Jurnal
Syntax Transformation |
Vol. 2
No. 10, Oktober 2021 |
p-ISSN :
2721-3854 e-ISSN : 2721-2769 |
Sosial
Sains |
EFEKTIVITAS OMNIBUSLAW DALAM PEMBANGUNAN INVESTASI (STUDI KASUS PERUSAHAAN
TESLA.INC)
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII)
Yogyakarta, Indonesia
Email: musfikfakhriali@gmail.com
INFO ARTIKEL |
ABSTRAK |
Diterima
23 September 2021 Direvisi 9 Oktober
2021 Disetujui 15 Oktober
2021 |
Ambisi pemerintah untuk menciptakan iklim bisnis dan investasi yang bersahabat
guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan terciptanya lapangan kerja ternyata
mendapatkan banyak tanggapan dari masyarakat luas, dan menimbulkan banyak
perdebatan dan penolakan di tengah masyarakat dikarenkan pembentukan UU
Omnibus Law yang di tujukan untuk menunjang cita-cita pemerintah
tersebut dianggap tidak pro lingkungan
dan pro masyarakat serta di anggap hanya menguntungkan para kalangan elit.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas dari penerapan UU
Omnibus Law di dalam membangun iklim investasi di indonesia studi kasus di
perusahaan Tesla.Inc. metode penelitian yang digunakan adalah yuridis
normatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa ternyata UU Omnibus Law memiliki kecenderungan gagal di dalam
mengundang Investor untuk menginvestasikan uang mererka di Indonesia
dikarenakan kecenderungan negara-negara di dunia dan perusahaan-perusahaan
kelas dunia dalam hal ini Tesla.Inc yang menghendaki perbaikan lingkungan
sehingga mereka tidak akan menginvestasikan uang mereka di negara yang tidak
pro lingkungan dan mereka pun melarang warga mereka untuk menginvestasikan
uang di negara yang tidak prolingkungan sedangkan apabila kita melihat UU
Omnibus Law memenuhi kriteria tersebut yaitu mendukung perusakan lingkungan. ABSTRACT The
government's ambition to create a friendly business and investment climate in
order to increase economic growth and create job opportunities has received a
lot of responses from the wider community, and has caused a lot of debate and
rejection in the community due to the formation of the Omnibus Law which is
aimed at supporting the government's ideals. considered not pro-environment
and pro-community and considered only to benefit the elite. The purpose of
this study was to determine the effectiveness of the application of the
Omnibus Law in building the investment climate in Indonesia. Case study at Tesla.Inc. the research method used is normative
juridical. The results show that the Omnibus Law has a tendency to fail in
inviting investors to invest their money in Indonesia due to the tendency of
countries in the world and world-class companies in this case Tesla.Inc who want environmental improvements so they
will not invest money. they are in countries that are not pro-environmental
and they also forbid their citizens to invest money in countries that are not
pro-environmental whereas if we look at the Omnibus Law, it fulfills these
criteria, namely supporting environmental destruction |
Kata Kunci: Omnibus Law, Tesla.Inc, Ekonomi. Keywords: Omnibus
Law, Tesla.Inc, Economy |
Pendahuluan
Konsep Omnibus Law yang
diterapkan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Belgia, Inggris
menawarkan pembenahan permasalahan timbulnya konflik dan tumpang tindih (overlapping) suatu norma/peraturan perundang-undangan. Bila
hendak dibenahi satu persatu maka akan memakan waktu yang cukup lama dan biaya
yang tidak sedikit. Belum lagi proses perancangan dan pembentukan peraturan
perundang-undangan di pihak legislatif.(Corputty, 2020).
Hal ini pada akhirnya
menghabiskan energi, waktu, biaya dan tujuan yang hendak dicapai tidak tepat
sasaran. Ditambah lagi turunnya tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja
legislatif. Untuk itu diperlukan terobosan hukum dari pemerintah untuk
menyelesaikan permasalahan regulasi.
Untuk mencapainya maka perlu
dilandasi regulasi yang kuat. Salah satu negara yang mengadopsi Omnibus Law
adalah Serbia. Omnibus Law adalah hukum yang diadopsi pada Tahun 2002 yang
mengatur status otonom Provinsi Vojvodina yang termasuk di dalam Serbia. Hukum
tersebut mencakup yuridiksi pemerintah Provinsi Vojvodina mengenai budaya,
pendidikan, bahasa, media, kesehatan, sanitasi, jaminan kesehatan, pensiun,
perlindungan sosial, pariwisata, pertambangan, pertanian, dan olahraga.(Corputty, 2020)
Omnibus Law dikenal di
Indonesia setelah Presiden RI menyampaikannya dalam pidato kenegaraan pada
pelantikannya sebagai Presiden di hadapan sidang MPR pada 20 Oktober 2019 (Prabowo et al., 2020). Omnibus law menjadi fokus presiden dengan tujuan agar dapat
menyelesaikan permasalahan tumpang tindihnya regulasi dan birokrasi. Harapannya
dengan adanya omnibus law tersebut dapat memberikan pelayanan yang baik bagi
masyarakat dan menarik investor asing berinvestasi di Indonesia. Omnibus law
telah menyita perhatian masyarakat karena tujuan dari omnibus law untuk
menggantikan undang-undang yang ada sebelumnya dengan undang- undang baru.
Undang-undang baru tersebut dibuat sebagai payung hukum untuk semua ketentuan
hukum yang terkait dan sifatnya bisa lintas sektor.
Definisi daripada Omnibus Law
dimulai dari kata Omnibus. Kata Omnibus berasal dari bahasa Latin dan berarti
untuk semuanya. Di dalam Black Law
Dictionary Ninth Edition Bryan A.Garner disebutkan omnibus : relating to or
dealing with numerous object or item at once ; inculding many thing or having
varius purposes dimana artinya berkaitan dengan atau berurusan dengan
berbagai objek atau item sekaligus; termasuk banyak hal atau memiliki berbagai
tujuan. Bila digandeng dengan kata Law yang maka dapat didefinisikan sebagai
hukum untuk semua.
Sesuai dengan arahan presiden
RI Joko Widodo bahwa akan ada 3 (tiga) undang-undang yang dibuat sebagai bentuk
omnibus law yaitu undang-undang perpajakan, undang-undang cipta lapangan kerja
dan undang-undang pemberdayaan UMKM. Ketiga undang-undang tersebut nantinya
akan menggantikan peraturan-peraturan terkait yang amat beragam dan lintas
sektoral.
Latar belakang munculnya ide omnibus
law adalah kerumitan untuk berinvestasi di Indonesia. Kerumitan tersebut muncul
dalam beberapa hal yaitu perijinan, perpajakan, pengadaan tanah, dan aspek
lainnya yang terkait dengan investasi. Kehadiran omnibus law tersebut diharapkan
dapat memudahkan investor untuk berinvestasi. Adapun manfaat investasi bagi
negara adalah (1) mendapatkan modal baru untuk membantu pemerintah membangun
infrastruktur, (2) membuka lapangan kerja, (3) kemajuan bidang tertentu, (4)
meningkatkan pemasukan negara, dan (5) perlindungan negara.(Prabowo et al., 2020)
Akhir-akhir ini publik diramaikan
dengan rencana investasi dari salah satu perusahaan raksasa amerika yaitu
perusahaan Tesla .Inc. Tesla, Inc. Adalah sebuah perusahaan otomotif dan
penyimpanan energi asal Amerika Serikat yang didirikan oleh Elon Musk, Martin
Eberhard, Marc Tarpenning, JB Straubel dan lan wright serta berbasis di
paloalto california. Perusahaan ini memiliki spesialisasi di mobil listrik,
komponen mesin, dan juga memproduksi perangkat pengisi ulang baterai.
Pemerintah sangat serius sekali
dalam menangani terkait rencana investasi perusahaan Tesla, Inc di indonesia,
dikarenakan Tesla, Inc identik dengan perusahaan besar yang membawa nilai-nilai
positif bagi lingkungan hidup serta memiliki teknologi tinggi yang sangat di
perlukan untuk kemajuan negara Indonesia, yang nantinya jika Indonesia berhasil
merayu tesla untuk berinvestasi di Indonesia maka diharapkan akan banyak
perusahaan raksasa dunia yang turut berinvestasi di Indonesia. Terkait rencana
investasi Tesla di indonesia berjalan tarik ulur dengan negosia-negosiasi yang dilakukan
antara pihak Tesla dengan pemerintah Indonesia.
Lalu apakah tawaran kemudahan
berinvestasi yang di berikan pemerintah Indonesia melalui UU omnibuslaw membuat
tesla tertarik untuk berinvestasi di indonesia, itu akan menjadi pertanyaan
besar, karena tesla merupakan perusahaan yang sangat menjunjung tinggi dan
memperhatikan terkait keberlangsungan lingkungan hidup, dan sosial, serta
keberlanjutan pembangunan. Apabila kita melihat subtansi dari kandungan UU
omnibuslaw banyak sekali undang-undang yang abai akan keberlangsungan
lingkungan hidup sehingga akan berbenturan dengan fisi bisnis tesla pada
khususnya serta iklim bisnis dunia kedepan pada umumnya yang arahnya akan
menuju pada keberlangsungan lingkungan hidup dan sosial, serta keberlanjutan
pembangunan.
Apabila kita sambungkan dari
hak setiap warga negara maka Omnibus Law memiliki konsekuensi yang cukup besar,
dalam konstruksi HAM, tanggung jawab negara lebih spesifik dalam bentuk
penghormatan (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to
fullfil). Konsepsi ini tidak saja didasarkan pada Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (the
International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR)
yang telah diratifikasi dengan UU No. 11 Tahun 2005, juga termaktub dalam Pasal
28 I Ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, akan tetapi juga sesuai dengan teori mengenai negara berbasis hak (Suntoro & Komnas, 2021).
Jacob Kirekemann dan Thomas
Martin dalam Applying a RightsBased
Approach: An Insipirational Guide for Civil Society menyatakan bahwa A
fundamental thesis for the human rights framework is the idea that the
legitimacy of the state is based on its respect, protection and fulfilment of
the rights of each and every individual, menekankan bahwa dalam negara
berbasis hak maka hak dimaknai sebagai elemen paling penting yang dipertahankan
yang memiliki makna untuk mencegah praktik penyalahgunaan kekuasaan melalui
pembentukan regulasi oleh legislator dan pemerintah. Maka dari itu ketika
Omnibus Law banyak menyentuh dan bersinggungan dengan hak-hak masyarakat umum
terutama terkait isu lingkungan akan menjadikan negara kita negara yang dikenal
tidak ramah lingkungan sehingga mengakibatkan negara yang tergabung dalam OECD
(Organisation for
Economic Co-operation and Development) enggan
untuk berinvestasi di Indonesia, sehingga akan berakibat pada tipikal investor
yang datang adalah investor yang berkecenderungan tidak memiliki perhatian pada
lingkungan hidup (Kirkemann Boesen & Martin, 2007).
Akan menjadi tantangan besar
bagi pemerintah indonesia untuk membuktikan itu semua dengan cara mengikuti
arah apa yang dinginkan oleh iklim bisnis dunia kedepan, di tambah lagi
ternyata Tesla.Inc tidak jadi berinvestasi di Indonesia (Suparjo Ramalan, 2021). dikarenakan ada beberapa persyaratan yang tidak
memenuhi keinginan tesla salah satunya adalah isu terkait keberlangsungan
lingkuan hidup yang kurang diperhatikan, serta kemudahan dalam urusan pajak
karena ternyata terkait masalah pajak bukan hanya masalah murah biaya nya saja
akan tetapi berhubungan erat dengan kemudahan dalam melakukan pembayaran nya,
serta belum siapnya tenaga kerja indonesia di dalam industri mobil listrik,
serta industri-industri lain yang dibidangi oleh tesla.
Oleh karena itu penulis tertarik
untuk mengkaji serta menganalisis pembahasan terkait Efektivitas Omnibus Law
dalam Pembangunan Investasi (Studi kasus perusahaan Tesla.Inc). Terlepas dari
itu perlu diketahui bahwa penelitian penulis ini memiliki nilai kebaruan yang
terletak pada tolak ukur standar kapasitas negara di dalam membuat peraturan
untuk mengundang investasi
ke negara Indonesia supaya pembangunan tidak hanya sekedar membangun akan tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan, maka dari itu penulis
menjadikan perusahaan Tesla.Inc sebagai contoh dan studi kasus karena perusahaan
ini yang sempat menghebohkan publik dan sangat di
harapkan pemerintah agar perusahaan itu berinvestasi di indonesia dan
yang paling penting perusahaan
tesla memiliki fokus untuk menciptakan keberlangsungan lingkungan hidup yang sehat dan bebas polusi sehingga
cocok untuk di ekstrak dan di bandingkan dengan UU Omnibus Law yang terkenal
cenderung mendukung perusakan lingkungan.
Yang membuat penelitian ini berbeda dengan
penelitian atau bisa dikatakan noveltynya adalah bahwasanya penelitian ini
menyandingkan penerapan UU Omnibus Law dengan kecenderungan arah bisnis global
yang menuju kepada pelestarian lingkungan dan lebih spesifik lagi adalah studi
kasus yang di tujukan pada perusahan Tesla.Inc yang benar-benar mencanangkan
terciptanya kelestarian lingkungan hidup di dalam setiap bisnis yang di
gelutinya. Sehingga membuatnya berbeda dengan penelitian lain yang hanya
mengkaitkan UU Omnibus Law dengan isu amdal, atau benturan dengan masyarakat
atau pembangunan investasi nasioanal dan tidak mengkaitkan nya dengan isu
global.
Metode Penelitian
1.
Pendekatan
Metode yang
digunakan didalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Dalam
penelitian ini juga digunakan beberapa pendekatan, diantaranya pendekatan perundang-undangan
(statuta approuch) dan pendekatan
konseptual (conseptual approuch).
Dworkin menyebutkan penelitian ini dengan istilah penelitian doctrinal (doctrinal research), yaitu penelitian
yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam buku. Dalam penelitian ini
bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan sebagai bahan utama.
2.
Metode Pengumpulan data
Teknik
Pengumpulan data (bahan hukum) yang digunakan didalam penelitian ini adalah
studi pustakan dengan melakukan studi dokumen pada perpustakaan pribadi dan
juga perpustakaan kampus dan jurnal serta media umum yang ada di internet.
3.
Teknik Analisa Data
Data atau
bahan hukum yang dikumpulkan akan diklasifikasi dan dikategorisasi ke dalam
bagiannya masing-masing. Data yang telah diperoleh kemudian dilakukan analisis
dengan metode kualitatif yang didasarkan pada logika berfikir deduktif. Logika adalah ilmu dan kecakapan menalar, berfikir dengan tepat (Asmus, 1947). Lebih lanjut
mengelompokan, mengukur, dan menguji data tersebut dengan konsep landasan
teori, asas, dan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga didapatkan gambaran
dan jawaban terhadap rumusan permasalahan.
Hasil
dan Pembahasan
1. Konsep filosofis omnibuslaw
mnibus
law adalah undang-undang
yang menitikberatkan pada penyederhanaan
jumlah regulasi, Omnibus
Law merupakan konsep produk hukum yang berfungsi untuk mengkonsolidir berbagai tema, materi, subjek,
dan peraturan perundang-undangan
pada setiap sektor yang berbeda untuk menjadi
produk hukum besar dan holistik (Putra, 2020). Omnibus law adalah langkah
menerbitkan satu UU yang bisa memperbaiki sekian banyak UU yang selama ini dianggap
tumpang tindih dan menghambat proses kemudahan berusaha (Putra, 2020). diterbitkannya satu Undang-Undang untuk memperbaiki sekian banyak Undang-Undang
diharapkan menjadi jalan keluar permasalahan
di sektor ekonomi, sebab dengan banyaknya
Undang-Undang tidak bisa dilakukan percepatan-percepatan karena banyaknya Undang-Undang masih mengatur dan bisa saling bertentangan.
konsep Omnibus Law ini merupakan sebuah aturan yang dibuat untuk memangkas beberapa aturan yang dianggap tumpang tindih dan menghambat pertumbuhan negara yang juga sekaligus
untuk menyinkronkan beberapa aspek menjadi produk hukum yang besar (Putra, 2020).
Penulis
mengapresiasi terkait inisiasi pemerintah yang ingin menyederhanakan peraturan yang telah ada yang sebenarnya kita ketahui bahwa
banyak sekali aturan di Indonesia yang saling tumpang tindih dan sangat tidak bersahabat untuk percepatan pertumbuhan ekonomi, sungguh hal ini
merupakan tujuan yang mulia karena akan
memecahkan persoalan yang selama ini di rasakan
oleh para pengusaha yang merasa
sangat tidak di dukung oleh
regulasi yang ada akan tetapi yang menjadi masalah adalah ketika UU ini banyak berbenturan
dengan hak orang banyak, yang terjadi bukanlah dukungan akan tetapi banyaknya
penolakan dan resistensi dari masyarakat luas dikarenakan mereka merasa di rampas hak mereka
baik itu dalam lingkungan hidup maupun perlindungan
dalam bekerja.
Reaksi
terhadap UU Cipta Kerja (UU CK) yang diinisiasi
oleh Pemerintah sebagai
legacy konsep Omnibus Law seakan
tidak pernah berhenti, bahkan mengundang perdebatan akibat kontroversi sebagai implikasinya. Omnibus Law
Cipta Kerja diyakini Pemerintah sebagai obat mujarab
yang dapat menyembuhkan penyakit menahun bangsa ini untuk
membuka kran investasi yang
seluas-luasnya, sehingga dengan begitu akan
tercipta lapangan pekerjaan yang banyak. Filosofi UU CK adalah pembukaan lapangan kerja dengan cara
memsimplifikasi sekat-sekat
birokrasi yang menghambat
dunia investasi.
Arah
politik hukum UU Cipta Kerja, yaitu
pembentukan hukum baru dengan mengadopsi
konsep omnibus law untuk simplifikasi regulasi dengan pemangkasan, penyederhanaan, dan deregulasi peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan cipta kerja. Omnibus law ini merupakan terobosan
hukum yang dapat menjadi penggerak (trigger) bagi penguatan kapasitas Indonesia sebagai
negara hukum dan fungsi legislasi DPR (Busroh, 2017). Politik hukum ini mencakup
serangkaian tahapan pembentukan UU Cipta Kerja mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Keseluruhan tahapan tersebut akan memengaruhi karakter UU Cipta Kerja sebagai suatu
produk hukum.
UU CK menjadi jagoan dari Pemerintah,
tercatat ada 79 Undang-Undang terdampak yang dikumpulkan menjadi satu undang-undang sehingga UU CK sering disebut sebagai UU Sapu Jagat karena begitu luas aturannya
dalam UU CK yang lintas sektor dan interdispliner. UU ini sifatnya merevisi
(mengoreksi) pasal-pasal
yang tidak sesuai dengan filosofi kemudahan berinvestasi dari Undang-Undang yang berserakan dalam sistem perundang-undangan di
Indonesia. Maka, pasal-pasal
yang cenderung menghambat investasi akan dihilangkan.
konsep
Omnibus Law sebagai salah satu
asas dalam sumber hukum, ketika
pemerintah memaksakan UU
Omnibus Law ini akan mengkualifir dan melabrak Teori Pembentukan peraturan Perundang-undangan Kita
yang sudah diatur lebih jelas dalam
Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan, hal demikian pasti
akan menimbulkan permasalahan norma baru lagi padahal
tujuan dari omnibus Law ini sebagai Upaya
Penyegaran atau harmonisasi peraturan perundang-undangan (Matompo, 2020). Maka dari itu Omnibus Law sebagai UU memiliki potensi untuk berbenturan
dengan aturan-aturan yang sebenarnya telah menjadi konstitusi, sehingga Omnibus Law ini harus memiliki kapasitas yang baik di dalam menyerap informasi dan aspirasi masyarakat luas sehingga goal sebagaimana yang di
inginkan tidak mengorbankan kepentingan banyak pihak yang sebenarnya sudah di lindungi oleh konstitusi.
Ada dua catatan apabila konsep Omnibus Law ini menjadi pilihan sebuah politik hukum bangsa Indonesia dalam upaya memberikan
dasar hukum penciptaan lapangan pekerjaan melalui UU CK ini. Pertama, Ruh
atau Jiwa sebuah Undang-Undang terletak dalam landasan filosofis yang termuat dalam konsiderans. Ruh Undang-Undang tersebut kemudian harus menjiwai dan mewarnai setiap pasal demi pasal. Landasan filosofis ini adalah asas
materil yang harus ada dan menjadi syarat (conditio sine quo non)
dalam setiap pembentukan undang-undang.
Satjipto
Rahardjo, berpendapat bahwa asas hukum
adalah jantungnya peraturan hukum, karena asas hukum
merupakan landasan yang
paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Asas hukum layak
disebut sebagai alasan lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan
hukum. Dengan adanya asas hukum,
maka hukum bukanlah sekedar kumpulan peraturan-peraturan, karena itu mengandung
nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan
etis (Rahardjo, 2003). Oleh karena itu, setiap
undang-undang harus memiliki landasan filosofis sebagai asas materil yang jelas sesuai dengan
karakter bangsa Indonesia. Apabila landasan filosofis UU cipta kerja ini adalah
hanya sekedar menciptakan dan memudahkan investasi maka akan terjadi ketimpangan
di dalam tubuh masyarakat Indonesia karena segala sesuatu yang dianggap menghalangi iklim investasi akan di hilangkan ini merupakan cara
berfikir yang salah karena kita ketahui bahwasanya
sebelum adanya UU Cipta kerja ini
sudah banyak nya kerusakan alam
yang terjadi. Terutama, terkait UU minerba yang kita lihat bahwasanya
izin akan diperpanjang sampai 90 tahun tanpa disertai
adanya suatu peraturan yang mewajibkan perusahaan untuk menciptakan iklim mewajibkan timbal balik oleh perusahaan kepada masyarakat, yang seharusnya masyarakat tidak hanya mendapatkan CSR karena apabila hanya CSR yang di dapatkan bisa di ibaratkan masyarakat hanya sebagai pengemis dan mendapatkan sisa dari keuntungan suatu perusahaan. Terutama yang harus di perhatikan adalah terkait pendidikan yang akan menjadikan masyarakat semakin cerdas dan maju di dalam berfikir, dengan harapan apabila ketika minerba yang tidak bisa di perbaharui ini habis karena
di tambang akan tergantikan oleh masyarakat yang memiliki otak semakin
cerdas dan kreatif yang mampu menghadapi persaingan dunia di masa yang akan
datang karena apabila tidak dilakukan
sebagaimana demikian maka yang akan terjadi indonesia akan menjadi negara gagal ketika mineral yang dimilikinya telah habis karena tidak memiliki sumber daya manusia
yang baik dan unggul, sebagai contoh apabila kita pergi
ke wilayah kalimantan yang memiliki banyak sekali tambang batu bara, banyak sekali tanah
tanah yang memiliki tekstur seperti lubang besar yang merupakan bekas penambangan batu bara yang dilakukan
oleh perusahaan-perusahaan tambang
yang ada dikalimantan, lalu berapa persenkah
dari hasil pertambangan itu yang diberikan untuk pertumbuhan otak anak-anak dan masyarakat kalimantan, Sungguh ini merupakan suatu
hal yang memprihatinkan dan
perlu di beri perhatian lebih agar bumi kita tidak
rusak dan terciptanya generasi yang tangguh dan cemerlang.
Omnibus Law di pilih pemerintah sebagai metode yang tepat dalam menyusun payung hukum proses bisnis perizinan di Indonesia karena melalui metode Omnibus Law dapat membuat suatu regulasi
mencakup lebih dari satu materi
substantif, atau beberapa hal kecil
yang telah digabungkan menjadi satu aturan,
yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban, kepastian hukum dan kemanfaatan (Wardhani, 2020).
Dalam
konstruksi HAM, tanggung jawab negara lebih spesifik dalam bentuk penghormatan (to
respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil). Konsepsi ini tidak
saja didasarkan pada Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia,
Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya (the International Convenant
on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR) yang telah
diratifikasi dengan UU No.
11 Tahun 2005, juga termaktub
dalam Pasal 28 I Ayat (4)
UUD 1945 dan Pasal 8 UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, akan tetapi juga sesuai dengan teori
mengenai negara berbasis hak (Suntoro & Komnas, 2021). Apabila kita lihat dan perhatikan bahwasanya terdapat aturan yang terkandung di dalam UU cipta kerja yang melanggar aturan terkait pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan. Tenaga kerja merupakan salah satu unsur penting
di dalam pertumbuhan perekonomian suatu negara serta terciptanya suatu barang produksi
baik itu barang jasa maupun
barang non jasa, maka perhatian terhadap tenaga kerja merupakan suatu keharusan terutama terkait dukungan berupa regulasi yang membela hak-hak tenaga kerja Indonesia.
Tentu
semua hal di dunia ini, ada saja
plus-minusnya. Ada manfaat
dan ada pula mudaratnya, termasuk omnibus bills atau
omnibus law atau juga yang sering
kita sebut undang-undang Cipta Kerja. Uji coba penerapan ide omnibus law ini di Indonesia juga dimulai dengan gegap gempita,
dengan segala semangat antusiasme yang tinggi, yang seolah-olah hendak dimulai dengan rancangan undang-undang yang sangat mungkin,
yaitu RUU Cipta Kerja. Cukup hanya
cakupan isinya dibuat dengan semangat
agar memuat materi yang setebal-tebalnya dan memperbaiki sebanyak-banyaknya undang-undang
yang terkait, tetapi isinya juga mencakup hal-hal yang secara langsung berkaitan dengan hak dan kewajiban warga negara, terutama kaum pekerja,
yang secara langsung berhadapan dengan kemudahan-kemudahan yang hendak diberikan bagi kepentingan para pengusaha dalam lalu lintas
hukum. Bahkan, kuantitas isi serta
kompleksitas kepentingan
yang saling bertentangan
yang mengundang perdebatan subtantif itu, dikehendaki agar dirumuskan, dibahas, dan disahkan secepat-cepatnya, untuk mengejar tuntutan percepatan kemajuan ekonomi. Ide omnibus yang dikembangkan
seperti ini pasti mengandung reaksi pro-kontra yang luas di tengah masyarakat (Asshiddiqie, 2020).
Hal yang serupa juga pernah terjadi di semua negara yang menerapkan metode omnibus ini dalam praktik. Misalnya, pernah terjadi di Kanada pada tahun 2005, Bill C-38 tentang
Budget, sebagai contoh, dapat disebut sebagai
RUU tipe omnibus paling tebal
di Kanada. Dalam sistem parlementer Kanada, RUU dapat dilihat sebagai senjata yang dipakai oleh pemerintah minoritas untuk memastikan pemerintah dapat survive, karena mereka dapat
dijatuhkan sewaktu-waktu melalui mosi tidak percaya
oleh koalisi oposisi hanya atas dasar
satu isu yang dinilai berdasar. Banyak orang
yang tergerak untuk mengkritik, menentang, dan mengancam RUU ini, bahkan dari kalangan
yang semula tidak disangka-sangka. Sebabnya, karena selama bertahun-tahun
ini yang terjadi adalah berkebalikan dengan yang terdapat dalam RUU Omnibus 2005 tersebut.
Dari sudut pandang kelompok oposisi, RUU Omnibus itu menarik hanya pada penutupannya, alokasi waktu, senjata yang diberikan, dan sebagainya. RUU ini menyulitkan kelompok oposisi dan membebani mereka dalam menolak beberapa
hal-hal yang disembunyikan dalam paket yang kurang menarik. Namun, masalah kuncinya adalah di atas persoalan bahwa RUU Omnibus itu menguntungkan bagi kubu pemerintah atau kubu oposisi
adalah sejauhmana kepentingan rakyat terwakili dalam RUU Omnibus itu atau tidak.
Dalam masyarakat yang tingkat partisipasi subtantifnya sangat tinggi, seperti Kanada, perhatian masyarakat tidak mungkin dipaksa
untuk pada satu waktu yang sama memperhatikan semua isu yang didiskusikan di satu komite yang sama. Padahal, masalah yang perlu diperdebatkan untuk kepentingan umum banyak sekali. Karena itu, sering dikemukakan
pula bahwa RUU Omnibus cenderung
disukai oleh semua pemerintah, tetapi tidak oleh kelompok oposisi.
Antara tahun
1994-2005, misalnya, tercatat
ketebalan UU Anggaran di Kanada mencapai 73,6 halaman. Tetapi mulai sejak tahun
2006, jumlah halamannya meninggkat menjadi empat kali lipat. Meskipun berubah-ubah dari tahun ke
tahun rata-rata ketebalan rencana anggaran belanja pemerintah tiap tahun berkisar
550an halaman, dan ini sama dengan peningkatan
tujuh kali lebih tebal dari kebiasaan
awalnya sebelum UU tentang Anggaran ini disatukan dengan
metode Omnibus bill (Massicotte, 2013). Pendek kata: (a) dari segi materi yang dibahas berkembang menjadi semakin tebal dan mengakibatkan pembahasan tidak mendalam; (b) sedangkan waktunya sangat terbatas dan dibatasi menurut tahap-tahap yang sudah ditentukan; dan (c) keterlibatan masyarakat menjadi sangat terhambat, baik dari segi formal maupun dari segi
keterlibatan dalam subtansi. Karena itu, banyak yang menilai bahwa omnibus bill merusak proses
legislasi yang demokratif
di forum parlemen, seperti dikatakan oleh C.E.S. Frank dalam
Omnibus bills subvert our legislative process (Franks, 2010).
Apalagi
jika omnibus law yang dirancang
memuat (a) ketentuan yang berhubungan dengan pengaturan mengenai hak-hak dan kebebasan warga negara disertai dengan pengenaan beban-beban kewajiban yang memberatkan mereka; (b) dalam jumlah pasal
yang banyak sekali, menyangkut pasal-pasal yang berasal dari beberapa
undang-undang yang sekaligus
ikut diubah oleh UU Omnibus
Law yang menjadi sangat tebal
muatan materinya; dan (c) harus diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat atau malah
ditargetkan dalam 100 hari, maka dapat
dikatakan bahwa hal itu sangat tidak mungkin dipaksakan untuk menjadi Undang-Undang.
Jika hal itu dipaksakan dengan memanfaatkan prosedur formal yang
ada, misalnya, karena pemerintah baru terbentuk dengan dukungan mayoritas koalisi partai politik di parlemen yang masih dalam suasana euforia
kesuksesan, sehingga dengan mudah dapat
mengabaikan suara kritis dari masyarakat,
maka undang-undang omnibus seperti itu pasti
akan menyebabkan kemunduran kualitas demokrasi. Hal yang dipenuhi cukup prosedur formalistik, sedangkan kualitas partisipasi masyarakat, keterlibatan aktif warga dalam
memperdebatkan subtansi kebijakan sama sekali tidak mendapatkan
saluran yang memadai, maka substansi kedaulatan yang tetap berada di tangan rakyat setelah pemilihan umum sebagaimana yang ditentukan oleh
UU menjadi terabaikan.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan praktik UU Omnibus, memang banyak mengandung
kelemahan yang merugikan
proses demokrasi dan negara hukum,
khususnya berkenaan dengan prinsip due process of lawmaking. ampak
negatif dari praktik omnibus bills ini adalah (i) proses pembahasan pembahasan di forum parlemen dalam arti teknis mengalami penurunan kualitas dan derajat keterpercayaan; (ii) kualitas partisipasi publik menurun; (iii) kualitas perdebatan subtantif di forum parlemen atas setiap isu
kebijakan yang berhubungan dengan kepentingan umum rakyat juga sangat menurun, (iv) perdebatan di ruang publik melalui
diskursus publik (public
discourses) menjadi tidak
focus dan tidak terarah. Padahal peranan media bebas dan forum-forum politik dan
akademis sangat penting sebagai medium sosialisasi dan pendidikan bagi masyarakat luas. Semua ini merupakan
faktor-faktor yang menentukan
proses demokrasi berkembang
dari sekedar demokrasi formalistik dan
procedural menjadi demokrasi
subtantif yang lebih berkualitas dan berintegritas (Asshiddiqie, 2020).
Pada UU CK filosofinya
adalah membuka dan mempermudah investasi sedangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan filosofinya adalah perlindungan tenaga kerja. Jika Pasal-Pasal UU Ketenagakerjaan yang direvisi kemudian masuk dalam UU CK maka akan terjadi konflik
filosofis yaitu antara filosofi kemudahan investasi vis a vis dengan filosofi perlindungan pekerja sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum. Untuk menghindari ketidakpastian hukum, maka UU Cipta Kerja
harus mengandung 3 bentuk perlindungan hukum kepada para pekerja, yaitu: Perlindungan Ekonomis, Perlindungan Teknis dan Perlindungan
Sosial (Imam, 2003).
Kedua,
kesiapan bangsa Indonesia untuk menerapkan konsep Omnibus Law. Konsep
Omnibus Law ini bukanlah barang baru. Jauh
sebelumnya Amerika Serikat,
Kanada, Australia, bahkan
Vietnam sudah pernah melakukannya terlebih dahulu. Penerapan Omnibus Law atau Omnibus Bill membutuhkan tenaga SDM yang besar, banyak dan profesional, koordinasi antara lembaga negara harus terjalin baik, keterlibatan pakar dari berbagai disiplin
ilmu dan terlibatnya
stakeholder merupakan conditio sine qua non.
Apabila
kita belajar dari negara yang tidak jauh dari negara kita yaitu Vietnam. Vietnam mulai mengadopsi Omnibus Law pada
tahun 2006 (Institute of Law Science World Bank,
2006). Ketika itu mereka meminta Assement Report kepada World Bank guna mengevaluasi apakah sistem hukum mereka
mampu beradaptasi dengan konsep Omibus
Law yang notabene berasal dari tradisi Common Law System
yang pasti berbeda karena sistem hukum
dan tradisi pemerintahannya.
Assesment Report formatnya tidak terlalu njelimet
karena hanya berisi dari 3 hal
penting yaitu inroduction, Findings and Recommendations.
Sedangkan
untuk indonesia, sampai saat ini
belum ditemukan Assement Report untuk mengukur apakah negara kita mampu merealisasikan
konsep omnibus law ini sehingga apa yang kita lihat sampai
saat ini masih menuai kontroversi.
2. Problematika omnibuslaw terhadap posisi tawar
investasi di indonesia
Sebagaimana telah kita ketahui,
system peraturan
perundang-undangan negara hukum
kita dewasa ini memerlukan penataan ulang secara mendasar dan besar-besaran. Jika tidak dilakukan perbaikan maka agenda pembangunan hukum menjadi tidak
produktif, yang pada gilirannya
berakibat pada tidak efektifnya penerapan dan penegakannya dalam praktik untuk maksud
mewujudkan keadilan bagi semua warga
(justice for all). Untuk mengatasi
kecenderungan kurang produktifnya agenda legislasi nasional, diperlukan beberapa perubahan dalam kebijakan dan agenda legislasi nasional.
Sebagaimana
sering dibahas dalam berbagai kesempatan, kuantitas dan kualitas produk peraturan perundang-undangan di
Indonesia dewasa ini sudah sangat kompleks, mengalami obesitas dan terjebak dalam kondisi yang biasa dinamakan super regulasi atau hiper regulasi.
Bahkan, dengan mengutip pendapat (Pound, 1937)
Indonesia selalu disebut cenderung semakin berkembang menjadi hyper-regulated
society(Asshiddiqie, 2006)
Maka
dari itu diperlukan suatu hal untuk memperbaharui
regulasi di indonesia demi pembangunan hukum yang berkeberlanjutan untuk menopang pembangunan Indonesia.
Omnibus Law cipta kerja dinilai sebagai
solusi untuk menyederhanakan peraturan yang di
nilai sangat banyak dan kompleks sehingga dengan itu diharapkan
akan menjadi katalis yang akan memacu investasi hingga membuka lapangan kerja. Namun demikian, pemerintah dianggap salah kaprah bahwa Omnibus Law merupakan kunci untuk mengatasi berbagai masalah Investasi. Pasalnya, selama ini investasi
Indonesia baik-baik saja, tidak bermasalah, bahkan mencatatkan pertumbuhan pada era pemerintahan
Presiden Joko Widodo.
Demikian
disampaikan Ekonom Senior
Institute for Development of Economics (Indef) Faisal
Basri. Hal ini bisa dibuktikan dari porsi investasi
terhadap PDB yang terus meningkat. Bahkan, porsi investasi terhadap PDB mencapai rekor tertinggi justru tercapai pada masa pemerintah Presiden Jokowi. Mengapa Presiden Jokowi menafikan Keberhasilan yang cukup fenomenal itu? Jadi, Nyata sekali Presiden keliru mengatakan Investasi terhambat dan kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan tidak nendang, menurutnya, alasan yang keliru inilah yang membuat presiden mencari jalan pintas atau
terobosan dengan mengajukan jurus sapu jagad Omnibus Law Cipta kerja. Kalau
landasannya keliru, maka Omnibus Law tidak memiliki landasan yang kuat. Kekeliruan yang terus dibiarkan akan banyak melahirkan
kekeliruan baru.
Perdebatan
mengenai pentingnya hak atas lingkungan
yang baik dan sehat dengan hak asasi
manusia selalu dinamis, terutama pasca generasi ketiga menyangkut solidarity
rights berkenaan dengan aspek pembangunan. Alan Boyle dalam Human Rights and the Environment: Where Next? (Alan, 2017)
menjelaskan relasi hak atas lingkungan
hidup yang sehat dengan hak asasi
manusia karena bersinggungan dengan hak untuk hidup,
hak atas Kesehatan hak atas property dan hak atas kehidupan
personal. Lebih jauh Alan mendiskripsikan relasi tersebut didasarkan pada 3 (tiga) faktor yakni
(a) sebagai tindak lanjut negara-negara terhadap Rio
Declaration on Environment and Development 1992; (b) perlunya
pembentukan mekanisme pengaturan guna mempercepat kerangka perlindungan lingkungan hidup yang layak; dan (c) faktor kesulitan dalam penanganan isu lingkungan hidup yang bersifat lintas teritori yang berpengaruh pada pemanasan
global.
Eratnya
hubungan antara hak asasi manusia
dengan hak atas lingkungan hidup ini menjadi
sebuah keniscayaan, bahkan menjadi Prinsip 1 Framework
Principles On Human Rights and the Environment yang
secara khusus disusun oleh John H Knox, UN Special Rapporteur yang menyatakan bahwa Human beings
are part of nature, and our human rights are intertwined with the environment
in which we live. Environmental harm interferes with the enjoyment of human
rights, and the exercise of human rights helps to protect the environment and
to promote sustainable development (Knox, 2018) Berpijak
pada dua kerangka pemikiran tersebut dan didasarkan pada instrumen hukum dalam domestik
terutama UU 1945 Pasal 28 H
Ayat (1) dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM melalui Pasal 9 Ayat
(3) yang secara khusus memberikan jaminan terhadap hak atas
lingkungan hidup yang sehat dan baik, maka secara regulatif
memberikan tanggung jawab kepada negara, baik melalui kerangka
legislatif dalam pembentukan perundang-undangan (termasuk konteks ini omnibus law Cipta Kerja) maupun mekanisme
judisial melalui peradilan.
Niatan
baik pemerintah untuk meningkatkan perekonomian Masyarakat Indonesia melalui
Omnibus Law ini ternyata mendapatkan tanggapan dari berbagai pihak
baik itu dari pengusaha maupun para pekerja/buruh, sebagai pemerintah seharusnya pemerintah menjadi penengah antara keduanya untuk mempertemukan masing-masing kepentingan
supaya bisa berjalan bersamaan, bukan membela salah satu pihak hanya
dikarenakan kepemilikan
modal dan mengejar pertumbuhan
ekonomi dengan cara mengorbankan hak-hak dari warga
negara.
Selain
itu UU Omnibus Law ini di tengarai tidak berpihak terhadap keberlangsungan lingkungan hidup sehingga banyak perusahaan-perusahaan yang
memiliki perhatian khusus terhadap lingkungan hidup membatalkan niatnya untuk berinvestasi Indonesia.
Salah satunya adalah perusahaan Tesla, Inc yang menjadi
perbincangan ramai di kalangan masyarakat yang di harapkan Tesla yang merupakan
salah satu perusahaan raksasa itu jadi
untuk berinvestasi di indonesia.
Maka
oleh sebab itu progressive
realization untuk menjamin hak atas lingkungan
hidup dalam rumusan norma omnibus law Cipta Kerja masih
menjadi tantangan yang besar, terutama karena adanya penghapusan
dan pengubahan berbagai rumusan pasal dalam
UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Beberapa hal mendasar
perubahan tersebut khususnya berkaitan penghapusan izin lingkungan dan menggantinya dengan persetujuan lingkungan, pengurangan kegiatan usaha yang diwajibkan memiliki analisis dampak lingkungan (AMDAL), pelimpahan kewenangan pengujian dan penilaian kelayakan lingkungan kepada pihak swasta, pembatasan
akses dan partisipasi. publik dalam proses penyusunan AMDAL, serta penghilangan mengenai Komisi Penilai AMDAL, karena aturan yang tidak berpihak pada lingkungan hidup akhirnya perusahaan Tesla memilih untuk membatalkan
investasinya di Indonesia, karena
kita ketahui bahwasanya bumi dalam keadaan kondisi
yang memprihatinkan karena sudah dipenuhi oleh polusi yang berbahaya untuk lingkungan hidup maka bukan
merupakan suatu hal yang kebetulan ketika sekarang banyak perusahaan dan venture
capital yang hanya mau berinvestasi di tempat yang mendukung keberlangsungan lingkungan hidup demi terciptanya bumi yang sehat, aman, dan nyaman yang terhindar dari segala kotoran
dan polusi jahat.
Ini
merupakan tantangan yang harus di selesaikan pemerintah Indonesia demi terciptanya
lapangan kerja yang ramah lingkungan, mengedepankan pembangunan yang berkeberlanjutan serta memperhatikan kehidupan sosial masyarakat, karena di satu sisi pemerintah melonggarkan terkait berbagai macam aturan investasi selonggar-longgar nya bahkan sampai mengabaikan
kesehatan dan keberlanjutan
lingkungan akan tetapi di lain sisi ternyata arah bisnis
global akan mengedepankan aspek ESG yaitu Environment, Sosial, Governance maka dari itu terkait
UU Omnibus law yang sudah di sahkan
yang sebenarnya kontrofersial
itu, perlu dilakukan penyesuaian melalui Perpu agar iklim investasi indonesia bisa menyesuaikan dengan permintaan pasar global. Kita bisa
mengambil pelajaran dari runtutan perencanaan,
penyususnan, pengesahaan,
dan perundangan UU Omnibus Law yang terlalu terburu-buru ini mengakibatkan banyak hal yang diabaikan dan terancamnya hak warga negara dan lingkungan ini ternyata tidak efektif bahkan tujuan nya pun cenderung memiliki kemungkinan tidak akan tercapai karena
bertentangan dengan fisi bisnis secara
global kedepannya.
Pakar
Hukum tata Negara, Bivitri Susanti,
mengatakan pengesahan UU
Omnibus Law Cipta Kerja ini akan merugikan
masyarakat secara umum. Bivitri Juga mengkritisi pemerintah yang beranggapan pengesahan UU Omnibus
Law Cipta Kerja sebagai kendaraan pemerintah untuk keluar dari dampak
ekonomi akibat pandemi. Dia menilai
kemudahan perizinan yang diberikan pemerintah tidak serta merta
akan menarik para investor menanamkan modalnya di Indonesia (Faqir, Anisyah Al, 2020)
Secara
khusus Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
((ICEL), 2020) juga memberikan catatan khusus terkait aspek sumber
daya dan lingkungan hidup. Salah satu perubahan mendasar dalam omnibus law adalah politik hukum sentralisasi
kewenangan bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang ditarik dan didominiasi pemerintah pusat. Selain itu
juga menyoroti kegiatan usaha dengan risiko
tinggi yang dinilai perumusannya masih abstrak yang berpengaruh terhadap kriteria dan tahap implementasinya, lebih akuntabel dan terukur dalam regulasi
lama melalui mekanisme
AMDAL, serta peralihan metode pengenaan sanksi pidana menjadi
administratif bagi pelaku perusak lingkungan.
ICEL memberikan pandangan bahwa kriteria wajib AMDAL dalam omnibus law masih sangat ringkas dan memerlukan pengaturan yang rinci, detail dan
jelas agar tidak menimbulkan multitafsir dan berdampak pada kemunduran upaya menjaga lingkungan.
Sejatinya jika mendasarkan pada Pasal 23 Ayat
(1) UU No. 32 Tahun 2009 kriteria
usaha yang wajib memiliki AMDAL limitasinya terukur, yakni jika usaha: (a) mengubah bentuk lahan dan bentang alam; (b) eksploitasi terhadap sumber daya alam; (c) proses dan kegiatan yang menimbulkan pencemaran dan kemerosotan daya alam; (d) proses dan hasil eksploitasi mempengaruhi lingkungan alam dan buatan; (e) kegiatan yang mempengaruhi kawasan konservasi; (f) introduksi jasad renik, tumbuhan dan hewan; (g) usaha yang memiliki resiko tinggi dan berkaitan dengan pertahanan negara; dan (h)
penerapan teknologi yang memiliki dampak bagi perubahan lingkungan hidup. Pada hakikatnya UU yang sudah ada sebelum di terbitkannya UU Omnibus Law ini
sudah memberikan kejelasan di dalam upaya prefentif untuk menjaga kelestarian
lingkungan akan tetapi UU ini dianggap
terlalu prosedural dan menghambat iklim investasi yang dianggap mempersulit investor untuk berinvestasi di Indonesia, sehingga
di terbitkanlah UU cipta kerja ini yang di harapkan akan menumbuh
kan iklim investasi untuk menumbuhkan perekonomian
Indonesia untuk menyambut
Indonesia emas di tahun
2045.
Aspek
lain yang menjadi sorotan, adalah berkaitan dengan pembatasan ruang partisipasi dan akses publik, terutama
dalam proses penyusunan
AMDAL. Perubahan Pasal 26
Ayat (2) omnibus law Cipta Kerja,
mengatur bahwa dalam proses penyusunan dokumen Amdal maka
hanya masyarakat sekitar lokasi yang terdampak langsung yang dilibatkan dalam proses konsultasi. Implikasinya, hanya warga sekitar
lokasi area produksi yang bisa menyampaikan pandangan, keberatan dan masukan terhadap proses AMDAL. Padahal dampak kerusakan lingkungan tidak saja menyangkut
sisi hulu sumber eksploitasi atau operasi kegiatan,
akan tetapi sampai hilir yang akan berdampak pada masyarakat luas. Dalam ekosistem lingkungan hidup tidak dikenal pembatasan
yang bersifat administratif
dengan mengkotak-kotakan
wilayah karena sifatnya holistik dan komprehensif (Suntoro & Komnas, 2021).
Persoalan
kritikal lain yang dinilai terjadi kemunduran adalah perubahan paradigma dalam penuntutan pidana dengan mereduksi makna konsep strict liability, yakni tanggung jawab terhadap kerugian akibat perilaku pengerusakan lingkungan tanpa perlunya unsur kesalahan dan pembuktian. Secara ringkas, melalui Pasal 88 omnibus law menghapus frase bertanggung jawab mutlak atas kerugian
yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Implikasinya
bagi perusahaan atau orang yang tindakannya, usahanya dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup, meskipun dapat dituntut pertanggungjawaban akan tetapi masih memerlukan
pembuktian unsur kesalahannya. Padahal esensi konsep strict liability sebagai mekanisme pengawasan bagi pelaku agar menjaga dan menaati kaidah lingkungan hidup, melakukan upaya pencegahan dan pemulihan dampak. Penerapan hukum pidana lingkungan
ini dalam pandangan Prof. Sudarto, ahli hukum pidana
Universitas Diponegoro dimaksudkan
sebagai mekanisme penanggulangan kejahatan lingkungan, sekaligus upaya pencegahan. Diharapkan dengan penerapan secara tegas akan terwujud
cita pembangunan hukum nasional Indonesia, yakni mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat (Alam, 2020).
Maka dari itu sungguh suatu
keprihatinan ketika kita melihat konteks
di balik pengesahan UU
omnibus law ini berawal dari waktu pengesahan
nya yang seakan-akan memanfaatkan momentum Covid-19 agar tidak
adanya halangan berupa demo yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat sebagai perlawanan akan diterbitkannya UU ini, yang seharusnya konsentrasi yang dialokasikan untuk pembentukan UU Omnibus Law baik itu dari
legislatif dan pemerintah dialokasikan untuk memikirkan tentang penanggulangan Covid-19 yang waktu
itu sedang melonjak tajam penyebarannya. Maka dari itu kita
bisa lihat bahwa yang ada di benak para pemangku kepentingan adalah kepentingan jangka pendek keuntungan sesaat tanpa memikirkan
kepentingan jangka panjang yang menyangkut kehidupan generasi berikutnya sehingga bukan suatu kebetulan
jika perusahaan sekelas tesla yang memiliki perhatian besar terhadap keberlangsungan lingkungan hidup membatalkan niatannya untuk berinvestasi di Indonesia karena visi yang mereka miliki untuk
membangun keberlangsungan hidup bertentangan dengan apa yang ada di dalam UU Omnibus Law.
Apabila
kita pikirkan secara mendalam di sahkannya UU ini adalah berawal dari adanya benturan
antara kepentingan jangka pendek dengan
kepentingan jangka panjang yang mana sebenarnya
orang yang memiliki kepentingan
jangka pendek sebenarnya sudah tidak ada masalah
dengan kepentingan jangka pendek artinya
seluruh kebutuhannya sudah terpenuhi, akan tetapi yang menjadikan peneliti terheran-heran adalah ternyata mereka sangat berambisi sekali untuk memperkaya diri yang sebenarnya mereka sudah memiliki
kecukupan yang sangat berlebihan
terlebih mereka mengorbankan kepentingan orang banyak serta kerusakan
alam yang imbasnya akan di rasakan oleh generasi selanjutnya termasuk anak cucu
mereka.
Maka
dari itu seharusnya para pemangku kepentingan memiliki pola pikir jangka
panjang dalam membentuk UU sebagai antitesa para oligarki yang kebanyakan ber pola pikir jangka
pendek, sungguh kekayaan bukanlah hal yang menjadikan nama seseorang di kenang dan abadi akan tetapi seberapa
besar manfaat yang dapat kita berikan
kepada masyarakat banyak maka nama
kita akan harum dalam sejarah,
apabila kita mengambil contoh maka sosok ilmuan
seperti al khawarizmi yang hidup pada abad 12 jauh lebih di kenang
dan di ingat jika di bandingkan dengan para
orang-orang kaya dan raja-raja pada zamannya, maka dari itu
ciptakanlah manfaat dan
legacy yang akan membuat nama kita harum
di dalam lembaran sejarah bukannya mementingkan kepentingan jangka pendek dengan
mengorbankan kepentingan
orang banyak serta kelestarian lingkungan.
Setelah mengamati pandangan para pakar ekonomi penulis hendak mengelaborasikan pendapat demikian dengan pandangan penulis mengenai jaminan investasi dalam omnibus law yang akan penulis uraikan dalam sub bab berikutnya.
3.
Efektifitas omnibuslaw dalam pembangunan investasi (studi kasus perusahaan
tesla inc)
Terkait
Efektifitas Omnibuslaw dalam pembanguna Investasi terdapat berbagai pro dan kontra,
rata-rata golongan yang menunjukan
sikap pro merupakan para pengusaha dan perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan karena dengan adanya Omnibuslaw
perusahaan mereka akan semakin lancar
dan langgeng hal tersebut di tunjukan terkait adanya subtansi pasal di dalam Omnibuslaw yang mempermudah izin perusahaan tambang serta di perpanjang nya izin HGU meskipun
harus mengorbankan kelestarian lingkungan hidup, yang akan mengancam kehidupan generasi selanjutnya. Mereka silau dengan
uang cepat yang akan mereka dapatkan tanpa mempertimbangkan efek negatif kedepannya
di tambah lagi para pejabat di lingkup legislatif dan eksekutif banyak yang memiliki perusahaan tambang semua itu akan
menambah kesengsaraan ibu pertiwi dan masyarakat luas.
Sedangkan
untuk kalangan yang kontra adalah para kalangan pro lingkungan yang tidak setuju jika
bumi Indonesia dan kekayaan
yang terkandung didalamnya
di rusak dan di ambil sumber dayanya dengan secara membabi
buta. mereka menuntut UU omnibuslaw yang sekarang sudah di sah kan itu
untuk di batalkan, akan tetapi apalah
daya ternyata omnibuslaw sudah disah kan dan telah
menjadi UU di Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang kita
cintai ini. Bahkan bukan hanya
sekedar penolakan yang dilontarkan oleh masyarakat
Indonesia, subtansi yang terkandung
di dalam UU omnibuslaw ini akan membuat
banyak perusahaan dunia
yang kelestarian lingkungan
menjadi salah satu fisinya enggan untuk berinvestasi di Indonesia dikarenakan kebijakan dan UU yang
tidak pro lingkungan.
Maka
dari itu sebaiknya pemerintah harus lebih peka
terhadap suara rakyat untuk melahirkan
kebijakan dan UU yang pro terhadap
rakyat, bukan pro terhadap kalangan tertentu yang mengakibatkan jurang kemiskinan dan ketidak adilan semakin lebar dan meluas.
Menurut
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia bila Undang-Undang Omnibus Law cipta kerja akan membuat
melejitnya investasi lokal dan asing. Dari sisi payung hukum,
dalam UU sapu jagad tersebut tertuang dalam dua klaster. Pertama, klaster kemudahan berusaha berupa penghapusan atau pencabutan Pasal 112 UU Gangguan dan Pasal 116 UU Wajib daftar perusahaan. Menurut Bahlil,
bila kedua pasal tersebut disepakati untuk dicabut dampaknya, mengurangi rantai perizinan berusaha secara subtansi izin gangguan diintegrasikan
dengan persetujuan lingkungan.
Selain
itu, mendorong tumbuhnya kegiatan berusaha dengan penghapusan wajib daftar perusahaan yang diintegrasikan dalam Nomor Induk
Berusaha (NIB) dengan penyederhanaan izin-izin tambahan, maka dapat memberikan dampak positif pada iklim berusaha di Indonesia.
Jika kita lihat uraian tersebut
menunjukan bahwa Omnibus
law terkesan bagus dan menunjang kebutuhan masyarakat banyak akan pekerjaan, akan tetapi perlu
kita ketahui bahwa kemudahan perizinan itu berdampak
pada hilang nya perhatian pemerintah pada lingkungan hidup sebagaimana di atur di dalam dalam UU No 11 tahun 2020 tentang cipta kerja. Adapun pasal-pasal yang mengancam keberlangsungan lingkungan hidup adalah sebagi
berikut:
1. Definisi Amdal di dalam Pasal 1 ayat 11 UU No 11 tahun 2020.
2. Peran
Pemerhati lingkungan Pasal 26 ayat 2 UU No 11 tahun 2020.
3. Keberatan dan pelibatan masyarakat di hapus Pasal 26 ayat 4 UU No 11 tahun 2020.
4. Menghapus keberadaan Komisi penilaian amdal UU No 11 tahun 2020.
5. Mengatur ketentuan baru mengenai Tim uji kelayakan UU No 11
tahun 2020
6. Pembatalan berdasarkan putusan pengadilan di hapus UU No 11 tahun 2020.
Dari sini kita dapat mengetahui
bahwa pemerintah dan para pemangku kepentingan tidak mampu menyesuaikan
diri menghadapi tantangan investasi yang harusnya telah dikalkulasi dengan cermat sebagai bagian dari agenda industrialisasi berbasis sumberdaya alam (resource-based industrialisation).
Sebagian elit seolah-olah bekerja sendiri berdasarkan motivasi personal
yang tidak diimbangi oleh dukungan kelembagaan dan kemampuan aparat untuk bersama-sama mewujudkan agenda pembangunan nasional Jadi pemerintah memang sangat perlu duduk bersama dengan semua pihak, melakukan
refleksi secara menyeluruh atas situasi terkini di sektor pertambangan. Apalagi, nikel adalah salah satu komoditas andalan masa depan yang memiliki nilai strategis baik secara ekonomi
maupun geopolitik.
Pemerintah
harus benar-benar jelas soal investasi
pertambangan. Tidak hanya mengundang sebanyak-banyaknya investor, lalu
membiarkan mereka berjibaku dengan segala urusan yang muncul di lapangan. Negara harus hadir dalam
setiap tahapan investasi, urusan investasi di komoditas nikel harus clear dari hulu sampai
hilir. Jika tidak, hal yang buruk akan terjadi dan terus terulang, serta hal-hal buruk
lain yang sudah antri di belakangnya.
Sepuluh-lima
belas tahun terakhir elit pemerintah
memang terlihat semakin menyadari bahwa isu pertambangan
bukan sebatas terkait ketersediaan sumberdaya nikel. Tuntutan global telah membuka mata bahwa
ada isu lain yang lebih penting yakni
isu lingkungan dan sosial. Lahirnya kesadaran ini adalah
hal positif, namun pemerintah sepertinya belum memiliki desain tata kelola industri pertambangan yang komprehensif
dan aplikatif di lapangan.
Usaha penerapan tata kelola sumberdaya dipahami secara dangkal sebatas profiling potensi pertambangan tambang dari aspek
kewilayahan, ada tidaknya lembaga pendidikan yang bisa menyuplai SDM di sektor pertambangan, dan perkiraan jumlah cadangan atau sumberdaya mineral.
Dalam
pandangan penulis, semua isu itu
sudah diketahui sejak lama oleh investor. Para investor tentunya
memiliki instrumen riset and development yang solid terkait
sumber-sumber bahan baku penting. Elon Musk sebagai pemilik perusahaan Tesla.Inc yang ditelpon presiden pasti sudah punya data nikel dunia dan sudah pasti paham bahwa
Indonesia adalah negeri yang paling kaya di dibanding negara-negara lain. Tapi
mengapa hingga hari ini mereka
belum memutuskan untuk berinvestasi di sini, inilah yang harus menjadi perhatian
bersama.
Saat
ini yang justru semakin menguat adalah kepedulian pasar terhadap isu lingkungan
dan sosial terkait produk industri ekstraktif. Pasar industri baterai dan mobil listrik itu tercipta
karena adanya tuntutan global akan industri yang ramah lingkungan dan bersahabat dengan masyarakat. Karena itu, tidak mungkin
produsen mobil listrik mau membangun
pabrik dan membeli bahan baku secara
langsung dari para pelaku perusak lingkungan. Itu sama saja bunuh
diri.
Sayangnya,
negara justru masih belum sukses hadir
terkait kedua isu tersebut. Negara terkesan tidak berdaya menghadapi hantaman kerusakan lingkungan di sektor pertambangan. Negara justru terkesan lepas tangan, membiarkan perusahaan berhadapan adu kuat dengan
masyarakat jika ada konflik menyangkut
isu lingkungan dan sosial yang sebenarnya negara harus hadir sebagai
penengah diantara kepentingan yang dimiliki oleh kedua belah pihak.
Padahal
jika terjadi bakar-bakaran seperti kerusuhan di PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) Konawe, sumber masalahnya adalah isu sosial yang notabene tidak diurus negara. Dalam konteks lain, insiden
yang sama bisa saja muncul akibat
kelalaian lingkungan.
Masyarakat Sulawesi Tenggara sudah mulai mengeluhkan banjir yang melanda sawah dan perkebunan mereka sejak pertambangan nikel semakin masif
beroperasi beberapa tahun terakhir. Jika tidak segera ditangani,
bukan mustahil kejadian bakar-bakaran tersebut akan terulang
kembali sehingga membuat para investor enggan untuk berinvestasi di Indonesia.
Sejauh
ini, negara tidak pernah serius dan kritis dalam berpikir
untuk memitigasi persoalan di sector pertambangan
khususnya terkait isu lingkungan dan isu sosial. Inilah
yang sesungguhnya menjadi pemahaman dan kekhawatiran
investor global dalam menentukan
apakah mereka memilih Indonesia atau tidak. Inilah yang menjadi keraguan Tesla, sehingga presiden merasa harus menelpon
dan membujuk mereka secara khusus.
Belum lagi, fakta lainnya yaitu
pemerintah ketat saat memberikan izin di sektor pertambangan namun justru longgar bahkan tidak mengawasi
implementasi izin yang telah dikeluarkan lalu semakin di perparah dengan di sahkan nya UU omnibus law yang mempermudah perizinan sehingga semakin lengkaplah penderitaan ibu pertiwi. Isu
yang menjadi konsumsi publik, pengawaasan izin pertambangan selalu menjadi ruang negosiasi informal yang ilegal, yang pada akhirnya menjadi surga bagi
para pemburu rente.
Dari penjelasan tersebut dapat kita ketahui betapa
UU cipta kerja/Omnibus Law ini memberikan kesempatan kepada para pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab untuk merusak
lingkungan hidup di negara kesatuan republik indonesia sehingga bukan merupakan suatu kebetulan jika perusahaan sekelas Tesla.Inc yang keberlangsungan hidup menjadi salah satu fisi besarnya mengurungkan
niatnya untuk berinvestasi di indonesia.
Kesimpulan
Niat baik pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan standar perekonomian masyarakat Indonesia
melalui kebijakan yang mempermudah investasi ternyata mendapatkan reaksi beragam dari masyarakat ada yang pro dan ada yang kontra semua itu
di dukung dengan data
masing-masing pihak, terlebih
dari itu semua ternyata UU Cipta
Kerja atau Omnibus Law ini tidak ramah lingkungan
sehingga mengancam keberlangsungan lingkungan hidup, hal ini
menjadi faktor terbesar gagal nya rencana pemerintah
untuk mengajak perusahaan Tesla.Inc berinvestasi di Indonesia karena sebagaimana kita ketahui salah satu fisi besar perusahaan
Tesla adalah menciptakan keberlangsungan lingkungan hidup sehingga kebijakan-kebijakan suatu negara
yang ingin di jadikannya sebagai tempat berinvestasi harus memiliki perhatian yang tinggi terhadap isu lingkungan hidup sedangkan Indonesia melalui UU Cipta Kerja menunjukan hal yang sebaliknya, sehingga Tesla.Inc memilih untuk berinvestasi
di India ketimbang Indonesia.
Bibliografi
(Icel), I.
C. For E. L. (2020). Catatan Atas Ruu Cipta Kerja.
Https://Icel.Or.Id/Wp-Content/Uploads/Catatan-Atas-Ruu-Cipta-Kerja-Icel-13.02.20.Pdf
Alam, S.
(2020). Optimalisasi Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Baku Mutu Lingkungan
Dari Limbah. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 20(1), 137151.Google Scholar
Alan, B. (2017).
Human Rights And The Environment: Where Next? In Challenges In International
Human Rights Law (Pp. 765794). Routledge. Google Scholar
Asmus, V.
F. (1947). Logika. Google Scholar
Asshiddiqie,
J. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid Ii. Google Scholar
Asshiddiqie,
J. (2020). Omnibus Law Dan Penerapannya Di Indonesia. Penerbit
Konstitusi Press. Google Scholar
Busroh, F.
F. (2017). Konseptualisasi Omnibus Law Dalam Menyelesaikan Permasalahan
Regulasi Pertanahan. Arena Hukum, 10(2), 227250. Google Scholar
Corputty,
P. (2020). Omnibus Law Sebagai Alternatif Penyembuh Obesitas Regulasi Sektoral.
Jurnal Saniri, 1(1), 4461. Google Scholar
Faqir,
Anisyah Al, W. Setu Embu. (2020). Menimbang Baik Buruk Omnibus Law.
Https://Www.Merdeka.Com/Khas/Menimbang-Baik-Buruk-Omnibus-Law.Html
Franks, C.
E. S. (2010). Omnibus Bills Subvert Our Legislative Process. The Globe And
Mail, 14. Google Scholar
Imam, S.
(2003). Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Djambatan. Google Scholar
Kirkemann
Boesen, J., & Martin, T. (2007). Applying A Rights-Based Approach/An
İnspirational Guide For Civil Society. Google Scholar
Knox, J.
(2018). Framework Principles On Human Rights And The Environment. United
Nations Human Rights Special Procedures,. Https://Www. Ohchr.
Org/Documents/Issues/Environment/Srenvironment/Frameworkprinciplesuserfriendlyversion.
Pdf. Google Scholar
Massicotte,
L. (2013). Omnibus Bills In Theory And Practice. Canadian Parliamentary
Review, 36(1), 1317. Google Scholar
Matompo, O.
S. (2020). Konsep Omnibus Law Dan Permasalahan Ruu Cipta Kerja. Rechtstaat
Nieuw, 5(1). Google Scholar
Pound, R.
(1937). The Future Of Law. The Yale Law Journal, 47(1), 113. Google Scholar
Prabowo, A.
S., Triputra, A. N., Junaidi, Y., & Purwoleksono, D. E. (2020). Politik
Hukum Omnibus Law Di Indonesia. Pamator Journal, 13(1), 16. Google Scholar
Putra, A.
(2020). Penerapan Omnibus Law Dalam Upaya Reformasi Regulasi. Jurnal
Legislasi Indonesia, 17(1), 110. Google Scholar
Rahardjo, S.
(2003). Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia. Penerbit Buku Kompas. Google Scholar
Suntoro,
A., & Komnas, H. A. M. (2021). Implementasi Pencapaian Secara Progresif
Dalam Omnibus Law Cipta Kerja. Jurnal Ham, 12(1), 118. Google Scholar
Suparjo
Ramalan. (2021). Terungkap! Ini Penyebab Tesla Tidak Jadi Bangun Pabrik Di
Ri. Https://Www.Idxchannel.Com/Economics/Terungkap-Ini-Penyebab-Tesla-Tidak-Jadi-Bangun-Pabrik-Di-Ri
Wardhani,
D. K. (2020). Disharmoni Antara Ruu Cipta Kerja Bab Pertanahan Dengan
Prinsip-Prinsip Uu Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (Uupa). Jurnal Komunikasi Hukum (Jkh), 6(2), 440455. Google Scholar
Copyright holder : Musyfik Fakhri Ali (2021). |
First publication right
: This article is licensed under: |