahwa ekonomi merupakan wasilah bukan maqosid, ekonomi adalah salah satu cara dalam meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.  Ajaran Islam menekankan bahwa harta dan kegiatan ekonomi merupakan amanah dari Alloh SWT sang pemilik mutlak apa yang ada dimuka bumi ini (Antonio, 2001).  Oleh sebab itu orang yang beriman kepada Alloh SWT diperintahkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup dan menambah harta melalui jalan yang sesuai dengan syari’at Islam, seperti dengan cara bersedekah tidak dengan cara-cara ribawi sebab sedekah akan meningkatkan dampak positif terhadap harta kekayaan (Nadzir, 2015).

Pesantren harus menyadari betul akan potensinya. Potensi merupakan sebuah energi, daya kekuatan yang belum sepenuhnya digunakan secara optimal. Potensi merupakan kekuatan terpendam yang patut digali, ditingkatkan dan dikembangkan melalui sarana dan prasarana pendukung yang tepat dan baik sebagai langkah dalam mencapai kesejahteraan. Potensi dalam aktifitas perekonomian mempunyai arti segala sesuatu yang dapat dikembangkan dan ditingkatkan nilai manfaatnya sehingga mempunyai dampak ekonomi yaitu meningkatnya kualitas hidup masyarakat. Potensi ekonomi pesantren adalah kemampuan ekonomi yang terdapat di pesantren yang memungkinkan dan layak dikembangkan sehingga menjadi sumber penghidupan pesantren dan masyarakat sekitar bahkan mampu mendorong perekonomian daerah secara keseluruhan untuk berkembang dan berkesinambungan.

Mengacu pada kegiatan ekonomi maka diantara potensi ekonomi pesantren yang patut mendapatkan perhatian dan dikembangkan adalah potensi produksi, potensi distribusi dan potensi konsumsi.

a.      Potensi Produksi

Pesantren dengan kepemilikikan lahan yang cukup luas, mempunyai banyak tenaga kerja (santri dan masyarakat sekitar) dan memiliki teknologi untuk aktifitas produksi merupakan indikator bahwa pesantren merupakan produsen dalam kegiatan ekonomi. Pesantren yang memiliki lahan pertanian, perkebunan, pertambakan dan bergerak di sektor tersebut akan sangat berpotensi menjadi produsen dibidang tersebut. Pesantren yang menfokuskan pada industri sekala kecil dan menengah sangat berpeluang menjadi pelaku industri. Pesantren dengan kekuatan keilmuannya, kajian dan telaah hukum Islam sangat memungkinkan menjadi penerbit buku dan berperan di industri percetakaan. Disini usaha pesantren untuk menghasilkan, mengubah barang dan jasa agar bernilai tinggi merupakan bentuk potensi produksi pesantren.

b.     Potensi Distribusi

Usaha dibidang distribusi merupakan salah satu usaha dibidang pemasaran produk dimana aktifitasnya menjual barang atau jasa secara langsung kepada konsumen 20. Dalam hal ini pesantren sangat berpotensi dalam menangkap peluang usaha ini. Pesantren dengan kekuatan jaringannya, santri, para-alumni dan jaringan pesantren akan menemukan sisi bergainingnya dalam membangun bisnis ini. Bisnis ini adalah bisnis dengan mengandalkan kekuatan networknya.

c.      Potensi Konsumsi

Komsumsi merupakan aktifitas yang pasti sering dilakukan oleh manusia dalam kegiatan ekonominya. Banyaknya jumlah pesantren yang tersebar di pelosok negeri Indonesia dan dengan jumlah santri yang banyak pula adalah hal yang sangat potensial dalam kegiatan ekonomi dibidang konsumsi. Kegiatan konsumsi adalah aktifitas yang bersifat mengurangi atau menghabiskan manfaat dari hasil produksi baik berupa barang maupun jasa guna.

memenuhi kebutuhan 21. Daya serap pesantren dan santri terhadap jumlah barang produksi merupakan bukti yang sangat signifikan bahwa pesantren memiliki daya konsumsi yang tinggi. Maka para produsen dan distributor bahkan dunia industri selayaknya menjadikan pesantren sebagai sasaran pemasaran produksi, terlebih sebagai mitra dalam membangun perekonomian.

 

 

 

 

Kesimpulan

Kontribusi pesantren sebagai lembaga yang berupaya mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia tak mungkin dinafikan begitu saja. Sejarah telah mencatat betapa signifikannya peran dan posisi pesantren dalam dinamika pembangunan bangsa Indonesia. Saat inipun dapat disaksikan bagaimana pesantren mengambil peran kebangsaan. Secara kuantitas maupun kualitas, pesantren menjadi lembaga yang layak diperhitungkan dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

Geliat perekonomian pesantren adalah salah satu indikator pertumbuhan ekonomi rakyat mulai tumbuh dan berkembang kearah yang lebih baik. Aktifitas ekonomi pesantren diawal tujuannya untuk kemandirian lembaga telah menjadi modal besar yang sangat potensial dikembangkan untuk pemberdayaan ekonomi rakyat. Langkah strategis harus diambil oleh pesantren dalam memgembangkan kemandirian ekonomi pesantren dan pemberdayaan ekonomi masyarakat atau rakyat.

