Jurnal
Syntax Transformation |
Vol. 2
No. 8, Agustus 2021 |
p-ISSN :
2721-3854 e-ISSN : 2721-2769 |
Sosial
Sains |
SANKSI ADMINSITRATIF TERHADAP NOTARIS YANG
MENOLAK PROTOKOL NOTARIS
Indyravastha Rezhana Vulany Putri S, Bayu Dwi Anggono, Moh. Ali
Universitas Jember Jawa Timur, Indonesia
Email: Indyra2112@gmail.com, bayu_fhunej@yahoo.co.id, tugasm930@gmail.com
INFO ARTIKEL |
ABSTRAK |
Diterima 10 Juli 2021 Direvisi 10 Agustus 2021 Disetujui 15 Agustus 2021 |
Notaris dalam pelaksanaan tugas jabatannya memiliki kewajiban untuk
menerima protokol dari Notaris yang berhenti menjabat. Kewajiban tersebut
meskipun tidak diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris namun diatur secara
implisit dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 19 Tahun
2019 Tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Cuti, Perpindahan,
Pemberhentian dan Perpanjangan Masa Jabatan Notaris (Permenkumham Nomor 19
Tahun 2019). Penelitian ini menggunakan metode Yuridis normatif dan diperolah hasil bahwasanya Notaris diwajibkan
untuk menjaga protokol Notaris karena merupakan kategori sebagai arsip negara. Sanksi administratif atas
kewajiban Notaris untuk menerima protokol sudah dinyatakan melalui surat
pernyataan yang dibuat oleh Notaris sebelum menjabat sehingga hal ini menjadi
kewajiban yang mengikat bagi Notaris, namun demikian secara spesifik tidak
disebutkan dalam peraturan hukum terkait. Arsip protokol
notaris dimasa yang akan datang seharusnya
nggak memberatkan notaris penerima protokol sehingga di masa depan atau segera
dapat direalisasikan dalam bentuk file document atau dalam bentuk
yang lebih praktis. ABSTRACT Notaries in the performance of their duties have an obligation to
accept the protocol of the Notary who quits office. The obligation, although
not regulated in the Notary Office Law, is regulated implicitly in the Regulation
of the Minister of Law and Human Rights No. 19 of 2019 concerning the Terms
and Procedures for appointment, leave, transfer, termination and extension of
the term of notary (Permenkumham No. 19 of 2019). This research uses the
method... And processed the results that notaries are required to maintain
the Notary protocol because it is a category as a state archive.
Administrative sanctions for the notary's obligation to receive the protocol
have been stated through an affidavit made by the Notary before taking office
so that this becomes a binding obligation for the Notary, but it is not
specifically mentioned in the relevant legal regulations. The archive of
notary protocols in the future should not burden the notary of the recipient
of the protocol so that in the future or soon can be realized in the form of
file documents or in a more practical form. |
Kata Kunci: Notaris, Sanksi Administratif, Protokol Keywords: Notary, Administrative Sanctions, Protocol |
Pendahuluan
Akta
otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, hal ini
disebabkan karena akta autentik dibuat
sesuai dengan kenyataan yang dilihat oleh seorang Notaris tersebut sampai dapat dibuktikan sebaliknya. Dalam Undang-undang mengatakan bahwa, pembuktian dengan menggunakan alat bukti tulisan atau akta otentik
merupakan alat bukti yang diakui dan beberapa perbuatan dianggap sangat penting sehingga mengharuskan adanya pembuatan akta. (Adjie, 2011)
Notaris dalam menjalankan jabatannya mempunyai kewenangan dalam membuat akta
otentik yang telah diatur di dalam Pasal 15 Undang Undang Jabatan Notaris dan kewenangan lainnya yang diatur di dalam undang-undang. Selain memiliki kewenangan, di dalam undang-undang jabatan notaris juga mengatur mengenai kewajiban serta larangan dimana kedua hal
tersebut tidak boleh dilanggar.
Keberadaan
seorang notaris sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta segala capnya memberikan
jaminan dan bukti, seorang ahli yang tidak memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar
atau unimpeachable), yang tutup
mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya di hari yang akan datang. Perlunya suatu tanggung jawab baik individual maupun sosial, terutama ketaatan terhadap norma-norma hukum positif dan kesediaan untuk tunduk pada Kode Etik Profesi, bahkan
merupakan suatu hal yang wajib sehingga akan memperkuat
norma hukum positif yang sudah ada (Tedjosaputro, 1995).
Notaris
sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
yang memuat kebenaran formal
sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris.
Menurut Subekti, “yang dinamakan surat akta adalah suatu
tulisan yang semata-mata dibuat
untuk membuktikan sesuatu hal atau
peristiwa, karenanya suatu akta harus
selalu ditandatangani (R Subekti, 2021)”. Sedangkan menurut Sudikno Martokusumo (Mertokusumo, 1998), “bahwa yang dinamakan dengan akta adalah surat
yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peritiwa yang menjadi dasar dari suatu
hak/perikatan yang dibuat sejak semula
dengan sengaja untuk pembuktian”. Dengan demikian, pembuatan akta notaris dapat digunakan
sebagai pembuktian dalam sebuah sengketa
hukum yang digunakan sebagai alat untuk
mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, sehingga dapat digunakan untuk kepentingan pembuktian”(Soegondo, 1982).
Pasal
1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut KUH Perdata) menyebutkan bahwa, bukti tulisan merupakan salah satu alat bukti tertulis”.
Demikian pula dalam Pasal 1867 KUH Perdata menetapkan :
“Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan”. Terlepas dari tugas profesi
notaris yang berwenang membuat akta notaris,
pemberian kewenangan pada notaris akan menimbulkan
konsekuensi hukum dengan lahirnya beban tanggung jawab hukum. Konsekuensi
ini melahirkan beban tanggung jawab hukum yang sangat besar guna
memberikan suatu kepastian hukum dalam masyarakat. Indonesia merupakan negara hukum, artinya kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, peran pemerintah hanya sebagai penyelenggara
urusan negara dalam menjaga kepastian hukum dan ketertiban di masyarakat. Dengan demikian, notaris..yang diangkat oleh negara, secara tidak langsung bertanggung jawab dalam memberikan kepastian hukum di masyarakat (Adjie, 2008)
.
Terkait
demikian, timbul adanya suatu permasalahan
hukum yang timbul akibat dibuatnya suatu akta oleh notaris saat menjalankan
tugas dan jabatannya di bidang kenotariatan, kedudukan Notaris sebagai pelaksana hukum, sedangkan pada waktu Notaris dikenakan
tanggung gugat, kedudukan Notaris sebagai yang dikenakan hukum, berhadapan dengan penerapan sanksi.(Adjie, 2008) Apabila seorang Notaris, sudah tidak menjabat
lagi meskipun yang bersangkutan masih hidup tidak dapat
dimintakan lagi tanggung gugat dalam bentuk apapun
dan Notaris penyimpan protokol wajib memperlihatkan atau menyerahkan grosse/akta, salinan akta
atau kutipan akta atau oleh Majelis Pengawas Daerah untuk protokol Notaris yang telah berumur dua puluh
lima tahun atau lebih, sebagaimana diatur pada Pasal 63 ayat (5) Undang-Undang Jabatan Notaris (Adjie, 2008).
Batasan tanggung
gugat notaris, dapat diminta sepanjang
mereka masih berwenang dalam melakanakan tugas jabatan sebagai notaris atau kesalahan-kesalahan
yang di lakukan dalam menjalankan tugas jabatan sebagai notaris dan sanksi-sanksi yang dapat dikenakan terhadap notaris dapat dijatuhkan sepanjang notaris masih berwenang untuk melaksanakan tugas jabatan sebagai
notaris, dengan kontruksi tanggung gugat seperti tersebut
di atas, tidak akan ada lagi
notaris setelah yang bersangkutan berhenti dari tugasnya sebagai
notaris.
Pasal
65 Undang-Undang Jabatan Notaris mengategorikan bahwa Notaris, Notaris Pengganti, Notaris. Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris bertanggung jawab atas setiap akta
yang dibuatnya meskipun Protokol Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan
Protokol Notaris. Sebagaimana yang telah diuraikan bahwa protokol Notaris yang telah meninggal dunia wajib diserahkan kepada Notaris lain melalui ahli warisnya
dan protokol Notaris yang telah memasuki usia 65 (enam puluh
lima) tahun wajib diserahkan kepada Notaris pemegang protokol. Namun bagaimana terhadap protokol Notaris yang jumlahnya banyak dan membutuhkan tempat penyimpanan yang luas. Namun masih terdapat
Notaris yang ditetapkan menjadi pemegang protokol menolak untuk menyimpan protokol karena berbagai hal.
Tidak
adanya pengaturan terkait siapa yang harus menerima protokol tersebut serta tidak adanya
sanksi terhadap Notaris yang telah ditunjuk untuk menerima protokol oleh Majelis Pengawas Daerah tetapi tidak mau
menerima penyerahan protokol tersebut. Adapun yang dimaksud dengan penyerahan Protokol dalam Penelitian Tesis ini adalah
Penyerahan Protokol Notaris yang meninggal dunia atau telah memasuki
masa pensiun kepada penerima Protokol.
Sebagian dari
tanggungjawab tugasnya seorang notaris Notaris mempunyai kewajiban untuk menerima protokol dari Notaris yang selesai masa jabatannya. Meskipun kewajiban tersebut tidak terkandung dalam Undang-Undang Jabatan Notaris tetapi di jibarkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
19 Tahun 2019 Tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan,
Cuti, Perpindahan, Pemberhentian dan Perpanjangan
Masa Jabatan Notaris (Permenkumham Nomor 19 Tahun 2019).
Pasal
2 ayat (3) butir c dijelaskan ketika Notaris mengajukan permohonan pengangkatan maka wajib untuk
membuat surat pernyataan kesediaan sebagai pemegang protokol. Dalam hal ini ada
kekosongan hukum terkait sanksi apabila notaris menolak protokol tersebut.
Penelitian
yang dilakukan oleh (Utomo & Safi’i, 2019)
menjabarkan bahwa Philipus M. Hadjon terdapat beberapa sanksi dalam hukum
Administratsi Negara sebagai
berikut :
1. Besturssdwang atau paksaan pemerintah,
yakni tindakan-tindakan
yang nyata dari pemilik kebijakan yang berfungsi sebagai salah satu cara untuk
memberhentikan kondisi yang
melanggang kaidah hukum administrasi.
2. Pencabutan kebijakan yang menguntungkan dan menggantinya dengan kebijakan lainnya yang sesuai.
3. Pemberian denda administratif, bagi Notaris yang melakukan tindakan indispliner dari peraturan perundang-undangan..
4. Pengenaan uang denda untuk memberikan
efek jera dan hukuman yang pasti oleh pemangku kebijkan dalam hal ini
adalah pemerintah.
Tujuan
dari penelitian ini yakni nerupakan
tujuan yang berkaitan dengan obyek studi
diantaranya :
1. Untuk menemukan tanggung jawab dari Notaris
yang menerima protokol.
2. Untuk menemukan sanksi administratif dari Notaris yang menerima protokol.
3. Untuk menemukan konsep pengaturan ke depan
terhadap sanksi admisistratif terhadap notaris yang menolak menerima protokol.
Penulisan
ini juga diharapkan memberi manfaat sebagai pengembangan teori hukum, sumbangsih
penikiran dalam rangka masalah sanksi administratif terhadap notaris, dan dalam hal pertanggungjawaban
notaris yang menerima protokol.
Metode Penelitian
Guna menjaga
suatu kebenaran ilmiah, maka dalam
suatu penulisan harus mempergunakan metode penulisan dalam penelitian ini penulis menggunakan
metode penelitian yuridis normatif yang tepat karena hal
tersebut sangat diperlukan dan merupakan pedoman dalam rangka
mengadakan analisis terhadap data hasil penelitian. Ciri dari karya ilmiah di bidang hukum adalah mengandung kesesuaian dan
mengandung kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Metodologi pada
hakikatnya berusaha untuk memberikan pedoman tentang tata cara seseorang ilmuwan
untuk mempelajari, menganalisa dan memahami lingkungan-lingkungan yang
dihadapinya. Mengadakan suatu penelitian ilmiah mutlak menggunakan metode,
karena dengan metode tersebut berarti penyelidikan yang berlangsung menurut
suatu rencana tertentu. Menempuh suatu jalan tertentu untuk mencapai suatu
tujuan, artinya peneliti tidak bekerja secara acak-acakan melainkan setiap
langkah yang diambil harus jelas serta ada pembatasan-pembatasan tertentu untuk
menghindari jalan yang menyesatkan dan tidak terkendalikan.
Hasil dan Pembahasan
1.
Tanggung Jawab dari
Notaris Yang Menerima Protokol
Tanggung jawab Notaris jika dilihat dari
Undang-Undang Jabatan Notaris berkaitan erat dengan tugas
dan tanggungjawab serta profesionalitas seorang Notaris. Dalam menjalankan tugasnya Notaris harus menanggung
segala akibatnya yang terdapat dalam akta-akta yang dibuat diakrenakan telah memperoleh trust untuk membuat akta atau
melaksanakan suatu pekerjaan, serta hal tersebut adalah
Amanah dalam jabatan yang didudukinya.
Noco menyatakan tentang apa yang dapat dipertanggungjawabkan oleh Notaris
dapat dibagi menjadi 4 (empat) bentuk tanggung jawab Notaris, yaitu :
Menurut Herlien Budiono, etika jabatan Notaris
dalam (Gitayani, 2018)
menyangkut masalah yang berhubungan dengan sikap para Notaris berdasarkan nilai dari moral terhadap rekan Notaris, masyarakat dan Negara. Dengan dijiwai pelayanan yang berintikan penghormatan terhadap martabat manusia pada umumnya dan martabat Notaris pada khususnya, maka ciri pengembangan profesi Notaris adalah (Ismawi, 2014)
:
a. Kredibel, independen, Tidak tendensius serta berkomitmen;
b. Tidak mementingkan urusan pribadi diatas kepentingan masyarakat dan Negara;
c. Tidak pamrih (disinterestedness);
d. Rasional
yang berarti mengacu kebenaran objektif;
e. Profesionalitas dan ahli ; dan
f. Solidaritas antara sesama rekan dengan tujuan
menjaga kualitas dan martabat profesi.
Notaris mempunyai tanggung jawab untuk selalu
patuh dan taat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana terucap dalam sumpah jabatannya : “…. bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang tentang
Jabatan Notaris seria peraturan perundang-undangan lainnya .....”.
Dalam pelaksanaan tugas jabatannya memiliki kewajiban untuk menerima protokol dari Notaris yang berhenti menjabat. Kewajiban tersebut meskipun tidak diatur dalam UUJN namun diatur secara
implisit dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Haka Asasi
Manusia Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pengangkatan,
Cuti, Perpindahan, Pemberhentian Dan Perpanjangan
Masa Jabatan Notaris (Permenkumham Nomor 19 Th. 2019).
Pada Pasal 2 ayat (3) butir c diatur bahwa pada saat Notaris mengajukan permohonan pengangkatan maka wajib untuk
membuat surat pernyataan kesediaan sebagai pemegang protocol.
Notaris dan produk
aktanya dapat dimaknai sebagai upaya Negara untuk menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi anggota masyarakat (Hermawan & Chalim, 2017). Mengingat dalam wilayah hukum privat/perdata,
negara menempatkan notaris sebagai pejabat umum yang berwenang dalam pembuatan akta otentik, untuk
kepentingan pembuktian alat/bukti. Salah satu bentuk tanggung
jawab notaris adalah berkaitan dengan protokol notaris yaitu kumpulan
dokumen yang merupakan arsip Negara yang harus
disimpan dan dijaga oleh notaris yang menjadi kewajiban notaris, karena didalam protokol notaris terdapat dokumen-dokumen antara lain minuta akta, sebagai alat
bukti yang sempurna agar tercapai kepastian hukum. Protokol notaris harus dijaga
tetap terpelihara dan dalam pengawasan yang berwenang serta diharuskan oleh Undang-Undang.
Protokol tersebut wajib dirawat dan disimpan dengan baik oleh notaris yang bersangkutan atau oleh Notaris pemegang protokol, dan akan tetap berlaku selama
sepanjang jabatan Notaris masih tetap
diperlukan oleh Negara. Protokol
Notaris terdiri dari :
a.
Bundel minuta akta.
b.
Daftar Akta (repertorium)
(Pasal 58 ayat (1) UUJN)
c.
Buku daftar untuk
surat dibawah tangan yang disahkan dan ditandatangani dihadapan Notaris (legalisasi) (Pasal 58 ayat (1) UUJN).
d.
Buku daftar untuk
surat dibawah tangan yang dibukukan (waarmerking) (Pasal 58 ayat (1) UUJN).
e.
Buku daftar protes
terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga (Pasal 16 huruf h UUJN).
f.
Buku daftar wasiat
(Pasal 16 ayat (1) huruf i UUJN).
g.
Daftar klepper untuk
para penghadap.
h.
Daftar klapper untuk
surat dibawah tangan yang disahkan dan ditanda tangani di hadapan Notaris (legalisasi) (Pasal 59 ayat (1) UUJN).
i.
Daftar Klapper untuk
surat dibawah tangan yang dibukukuan (waarmerking) – Pasal 59 ayat (1) UUJN).
j.
Daftar surat lain yang diwajibkan oleh UUJN (Pasal 58 ayat (1) UUJN).
Protokol notaris merupakan bagian dari administrasi kantor notaris yang mempunyai fungsi dan peran yang sangat penting agar notaris dapat menjalankan jabatan yang baik dan benar, sehingga protokol notaris merupakan arsip Negara yang harus ditata dan dikelola dengan baik.
2. Bentuk Sanksi Administratif Terhadap Notaris
Yang Menolak Menerima Protokol
Notaris sebagai
Pejabat umum (openbaar ambtenaar)
berwenang membuat akta otentik sehubungan
dengan kewenangannya tersebut Notaris dapat dibebani tanggung jawab atas
perbuatannya dalam membuat akta otentik.
Perbuatan melawan hukum disini dalam sifat aktif maupun
pasif, aktif, dalam artian melakukan
perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak
lain. Sedangkan pasif, dalam artian tidak
melakukan perbuatan yang merupakan keharusan,
sehingga pihak lain menderita kerugian. Jadi unsur dari perbuatan melawan hukum disini
yaitu adanya suatu perbuatan melawan hukum, adanya
kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan.
Tuntutan tanggung
jawab oleh Notaris muncul sejak terjadinya
sengketa berkaitan dengan akta yang telah dibuat dengan
memenuhi unsur-unsur dalam perbuatan melawan
hukum meliputi perbuatan manusia yang memenuhi rumusan peraturan perundang-undangan, artinya
berlaku asas legalitas, nulum delictum
nulla poena sine praevia lege poenali
(tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika
hal tersebut tidak atau belum
dinyatakan dalam aturan undang-undang), dan perbuatan itu merupakan perbuatan melawan hukum.(Utomo & Safi’i, 2019)
Hukum termasuk sollenskatagori
atau sebagai keharusan bukan seinskatagori atau sebagai kenyataan. Orang menaati hukum karena
memang seharusnya menaati sebagai perintah
Negara. Melalaikan perintah
akan mengakibatkan orang itu berurusan dengan sanksi. Aliran hukum positif memberikan
penegasan terhadap hukum yaitu bentuk hukum adalah undang-undang,
isi hukum adalah perintah penguasa, ciri hukum adalah sanksi
perintah, kewajiban dan kedaulatan, sistematisasi norma hukum menurut Hans Kelsen adalah hierarki norma hukum (Subaryati, 2012).
Sanksi yang ditujukan terhadap Notaris
juga merupakan penyadaran, bahwa Notaris dalam melakukan tugas dan jabatannya
telah melanggar ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Jabatan
Notaris (Purwaningsih, 2011). Karena hakekatnya sanksi sebagai suatu paksaan
berdasarkan hukum, juga untuk memberikan penyandaran
kepada pihak yang melanggarnya serta untuk mengembalikan tindakan
Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya untuk tertib sesuai dengan
Undang-Undang Jabatan Notaris.
Prosedur penjatuhan
sanksi administratif dilakukan secara langsung oleh instansi yang diberi wewenang
untuk menjatuhkan sanksi tersebut (Mardiyah et al., 2016).
Penjatuhan sanksi administrasi adalah langkah preventif (pengawasan) dan langkah represif (penerapan sanksi). Langkah preventif dilakukan melalui pemeriksaan protokol Notaris secara berkala dan kemungkinan
adanya pelanggaran dalam pelaksanaan jabatan Notaris. Sedangkan langkah represif dilakuan melalui penjatuhan sanksi oleh Majelis Pengawas Daerah, berupa teguran
lisan dan tertulis serta berhak mengusulkan
kepada Majelis Pengawas
Pusat pemberhentian sementara
3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) dan pemberhentian tidak
terhormat. Majelis pengawas pusat selanjutnya melakukan pemberhentian sementara serta berhak mengusulkan kepada menteri pemberhentian dengan tidak hormat.
Jika
ditinjau Kembali pada saat pengangkatan jabatan sebagai Notaris diangkat maka terlebih
dahulu wajib mengucapkan sumpah jabatan, yang pada salah satu bagian lafal sumpah
menyatakan “... bahwa
saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia,
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris serta peraturan perundang-undangan lainnya...”.
Kalimat sumpah tersebut diucapkan oleh seorang notaris, maknanya dalam lafal tersebut
mengandung makna Notaris wajib patuh
dan setia kepada :
a. Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. Pancasila;
c. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. Undang-Undang tentang Jabatan Notaris; dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Mengenai Peraturan Perundang-undangan
lainnya dapat dilihat dari ketentuan
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
menyatakan : (1) Jenis dan hierarki Pera Perundang-undangan
terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan
Majelis Permusyawaratan
Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e.Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. (2) Kekuatan
hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selanjutnya dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dinyatakan bahwa : (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,
Menteri, badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan.
Dengan adanya ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tersebut maka jelas kedudukan
Peraturan Menteri Hukum Dan Hak
Asasi Manusia sebagai suatu bentuk
peraturan perundang-undangan,
sehingga dalam hal ini Notaris
juga wajib untuk mematuhi segala yang telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia. Notaris dalam pelaksanaan tugas jabatannya memiliki kewajiban untuk menerima protokol dari Notaris
yang berhenti menjabat. Kewajiban tersebut meskipun tidak diatur dalam Undang-Undang
Jabatan Notaris namun diatur secara
implisit dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
19 Tahun 2019 Tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan,
Cuti, Perpindahan, Pemberhentian dan Perpanjangan
Masa Jabatan Notaris. Pada Pasal 2 ayat (3) butir c diatur bahwa pada saat Notaris mengajukan permohonan pengangkatan maka wajib untuk
membuat surat pernyataan kesediaan sebagai pemegang protokol. Pasal 9 ayat (1) butir d Undang-Undang Jabatan Notaris menentukan bahwa Notaris diberhentikan
sementara dari jabatannya karena : “melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan jabatan serta kode
etik Notaris.”.
Pasal 35 Undang-Undang Jabatan
Notaris mengatur bahwa setiap kali ada Notaris yang meninggal dunia, maka keluarganya
wajib memberitahukan kepada Majelis Pengawas Daerah (MPD) paling lambat 7
(Tujuh) hari kerja. Apabila Notaris meninggal dunia pada saat menjalankan cuti
,tugas jabatan Notaris dijalankan oleh Notaris Pengganti sebagai Pejabat Sementara
Notaris paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Notaris
meninggal dunia. Selanjutnya Pejabat Sementara Notaris tersebut menyerahkan protokol Notaris
dari Notaris yang meninggal dunia kepada MPD paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung
sejak tanggal Notaris meninggal dunia. Dalam hal Notaris meninggal dunia,
maka protokol Notaris tersebuut akan diserahkan kepada Notaris lain yang akan
menggantikannya.
Penyerahan protokol Notaris dalam
hal meninggal dunia dilakukan oleh ahli waris kepada Notaris lain yang ditunjuk
oleh MPD. Kedudukan notaris sebagai seorang pejabat umum
merupakan suatu jabatan terhormat yang diberikan oleh Negara secara atributif
melalui Undang Undang dan yang mengangkatnya adalah Menteri, hal tersebut berdasarkan
Pasal 2 UUJN : “Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri”. Dengan
diangkatnya seorang Notaris oleh Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, maka seorang
Notaris dapat menjalankan tugasnya dengan bebas, tanpa dipengaruhi badan
eksekutif dan badan lainnya. Maksud kebebasan disini adalah agar Notaris dalam menjalankan
jabatan nantinya dapat bertindak netral dan independen. Selain itu dalam
mengemban tugasnya itu seorang Notaris harus memiliki tanggung jawab, yang artinya :
a
Notaris dituntut
melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya akta
yang dibuat itu menaruh kehendak hukum dan permintaan pihak berkepentingan karena
jabatannya.
b
Notaris dituntut mengasilkan akta
yang bermutu. Artinya akta yang dibuat itu sesuai dengan aturan hukum dan
kehendak pihak yang berkepentingan dalam arti sebenarnya, bukan mengada–ada.
Notaris harus menjelaskan kepada pihak yang berkepentingan kebenaran isi dan prosedur
akta yang dibuatnya itu; dan
c
Berdampak
positif, artinya siapapun akan mengakui isi akta Notaris itu mempunyai bukti
yang sempurna.
Tanggung jawab Notaris untuk
menjaga protokol Notaris tidak hanya sebatas Protokol atas
akta-akta yang dibuatnya sendiri tetapi juga atas protokol yang diterimanya dari
Notaris lain. Selain itu tanggung jawab Notaris untuk menjaga protokol juga
tidak hanya sebatas menjaga secara fisik saja tetapi juga menjaga kerahasiaan yang
terdapat didalamnya sebagaimana diucapkan dalam sumpah jabatan “... bahwa saya
akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan
jabatan saya” dan juga menjadi kewajiban
sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) butir f Undang-Undang Jabatan Notaris yang
mewajibkan Notaris untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta
yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai
dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.
Secara umum, sanksi
dalam peraturan peraturan perundang-undangan, termasuk juga sanksi administratif, biasanya dikaitkan
dengan atau sebagai konsekuensi dari suatu norma
yang dirumuskan dalam bentuk larangan, perintah (keharusan),
atau wajib (kewajiban). Suatu norma yang berisi larangan, perintah (keharusan), atau wajib (kewajiban)
pada umumnya akan mengalami kesulitan dalam penegakannya apabila
tidak disertai dengan sanksi.Ada
beberapa tujuan pencantuman dan penerapanketentuan
sanksi dalam peraturan perundang-undangan,termasuk
sanksi administratif.
Pertama, sebagai upaya penegakan ketentuan peraturan perundang-undangan. Seperti diuraikan
sebelumnya bahwa suatu norma yang mengandung larangan,
perintah (keharusan), atau keharusan pada umumnya
akan mengalami kesulitan dalam penegakannya apabila
tidak disertai dangan sanksi. Pemberian sanksi akan
memudahkan penegakan norma tersebut dan pada gilirannya akan
melihat kedayagunaan/kehasilgunaan peraturan perundang-undangan
tersebut. Selain itu, pencantuman sanksi
juga merupakan upaya agar seseorangmenaati ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kedua, memberikan hukuman bagi siapapun
yang melakukan pelanggaran
atas suatu norma peraturan perundang-undangan. Orang yang melakukan pelanggaran atas suatu
norma memang sudah sepantasnya diberikan hukuman sesuai
dengan berat/ringannya pelanggaran tersebut. Hukuman
tersebut menjadi sepadan/tepat apabila orang tersebut
memang secara sengaja melakukan pelanggaran atas
suatu norma. Orang yang melakukan pelanggaran secara
sengaja dapat diasumsikan bahwa orang tersebut memang
mempunyai niat/itikad tidak baik,
sehingga orang tersebut
pantas untuk mendapat hukuman/ganjaran yang setimpal.
Ketiga, membuat jera seseorang untuk melakukan kembali pelanggaran hukum.
Dengan dijatuhkannya sanksi diharapkan orang tidak
akan melakukan kembali pelanggaran. Dalam hukum pidana
hal ini dikenal
dengan teori penjeraan. Keempat, mencegah
pihak lain untuk melakukanpelanggaran hukum. Dengan adanya ancaman
berupa sanksi diharapkan orang tidak
akan melakukan pelanggaran hukum. Hal ini
merupakan rambu-rambu atau peringatan agar seseorang tidak
melakukan sesuatu yang dilarang.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dikemukakan bahwasanya Notaris memiliki
tanggung jawab untuk menjaga protokol
Notaris karena merupakan arsip
negara. Tanggung jawab Notaris untuk menjaga
protokol Notaris tidak
hanya sebatas Protokol atas akta-akta yang dibuatnya sendiri tetapi juga atas protokol yang diterimanya dari Notaris lain.
Selain itu tanggung jawab Notaris untuk menjaga protokoljuga tidak
hanya sebatas menjaga secara fisik saja tetapi
juga menjaga kerahasiaan yang terdapat didalamnya
sebagaimana diucapkan dalam sumpah jabatan. Kewajiban Notaris
untuk menerima protokol sudah dinyatakan melalui surat pernyataan yang dibuat oleh Notaris sebelum menjabat sehingga hal ini
menjadi kewajiban yang mengikat bagi
Notaris. Notaris yang menolak menerima Protokol dapat dikenakan sanksi pemberhentian sementara.
Ketentuan Pasal 65 Undang-Undang Jabatan Notaris
mengatur bahwa Notaris, Notaris Pengganti, Notaris. Pengganti Khusus, dan
Pejabat Sementara Notaris bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya
meskipun Protokol Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan
Protokol Notaris. Pada saat ini semakin banyak Notaris yang telah memasuki usia
65 (enam puluh lima) tahun atau telah meninggal dunia yang menyimpan protokol
dengan jumlah yang tidak sedikit. Sebagaimana yang telah diuraikan bahwa
protokol Notaris yang telah meninggal dunia wajib diserahkan kepada Notaris
lain melalui ahli warisnya dan protokol Notaris yang telah memasuki usia 65
(enam puluh lima) tahun wajib diserahkan kepada Notaris pemegang protokol. Dalam
hal ini, terdapat Notaris yang telah ditunjuk sebagai pemegang protokol menolak
untuk menyimpan protokol tersebut karena alasan-alasan tertentu.
Berkaitan dengan
hal ini terdapat
tiga bentuk penafsiran terhadap ketentuan yang terdapat dalam Pasal 65 Undang Undang Jabatan Notaris, diantaranya
adalah sebagai berikut :
a
Pertanggungjawaban notaris terhadap
akta yang dibuatnya bergantung pada batas daluwarsa penuntutan dalam hukum pidana
maupun perdata.
b
Pelanggaran terhadap ketentuan pidana yang hubungannya
dengan memalsukan surat atau surat palsu dimana berdasarkan ketentuan Pasal 263
dan Pasal 264 KUHPidana ancaman hukumannya sekurang-kurangnya 6 (enam) tahun maka
batas daluwarsa penuntutannya dikaitkan dengan ketentuan Pasal 78 ayat 1 angka
3 KUHP yang menyatakan bahwa tuntutan pidana akan hapus setelah 12 (dua belas)
tahun terhadap tindak pidana yang diancam hukuman pidana penjara lebih dari 3
(tiga) tahun. Jadi, dari ketentuan ini dapat dipahami
bahwa setelah notaris berumur 77 tahun tidak dapat
lagi dimintai pertanggungjawaban. Dengan asumsi notaris berakhir masa jabatannya pada usia 65 tahun ditambah
dengan 12 Tahun masa daluwarsa penuntutan.
c
Pelanggaran terhadap ketentuan perdata yang dikaitkan
dengan ketentuan batas daluwarsa penuntutan secara perdata dalam pasal 1967 BW
dimana dinyatakan bahwa batas waktu penuntutan akan berakhir setelah lewat
tenggang waktu 30 tahun. Jadi, setelah berumur 95 tahun maka notaris
tidak dapat lagi dimintai pertanggungjawaban
terhadap akta autentik yang dibuatnya. Dengan asumsi notaris
telah berakhir masa jabatannya pada usia 65 tahun ditambah dengan batas waktu
daluwarsa 30 tahun.
d
Pertanggungjawaban notaris terhadap akta yang dibuatnya
tidak memiliki batas daluwarsa dan berlaku seumur hidup Meskipun protokol
notaris yang telah berhenti menjabat diserahkan kepada notaris lain yang
ditunjuk oleh majelis pengawas daerah bukan berarti beban tanggungjawab
terhadap sengketa yang muncul dikemudian hari terhadap akta yang dibuatnya juga
berpindah ke notaris lain yang diserahi tanggung jawab. Oleh karena itu
tanggungjawab notaris terhadap akta yang dibuatnya berlaku sepanjang notaris
yang bersangkutan masih hidup walaupun telah berkahir masa jabatannya.
e
Pertanggungjawaban notaris terhadap
akta yang dibuatnya berlaku sepanjang belum berakhir masa jabatannya. Pertanggungjawaban
notaris terhadap akta autentik yang dibuatnya harus didasarkan pada konsep notaris
sebagai jabatan. Dimana sepanjang notaris masih memiliki kewenangan untuk
membuat akta, maka sepanjang itu pula tanggung jawab terhadap akta yang dibuat
melekat dan dibebankan pada dirinya. Sehingga apabila notaris telah berhenti
dari jabatannya baik berhenti secara sementara ataupun berhenti secara tetap,
maka bersamaan dengan hal tersebut kewenangannya untuk membuat akta dibatasi
dan berdampak juga pada lepasnya beban tanggung jawab yang dipikulnya terhadap
setiap permasalahan yang muncul berkaitan dengan akta autentik yang dibuatnya.
Jika dipandang dari pertanggungjawaban notaris yang
berlaku seumur hidup, seorang notaris yang telah pensiun yang harusnya dapat
menikmati masa tuanya dengan tenang dan tanpa beban pikiran yang berat akan
selalu dibayang-bayangi rasa cemas dan tidak tenang seumur hidupnya. Karena
bisa saja sewaktu-waktu dia harus dipanggil oleh penyidik sebagai saksi atau
bahkan menjadi tersangka berkaitan akta yang dibuatnya. Hal ini tentunya sangat
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang membedakan manusia dengan
makhluk lainnya. Kemanusiaan mengharuskan setiap individu untuk dapat bersikap
dan memperlakukan manusia yang lain secara manusiawi. Dengan memanusiakan manusia, seseorang mampu
menjaga harkat martabat kemanusiaannya
Karena kewajiban notaris
pemegang protokol notaris yang telah pensiun hanya sebatas
pada mengeluarkan salinan akta dan grosse akta. Sedangkan
protokol dari notaris yang telah pensiun dimana pada waktu penyerahannya telah
berusia 25 tahun maka tanggung jawab penyimpanannya bukan lagi diserahkan
kepada notaris lain yang ditunjuk akan tetapi harus diserahkan kepada Majelis
Pengawas Daerah. Namun demikian
bukan berarti Majelis Pengawas Daerah harus bertanggung jawab pula terhadap masalah hukum berkaitan
dengan akta yang protokol notarisnya berada dalam tanggung
jawabnya. Dalam kondisi dimana Notaris yang telah pensiun, pemegang protokol notaris yang telah pensiun maupun
Majelis Pengawas Daerah
yang memegang protokol yang
telah berusia 25 tahun tidak dapat
dimintai pertanggungjawaban
maka tidak ada satupun pihak
yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh pihak
yang merasa dirugikan berkaitan akta yang dibuat oleh notaris pensiun.
Pada dasarnya pembatasan
tanggungjawab notaris hanya sepanjang dia menjabat terhadap
akta yang dibuatnya sangatlah bertentangan dengan prinsip jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat yang membutuhkan akta autentik sebagai alat bukti tertulis
yang menjamin perbuatan hukumnya. Melihat
tidak dimungkinkan diterapkannya tanggung jawab notaris yang berlaku seumur hidup
maupun yang dibatasi hanya sepanjang masa jabatannya maka alternatif terakhir
dalam pembatasan tanggung jawab notaris terhadap akta dibuatnya dapat
didasarkan pada ketentuan daluwarsa baik dalam penuntutan pidana maupun
perdata. Dalam ketentuan Pasal 1946 KUHPerdata dinyatakan “Lewat waktu/Daluwarsa
ialah suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan
terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang”.
Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 1947 KUHPerdata
menyatakan bahwa : “Seseorang tidak boleh melepaskan lewat waktu sebelum tiba
waktunya tetapi boleh melepaskan suatu lewat waktu yang telah diperolehnya”.
Mengenai batas daluwarsa dalam hukum perdata diatur dalam ketentuan Pasal 1967
yang dinyatakan :Semua tuntuan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang
bersifat perorangan, hapus karena lewat waktu dengan lewatnyawaktu tiga puluh
tahun, sedangkan orang yang menunjuk adanya lewat waktu itu, tidak usah menunjukkan
suatu alas hak, dan terhadapnya tak dapat diajukan suatu tangkisan yang
didasarkan pada itikad buruk.
Jika dikaitkan dengan tanggung
jawab notaris terhadap akta yang dibuatnya, ketentuan tersebut mengandung
pengertian bahwa terhitung sejak dibuatnya akta notaris ditambah rentang waktu
tiga puluh tahun, seorang penghadap yang memberikan keterangan kepada notaris
agar dibuatkan sebuah akta autentik,dapat melakukan tuntutan hukum terhadap
notaris yang mengkonstatir keterangannya ke dalam akta autentik tersebut jika
terdapat permasalahan akta tersebut. Setelah lewat
tiga puluh tahun sejak dibuatnya
akta notaris tersebut, hak menuntut
penghadap akan hapus dengan sendirinya
seiring dengan berakhirnya batas daluwarsa dalam penuntutan perdata.
Tiap-tiap
akta notaris memuat catatan atau berita acara (verbaal) dari apa
yang oleh notaris dialami atau disaksikannya, antara lain apa yang dilihatnya, didengarnya atau dilakukannya. Apabila akta hanya
memuat apa yang dialami
dan disaksikan oleh notaris
sebagai pejabat umum, maka akta
tersebut disebut verbalakte atau akta pejabat (amtelijke
akte). Misalnya, berita acara dari suatu RUPS. Selain itu ada juga akta-akta
yang selain memuat berita acara dari apa yang dialami dan disaksikan oleh notaris, mengandung juga apa yang diterangkan oleh pihak-pihak yang
bersangkutan dan dikehendaki
oleh mereka supaya dimasukkan dalam akta notaris untuk
mendapat kekuatan pembuktian yang kuat sebagai akta otentik.
Apabila suatu akta selain memuat
catatan tentang apa yang disaksikan dan dialami, juga memuat apa yang diperjanjikan atau ditentukan oleh para pihak yang menghadap, maka akta tersebut
disebut akta partij atau akta
pihak-pihak (partij
acte).
Dalam akta pejabat atau akta verbal, masih tetap sah
sebagai alat pembuktian apabila salah satu pihak tidak menandatangani, asal
disebutkan oleh notaris apa sebabnya ia tidak menandatangani akta tersebut.
Pada akta pihak, maka akan menimbulkan akibat hukum lain, bahwa ia tidak
menyetujui perjanjian tersebut, apabila dalam hal perjanjian, kecuali apabila
terdapat alasan-alasan kuat, terutama dalam hal fisik sehingga menyebabkan akta
tidak dapat ditandatangani dan alasan tersebut harus dicantumkan jelas oleh
notaris dalam akta bersangkutan.
Verlijden sering
diartikan sebagai serangkaian tindakan-tindakan yang dilakukan oleh notaris,
saksi-saksi dan para penghadap sehingga merupaka suatu proses, yang dimulai
dengan penyusunan (pembuatan) aktanya oleh notaris, kemudian dibacakannya oleh
notaris kepada para penghadap dan saksi-saksi dan akhirnya ditandatangani oleh
para penghadap, saksi-saksi dan notaris. Menurut Klaassebm,
verlijden itu harus diartikan: membaca aktanya oleh notaris kepada penghadap dan saksi-saksi serta penandatangan oleh penghadap dan saksi-saksi dan notaris. Dalam bahasa Indonesia sering diartikan sebagai “diresmikan”.
Terkait uraian di atas,
betapa penting akta yang dibuat notaris khususnya di masa yang akan datang sebagai
alat bukti tertulis yang sifatnya otentik. Kebaradaan protokol notaris dengan demikian sangat penting untuk dijaga, dilestarikan
keberadaannya sebagai wujud jaminan kepastian
hukum sebagai alat pembuktian.
Notaris tidak hanya
memiliki kewenangan tetapi juga kewajiban administrasi kantor layaknya perusahaan. Administrasi kantor notaris dapat diartikan
sebagai kegiatan yang bersifat tulis menulis (kegiatan ketatausahaan), seperti menulis daftar akta, daftar surat di bawah tangan yang disahkan, daftar surat di bawah tangan yang dibukukan, daftar Klapper yang disusun menurut abjad, buku daftar protes; buku daftar wasiat, dan buku daftar perseroan terbatas. Kegiatan administrasi notaris tersebut tidak terlepas dari kepiawaian manajerial notaris untuk melakukan tata cara pengarsipan.
Tata
kearsipan kantor notaris juga merupakan bagian dari kegiatan
administrasi notaris. Tata cara penyimpanan minuta atau asli
akta beserta warkahnya juga menjadi tanggung jawab notaris dalam rangka
memelihara dan menjaga arsip negara dengan baik dan sungguh-sungguh. Dalam penyimpanan protokol notaris diperlukan proses kehati-hatian,
agar protokol notaris tersebut tidak tidak tercecer, hilang atau rusak.
Kewajiban menyimpan protokol notaris tersebut sampai dengan rentang waktu 25 (dua puluh
lima) tahun. Kewajiban notaris selanjutnya yaitu menyerahkan laporan daftar kegiatan yang berkaitan dengan pembuatan akta-akta, surat-surat, maupun dokumen yang menjadi kewenangan notaris tersebut setiap bulannya kepada Majelis Pengawas Daerah (MPD) di
wilayah kerja notaris yang bersangkutan dan khusus mengenai wasiat dilaporkan kepada Daftar Pusat Wasiat Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia.
Aktifitas pencatatan yang sangat banyak tersebut
oleh notaris menimbulkan persoalan tersendiri dalam hal penyimpanannya.
Masa penyimpanan arsip-arsip
tersebut jika mengikuti ketentuan peraturan tentang dokumen perusahaan adalah minimal 30 tahun. Kurun waktu tersebut
tidaklah sebentar dan dalam perjalanannya sering ditemukan resiko kerusakan atau bahkan kehilangan.
Majelis Pengawas Daerah tidak mampu menyimpan
ribuan protokol notaris yang telah berusia 25 tahun lebih di kantor Majelis Pengawas Daerah karena Majelis Pengawas itu sendiri
tidak memiliki kantor untuk menyimpan
dokumen-dokumen tersebut, sehingga protokol-protokol notaris tersebut disimpan di kantor notaris yang bersangkutan. Artinya, ketentuan Pasal 63 ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tak dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
Dengan adanya keterbatasan
tersebut maka Majelis Pengawas Daerah menyerahkan dokumen-dokumen tersebut kepada notaris penyimpan protokol. Pelaporan seluruh kegiatan administrasi kantor notaris kepada Majelis Pengawas Daerah (MPD), tersebut dalam pelaksanaannya hingga kini masih dilakukan
dalam bentuk tertulis (based on paper). Hal ini
dirasakan kurang efektif dan efisien, selain persoalan tempat juga kurangnya waktu bagi MPD untuk terjun langsung
memantau aktifitas notaris di tiap-tiap kantornya yang tersebar cukup banyak di wilayahnya.
Telah
menjadi kewajiban bagi MPD untuk memeriksa protokol notaris secara berkala satu kali dalam setahun. Tetapi pada kenyataanya di beberapa wilayah kerja notaris MPD masih belum mampu melakukan
kewajibannya yang telah ditentukan oleh undang-undang tersebut.Konsep pengalihan bentuk dokumen kedalam bentuk mikrofilm atau media lainnya dalam Undang-Undang Dokumen Perusahaan dilakukan dengan berita acara sebagai bentuk legalitas ketika dokumen tersebut telah dilaporkan dan diterima oleh instansi yang bersangkutan. Kaitannya dalam dunia kenotariatan adalah dapat meminimalisir
penggunaan kertas
(paperless) dan kemungkinan hilangnya
arsip pelaporan, bahkan lebih jauh
lagi bahwa minuta dan salinan akta dapat pula dialihkan dalam media scanning
files sebagai bahan pengawasan kepada notaris dalam melaksanakan
aktifitasnya.
Dengan melihat ketentuan-ketentuan
diatas maka penulis berpendapat bahwa pengalihan protokol dalam bentuk elektronik belum dapat disandingkan
dengan alat bukti otentik, mengingat minuta akta yang juga merupakan bagian dari protokol
notaris. Bukti keotentikan dari dokumen tersebut
harus dituangkan diatas kertas dan dibuat oleh pejabat yang berwenang. Dokumen dalam bentuk elektronik
tersebut masih sebagai alat bukti
biasa, artinya kekuatan pembuktian pada dokumen elektronik tidak dapat dikatakan
sama atau setara dengan kekuatan
pembuktian pada akta otentik. Sehingga dokumen dalam elektronik
tidak dapat berdiri sendiri sebagai alat bukti
yang sah di pengadilan, kecuali didukung oleh alat bukti yang lain, seperti keterangan saksi-saksi atau saksi ahli, walaupun
dokumen dalam bentuk elektronik tersebut adalah hasil print out, out put, atau hasil cetakan
(fotocopy) dari sebuah akta otentik,
dan nilai pembuktiannya adalah sesuai dengan
keputusan hakimBerdasarkan hal tersebut diatas
melihat pentingnya pengalihan protokol notaris dalam bentuk
elektronik, serta kepastian hukum dari protokol notaris
dalam bentuk elektronik dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
Dengan banyaknya arsip
akta (minuta) yang harus tetap disimpan
dan dijaga oleh notaris, telah membuat permasalahan
tersendiri bagi notaris, tidak hanya notaris yang masih dalam masa tugasnya namun juga sampai dengan kepada
notaris penerus berikutnya. Mewarisi arsip tersebut tentunya akan berdampak
kepada biaya penyelenggaraan kantor notaris yang cukup besar dan relatif mahal, padahal warisan tersebut tidak dengan serta merta
berarti mewarisi klien itu sendiri.
Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, hal tersebut akan
dapat merugikan mereka.
Selain itu dalam
memenuhi permintaan untuk penemuan dokumen, khususnya untuk membuat salinan
akta yang lama, hal tersebut menjadi permasalahan tersendiri bagi notaris, karena
mencari dan menemukan kembali dokumen menjadi tidak mudah.
Apalagi jika akta yang lama dari notaris sebelumnya tidak terpelihara dengan baik. Sementara
pihak departemen hukum yang menjadi pengawas dan mitra notaris, tidak juga melakukan deposit terhadap dokumen akta dengan
baik. Mereka juga tentunya terkendala ruang dan biaya yang terbatas. Akhirnya, semua potensi resiko
atas ketidak jelasan itu menjadi
tanggung jawab notaris yang bersangkutan.
Protokol notaris yang berbentuk
kertas dapat mengalami kerusakan karena lamanya dokumen tersebut disimpan dalam brankas, ataupun karena faktor-faktor lain seperti kelalaian notaris itu sendiri
dalam menyimpan dokumen tersebut maupun kelalaian karyawan notaris yang diberikan tugas oleh notaris tersebut dalam menyimpan dokumen-dokumen dalam protokol tersebut. Protokol notaris yang berbentuk kertas juga sangat rentan terhadap
kerusakan oleh hal-hal yang
tak terduga (force majeur) seperti kebakaran, banjir, dan gempa bumi. Seperti
yang terjadi pada tahun
2004 lalu para notaris di aceh yang kehilangan dokumen-dokumen protokol tersebut dikarenakan terkena tsunami. Kewajiban notaris dalam menyimpan
protokol notaris yang dilakukan secara elektronik untuk saat ini bisa
dikatakan baru sebuah wacana dari
pemerintah untuk diimplementasikan, sebab menyimpan protokol notaris yang dilakukan secara elektronik belum ada aturan
pelaksanaannya.
Dilihat dari segi
keefektivan wacana penyimpanan protokol dalam bentuk elektronik
akan mempermudah bagi notaris di Indonesia maupun bagi para masyarakat tentunya tidak boleh tumpang
tindih atau bertentangan dengan peraturan-peraturan yang sudah ada di Indonesia, sehingga perlu dipelajari peraturan perundang-undangan di
Indonesia yang terkait dengan
penyimpanan dokumen secara elektronik ini apakah bertentangan
atau sejalan dengan peraturan dan undang-undang di Indonesia.
Adapun
peraturan-peraturan yang mendukung
tentang terlaksananya pengalihan protokol notaris dalam bentuk
elektronik di Indonesia yaitu :
a
Dalam Undang-Undang
Teknologi dan Informasi Pasal 5 dan 6 yang mengakui tentang dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah;
b
Dalam Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan;
c
Dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan;
d
Dalam Undang-Undang
Jabatan Notaris Pasal 15 ayat (3) yaitu notaris mempunyai
kewenangan yang lain yang diatur
dalam Peraturan perundang-undangan.
Terlepas dari pengalihan
dokumen perusahaan asli tetap mempunyai
kekuatan pembuktian otentik sepanjang dibuat oleh Pejabat yang berwenang dan terhadap naskah asli tersebut,
pimpinan perusahaan wajib tetap meyimpannya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dokumen perusahaan yang telah dialihkan dalam bentuk elektronik
dapat dijadikan sebagai alat bukti
yang sah. Penyimpanan protokol notaris yang dilakukan secara elektronik dapat diawali melalui kegiatan alih media arsip.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, alih media arsip dilaksanakan dalam bentuk dan media apapun sesuai kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Kuswanto & Purwadi, 2017)
mengungkapkan alih media arsip dilakukan dalam rangka pemeliharaan
arsip dinamis dan dimaksudkan untuk menjaga keamanan, keselamatan, dan keutuhan arsip yang dialihmediakan. Alih media arsip dilaksanakan oleh notaris harus memperhatikan kondisi arsip dan nilai informasi yang terkandung didalamnya. Dan arsip yang telah dialihmediakan tersebut tetap disimpan untuk kepentingan hukum sebagaimana telah diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan.
Setelah
melakukan kegiatan alih media arsip, notaris harus melaksanakan
autentikasi dengan memberikan tanda tertentu yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan arsip hasil alih
media. Autentikasi disini sangat penting karena berdasarkan Pasal 49 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2012, pelaksanaan alih media arsip dilakukan dengan membuat berita acara yang disertai dengan daftar arsip yang dialihmediakan.Penggunaan dan pengakuan
dokumen elektronik sebagai alat bukti
didasarkan pada Undang-Undang
Dokumen Perusahaan yang menyatakan
bahwa dokumen perusahaan yang terdiri atas catatan, bukti
pembukuan, dan data pendukung
administrasi keuangan sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang ini, baik yang dibuat dalam bentuk
tertulis di atas kertas atau sarana
lain, maupun terekam dalam bentuk corak
apapun yang dapat dilihat, dibaca atau didengar, dapat digunakan sebagai alat bukti.
Terlepas dari pengalihan
dokumen perusahaan asli tetap mempunyai
kekuatan pembuktian otentik sepanjang dibuat oleh Pejabat yang berwenang dan terhadap naskah asli tersebut,
pimpinan perusahaan wajib tetap meyimpannya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dokumen perusahaan yang telah dialihkan dalam bentuk elektronik
dapat dijadikan sebagai alat bukti
yang sah. Dengan berlakunya pengaturan tentang Dokumen Perusahaan, membuktikan bahwa hukum di Indonesia sudah mulai menggunakan bukti elektronik, karena telah memberi
kemungkinan kepada dokumen perusahaan yang telah diberi kedudukan
sebagai alat bukti tertulis otentik untuk diamankan
melalui penyimpanan dalam bentuk micro film. Kemudian dokumen yang disimpan dalam bentuk elektronik tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah di pengadilan apabila dikemudian hari terjadi sengketa.
Dari
penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pengalihan protokol dalam bentuk elektronik penting untuk diimplementasikan
karena notaris dalam menjalankan kewajibannya untuk menyimpan dokumen-dokumen tersebut menjadi aman, efektif dan efisien. Dibandingkan dengan dokumen dalam bentuk kertas/surat yang rentan terhadap kerusakan dan mudah hilang yang disebabkan oleh kelalaian dari notaris itu
sendiri atau karyawan notaris yang diberikan tugas untuk menyimpan dokumen tersebut.
Dengan adanya ide atau
wacana tentang pengalihan protokol notaris dari konvensional
yang (paper based) menjadi elektronik
(digital based) maka profesi
notaris dalam menjalankan wewenang dan kewajibannya untuk menyimpan arsip-arsip dan dokumen-dokumen dalam protokol notaris tersebut akan menjadi
lebih efektif dan efisien (Rositawati et al., 2017). Dikatakan efektif karena dokumen yag berbentuk elektronik
tersebut mudah untuk diketemukan kembali apabila ada klien yang membutuhkan dokumen-dokumen tersebut dalam rentang waktu yang lama, selain itu pekerjaan
notaris lebih efisien karena lebih ekonomis tidak membutuhkan banyak kertas dan lebih menghemat waktu bagi notaris
dalam memasukkan dan menyimpan dokumen tersebut.
Ide
atau wacana pengalihan protokol notaris dalam bentuk
elektronik terkendala dengan belum adanya
undang-undang dan peraturan
yang mengatur tentang keabsahan dari penyimpanan protokol notaris dalam bentuk
elektronik tersebut (Kuswanto & Purwadi, 2017). Dengan demikian kekuatan pembuktian arsip-arsip dan dokumen-dokumen
pada protokol notaris elektronik belum dapat disandingkan atau tidak dapat
disetarakan dengan alat bukti autentik
dengan kekuatan alat bukti yang berbentuk kertas tanpa ada alat
bukti lain seperti keterangan saksi atau saksi ahli.
Terkait pembahasan dalam bab ini
mengingat begitu pentingnya protokol notaris, wajib diatur secara spesifik
dan tegas mengenai sanksi yang akan diterima notaris bila menolak protokol
notaris di masa yang akan datang. Demikian halnya dengan arsip
protokol notaris di masa
yang akan datang seharusnya nggak memberatkan notaris penerima protokol sehingga di masa depan atau segera dapat
direalisasikan dalam bentuk file document atau dalam bentuk yang lebih praktis.
Dalam Undang Undang
Jabatan Notaris hanya mengatur tentang prosedur peralihan protokol Notaris (Adjie, 2011) saja, tetapi tidak ada
mencakup sanksi baikkepada ahli waris ataupun Pejabat
sementara Notaris yang lalai dalam hal
penyerahan Protokol Notaris yang telah meninggal dunia tersebut. Hal ini disebabkan karena Kurangnya sosialisasi dari Pihak MPD dan Organisasi Ikatan Notaris (INI) kepada Notaris yang masih aktif serta
anggota keluarga dari Notaris, sehingga
ahli waris tidak memahami dan tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya Protokol Notaris tersebut. dengan kekurangan pemahaman atas protokol tersebut
mengakibatkan Protokol Notaris tersebut terlantar atau terlambatnya diserahkan kepada Notaris lain, sehingga hak-hak klien terkait dengan
alat bukti akan sulit atau
bahkan tidak bisa terpenuhi.
Dengan demikian ke
depan diharapkan agar sanksi administratif notaris harus ada dasar
hukumnya dan disertai dengan kemungkinan bagi yang terkena sanksi untuk mengajukan
upaya hukum. Bagi yang pejabat administrasi negara yang akan mengenakan sanksi administratif harus memastikan bahwa betul-betul telah terjadi pelanggaran atas ketentuan peraturan perundang-undangan dan
pada waktu menerapkan sanksi tersebut telah diperhatikan/dipertimbangkan betul asas-asas umum pemerintahan yang baik, misalnya asas kecermatan, asas kepastian
hukum, asas keseimbangan dan sebagainya. Perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Jabatan Notaries yang memasukkan kewajiban bagi Notaris untuk menerima
protokol dan sanksi bagi Notaris yang menolak menerima protokol. Hal ini ditujukan agar masyarakat yang telah membuat akta
dihadapan Notaris dapat memperoleh
kemudahan pada saat membutuhkan salinan akta dikemudian hari.
Kesimpulan
Berkaitan dengan tanggung jawab untuk menjaga
protokol, Notaris diwajibkan untuk menjaga protokol Notaris karena merupakan kategori sebagai arsip negara. Tanggung jawab Notaris untuk menjaga
protokol Notaris tidak hanya sebatas
Protokol atas akta-akta yang dibuatnya sendiri tetapi juga atas protokol yang diterimanya dari Notaris lain. Selain
itu tanggung jawab Notaris untuk
menjaga protokol juga tidak hanya sebatas
menjaga secara fisik saja tetapi
juga menjaga kerahasiaan
yang terdapat didalamnya sebagaimana diucapkan dalam sumpah jabatan
“... bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan
yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya” dan juga menjadi kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal
16 ayat (1) butir f Undang-Undang Jabatan Notaris yang mewajibkan Notaris untuk merahasiakan
segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.
Ketentuan mengenai
sanksi administratif atas kewajiban Notaris untuk menerima protokol sudah dinyatakan melalui surat pernyataan yang dibuat oleh Notaris sebelum menjabat sehingga hal ini
menjadi kewajiban yang mengikat bagi Notaris,
namun demikian secara spesifik tidak disebutkan dalam peraturan hukum terkait. Tidak diaturnya
kewajiban bagi Notaris dalam Undang
Undang Jabatan Notaris untuk menerima
protokol dari Notaris yang berhenti menjabat melahirkan adanya kekosongan hukum, yang muaranya akan mengakibatkan tidak tercapai suatu kepastian hukum.
Mengingat begitu
pentingnya protokol notaris, wajib diatur secara spesifik
dan tegas mengenai sanksi yang akan diterima notaris bila menolak protokol
notaris di masa yang akan datang dalam bentuk
peraturan yang lebih rinci dan detail. Demikian halnya dengan arsip
protokol notaris dimasa yang akan datang seharusnya nggak memberatkan notaris penerima protokol sehingga di masa depan atau segera
dapat direalisasikan dalam bentuk file document atau dalam bentuk
yang lebih praktis. Dalam hal
ini perlu diatur prosedur penjatuhan sanksi administratif dilakukan secara langsung oleh instansi yang diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi tersebut. Penjatuhan sanksi administrasi adalah langkah preventif (pengawasan) dan langkah represif (penerapan sanksi).
BIBLIOGRAFI
Adjie,
H. (2008). Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris. Refika Aditama. Google Scholar
Adjie,
H. (2011). Merajut Pemikiran dalam Dunia Notaris & PPAT. Citra
Aditya Bakti. Google Scholar
Gitayani,
L. P. C. (2018). Penerapan Etika Profesi oleh Notaris dalam Memberikan
Pelayanan Jasa Kepada Klien. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(3). Google Scholar
Hermawan,
U., & Chalim, M. A. (2017). Kewenangan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah
Dalam Memberikan Persetujuan Terhadap Pemanggilan Notaris Oleh Penegak Hukum. Jurnal
Akta, 4(3), 449–454. Google Scholar
Ismawi,
R. D. (2014). Pemberhentian Pejabat Notaris. Lex Privatum, 2(1). Google Scholar
Kuswanto,
M. R., & Purwadi, H. (2017). Urgensi Penyimpanan Protokol Notaris dalam
Bentuk Elektronik dan Kepastian Hukumnya di Indonesia. Jurnal Repertorium,
4(2). Google Scholar
Mardiyah,
M., Setiabudhi, I. K. R., & Swardhana, G. M. (2016). Sanksi Hukum
Terhadap Notaris Yang Melanggar Kewajiban Dan Larangan Undang-Undang Jabatan
Notaris. Udayana University. Google Scholar
Mertokusumo,
S. (1998). Hukum acara perdata Indonesia. Google Scholar
Purwaningsih,
E. (2011). Penegakan Hukum Jabatan Notaris Dalam Pembuatan Perjanjian
Berdasarkan Pancasila Dalam Rangka Kepastian Hukum. Adil: Jurnal Hukum, 2(3),
323–336. Google Scholar
R
Subekti, S. H. (2021). Pokok-pokok hukum perdata. PT. Intermasa. Google Scholar
Rositawati,
D., Utama, A., Made, I., & Dewi Kasih, D. P. (2017). Penyimpanan
Protokol Notaris secara Elektronik dalam Kaitan Cyber Notary. Udayana
University.
Soegondo,
R. N. (1982). Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan. Rajawali Pers,
Jakarta.
Subaryati,
A. (2012). Penerapan Sanksi Terhadap Profesi Notaris. Universitas
Airlangga.
Tedjosaputro,
L. (1995). Etika profesi notaris: dalam penegakan hukum pidana. Bigraf
Publishing. Google Scholar
Utomo,
H. I. W., & Safi’i, I. (2019). Tanggung Jawab Mantan Karyawan Notaris
Sebagai Saksi Akta Terhadap Kerahasian Akta. Res Judicata, 2(1),
213–226.Google Scholar
Copyright holder : Indyravastha Rezhana Vulany Putri S, Bayu Dwi Anggono, Moh. Ali (2021) |
First publication right
: This article is licensed under: |