Pesantren bukan lagi lembaga eksklusif melainkan inklusif dimana arus globalisasi, era teknologi komunikasi informasi, dan revolusi industri 4.0 harus direspon secara positif untuk pengembangan ekonominya dan menjadi bagian untuk memperkaya eksistensinya di abad milenial ini. Pesantren adalah lembaga yang integritasnya tinggi dengan potensi yang besar akan mampu menjadi basis kekuatan ekonomi rakyat yang bergerak secara masif produktif.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Al-Baihaqi, A. bin H., & Bakar, A. (2003). Sunan al-Kubra> li al-Baihaqi>. Tahqiq: Muhammad Abdul Qadir. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah. Google Scholar

 

Amin, H. (2004). Masa Depan Pesantren: Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global. Jakarta: IRD press. Google Scholar

 

Antonio, M. S. (2001). Bank Syariah: dari teori ke praktik. Gema Insani. Google Scholar

 

Azizy, A. Q. A. (2004). Membangun Fondasi Ekonomi Umat: Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam. Pustaka Pelajar. Google Scholar

 

Fitri, M. (2017). Prinsip Pemberdayaan Ekonomi Di Pesantren. Al-Qolam: Jurnal Dakwah Dan Pemberdayaan Masyarakat, 1(1), 86–102. Google Scholar

 

Halim, A. (2005). Manajemen pesantren. Pustaka Pesantren. Google Scholar

 

Hutomo, M. Y. (2000). Pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi: Tinjauan teoritik dan implementasi. Bappenas, Jakarta. Google Scholar

 

Isa, M. (2011). Analisis kompetensi kewirausahaan, orientasi kewirausahaan, dan kinerja industri mebel. Google Scholar

 

Jatmika, M. (2018). Pemikiran Afzalur Rahman tentang Konsumsi dalam Ekonomi Islam. AL-Muqayyad, 1(1), 1–24. Google Scholar

 

Landa, J. T. (1994). Trust, ethnicity, and identity: beyond the new institutional economics of ethnic trading networks, contract law, and gift-exchange. University of Michigan Press. Google Scholar

 

Misbah, A. (2021). Ekonomi Kerakyatan Berbasis Pesantren. Jurnal Al-Iqtishod, 5(1), 1–15. Google Scholar

 

Nadzir, M. (2015). Membangun Pemberdayaan Ekonomi di Pesantren. Economica: Jurnal Ekonomi Islam, 6(1), 37–56. Google Scholar

 

Nasir, M. R. (2005). Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan. Pustaka pelajar. Google Scholar

 

Nur Azizah, S. (2012). Pemberdayaan Ekonomi Pondok Pesantren Berbasis Ekoproteksi (Studi Kasus Pondok Pesantren Mamba’ul Ulum Tunjungmuli Karangmoncol Purbalingga). Skripsi, Program Sarjana STAIN Purwokerto. Google Scholar

 

Nusantara, L. S. (n.d.). Ekonomi Kerakyatan. Google Scholar

 

Rimbawan, Y. (2012). Pesantren dan Ekonomi: Kajian Pemberdayaan Ekonomi Pesantren Darul Falah Bendo Mungal Krian Sidoarjo Jawa Timur. Google Scholar

 

Suharto, E. (2005). Membangun masyarakat memberdayakan rakyat kajian strategis pembangunan kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial. PT Refika Aditama. Google Scholar

 

Sumodiningrat, G. (1999). Pemberdayaan masyarakat dan jaring pengaman sosial. Gramedia Pusataka Utama. Google Scholar

 

Syam, N. (2009). Penguatan Kelembagaan Ekonomi Berbasis Pesantren” dalam Manajemen Pesantren. Yogyakarta: LKIS. Google Scholar

 

Usman, S. (1998). Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Pustaka Pelajar. Google Scholar

 

Zaini, A. (2000). Kyai Haji Abdul Wahid Hasyim: his contribution to Muslim educational reform and to Indonesian nationalism during the twentieth century. Google Scholar

 

Ziemek, M. (1986). Pesantren dalam perubahan Sosial. Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Google Scholar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Copyright holder :

Arif Rahman Nurul Amin, Maya Panorama (2021).

 

First publication right :

Jurnal Syntax Transformation

 

This article is licensed

under: