Vol. 2 No. 11, November 2021 |
|
p-ISSN : 2721-3854 e-ISSN : 2721-2769 |
Sosial Sains |
KEWAJIBAN PEMERINTAH ATAS HAK IMBALAN JASA PELAYANAN KESEHATAN DOKTER
INTERNSIP DI WAHANA INTERNSIP
Dzulqarnain Andira
Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya Jawa Timur, Indonesia.
Email: dira579@gmail.com
INFO ARTIKEL |
ABSTRAK |
Diterima
12 Oktober
2021 Direvisi 8 November 2021 Disetujui 16 November 2021 |
Penelitian ini menganalisis
terkait tanggung jawab pemerintah atas imbalan jasa pelayanan kesehatan dokter internsip di wahana internsip. Belum adanya peraturan perundang-undangan
yang mengatur hak dokter internsip tentang imbalan jasa dari pelayanan
kesehatan yang dilakukannya
di wahana internsip atau tempat dimana
dokter internsip tersebut bertugas melakukan pelayanan kesehatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui status dokter internsip sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta pertanggungjawaban pemerintah atas imbalan jasa pelayanan kesehatan bagi dokter internsip di wahana internsip. Metode pendekatan penelitian ini adalah perundang-undangan, konseptual, dan komparatif. Metode pengumpulan bahan hukum dilakukan
dengan cara mengedit, mengelompokkan, dan mengorganisir. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah status dokter internsip adalah dokter yang telah memiliki kompetensi sebagai praktisi medis yang telah disetujui oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dan dokter
internsip bertanggung jawab penuh atas
pelayanan medis di wahana internsip. Pemerintah bertanggung jawab atas imbalan
jasa pelayanan kesehatan dokter internsip di wahana internsip. ABSTRACT This Study
analyzed the government obligation for the rights of medical service reward
for internship doctor at wahana internsip.
The aim of this research is to know the status of an internship doctor in
accordance with statutory regulations, as well as the government's
responsibility for medical service reward of an internship doctor at wahana internsip. The absence
of laws and regulations that regulate the rights of an internship doctor
regarding compensation or reward for services from medical services performed
at wahana internsip or a
place where the internship doctor is in charge of providing health services.
The approachment method of this research is
statutory, conceptual, and comparative. The collecting method for legal
materials is done by editing, classifying, and organizing. The data analysis
was done qualitively. The result of this study is
the status of internship doctor is a doctor that already has competencies as
a medical practitioner that has been approved by Indonesian Doctor Colegium (KDI), and the intern has full responsibility
for medical service at the internship place. The Government is responsible
for medical service reward of internship doctor. |
Kata Kunci: Pemerintah, Tanggung jawab, jasa pelayanan kesehatan, internsip Keywords: Government,
responsibility, medical service fee, internship |
Pendahuluan
Hak dan
kewajiban merupakan suatu hal yang sangat penting terkait penyusunan peraturan.
Kewajiban sendiri adalah suatu keharusan yang tidak boleh ditinggalkan (Yasin, 2009). Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia hak memiliki pengertian “sesuatu
hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Pemerintah sebagai penyelenggara negara haruslah memperhatikan secara seksama terkait setiap kewajiban yang diembannya. Mengingat bahwa salah satu atribut hukum yang dimiliki oleh negara dalam rangka melaksanakan kewajiban-kewajiban konstitusional
untuk warga negaranya adalah dijamin dan dilindungi oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia, dan kewajiban negara tersebut disisi lain adalah hak yang dimiliki oleh warga negara (rakyat Indonesia).
Hal ini penting, karena bila ada
aturan yang tidak adil, terutama dari aspek kewajiban
pemerintah, maka akan dapat menimbulkan
kerugian bagi warga negara.
Pemerintah telah mengatur ketentuan mengenai dokter internsip. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan No.39 tahun 2017 yang selanjutnya
akan ditulis dengan “Permenkes No. 39 tahun 2017” tentang Penyelenggaraan Program Internsip
Dokter dan Dokter Gigi
Indonesia, pengertian internsip
adalah “Internsip adalah proses pemantapan mutu profesi dokter
dan dokter gigi untuk menerapkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, secara terintegrasi, komprehensif, mandiri, serta menggunakan pendekatan kedokteran keluarga, dalam rangka pemahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik di lapangan”. Permenkes No. 39 tahun 2017 tersebut juga menyebutkan bahwa dokter internsip sebagai peserta Program
Internship Dokter Indonesia adalah
dokter yang sudah teregistrasi secara legal, dan memiliki surat ijin praktik, dan bertanggung jawab penuh atas pelayanan
kesehatan yang dilakukannya
selama tindakannya menaati standar profesi kedokteran dan standar prosedur rumah sakit/puskesmas
pada wahana internsip tempat dokter internsip
tersebut bertugas, hal-hal tersebut tercantum pada pasal 1 ayat 2, pasal 1 ayat 3, pasal 11 ayat 1.
Dapat disimpulkan bahwa dokter internsip adalah dokter yang telah diakui secara
hukum akan kompetensinya sebagai dokter, dan memiliki ijin untuk melakukan
prkatek kedokteran, dan bertanggung jawab penuh atas tindakan
praktik kedokteran yang dilakukannya yang hanya terbatas pada tempat atau wahana
internsip tempat dokter tersebut ditugaskan, sehingga sepatutnya pula dokter internsip mendapatkan hak nya sebagai
dokter pada umumnya di tempat dia ditugaskan,
atau di wahana internsipnya, salah satunya adalah hak atas
imbalan jasa dokter internsip tersebut.
Belum ada kejelasan
terkait kemana dana jasa pelayanan kesehatan yang dilakukan dokter internsip diberikan. Khususnya pada Permenkes No. 39 tahun 2017 pasal 11 yang belum mengatur hak dokter
internsip tentang imbalan jasa dari
pelayanan kesehatan yang dilakukannya. Hal tersebut mendorong peneliti untuk meneliti lebih lanjut mengenai
Tanggung Jawab Pemerintah atas Hak Jasa Pelayanan
Kesehatan Dokter Internsip
di Wahana Internsip.
Penelitian terkait topik internsip telah dibahas oleh Rozi Kodarusman Warganegara dengan judul “Perlindungan
Hukum terhadap Dokter Internsip dalam Pelayanan Kesehatan di Wahana Internsip” dari Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung Bandar Lampung, ditulis pada tahun 2019, penelitian ini menyatakan Bentuk pertanggungjawaban hukum dokter peserta PIDI dalam hal terjadi
sengketa medis (gugatan perdata atau tuntutan pidana)
merupakan bentuk liability dalam arti dokter peserta PIDI menanggung segala sesuatu kerugian yang terjadi akibat perbuatannya sepanjang terjadi kesalahan, kelalaian atau perbuatan melawan hukum yang dapat dibuktikan secara hukum dan terbukti bahwa dokter peserta Program Internsip melakukan tindakan kedokteran dan pelayanan medis yang tidak sesuai dengan
standar kompetensi, standar operasional prosedur dan standar profesi dokter.
Pentingnya dilakukan penelitian
ini agar dapat diketahui status dokter insternsip dalam sistem perundang-undangan dan kejelasan terkait tanggung jawab pemerintah atas imbalan jasa pelayanan
kesehatan dokter internsip di wahana internsip
Penelitian terdahulu belum ada yang membahas terkait hak atas
imbalan jasa pelayanan kesehatan dokter internsip. Pada penelitian ini telah dibahas terkait
hak atas imbalan jasa pelayanan
kesehatan dokter internsip
Peneliti lebih berfokus pada pembahasan tanggung jawab pemerintah dalam pemenuhan hak jasa pelayanan
kesehatan terhadap dokter internsip
Metode Penelitian
Tipe penelitian yang dipakai adalah yuridis normative, yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau bahan sekunder
(Muchtar, 2015). Pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah kaidah-kaidah
atau norma-norma, aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas Pendekatan
Penelitian yang digunakan adalah Perundang-undangan (statute),
Konsep (conceptual) dan Perbandingan
(comparative approach) (Soekanto,
2010). Langkah-langkah pengumpulan
bahan hukum meliputi, membaca, mempelajari, mengutip, membandingkan dan menghubungkan bahan bahan hukum
dari perundang-undangan dan
literature sehingga menjadi
satu kesatuan untuk kemudahan dalam pengolahan bahan hukum.
Hasil
dan Pembahasan
A. Imbalan Jasa Pelayanan Kesehatan
Jasa adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada
pihak lain, yang pada dasarnya tidak dapat dilihat dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu (Kotler & Wasana, 1994).
Jasa adalah setiap kegiatan atau manfaat
yang ditawarkan oleh suatu pihak pada pihak lain dan pada dasarnya tidak terwujud, serta tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Pelayanan adalah suatu kegiatan
atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan (Haryanto & Suranto, 2012). Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama
dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesejahteraan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok ataupun masyarakat (Radito, 2014).
Pelayanan kesehatan memiliki tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kemampuan masyarakat secara menyeluruh dalam memelihara kesehatannya untuk mencapai kesehatan yang optimal baik secara individu,
keluarga dan masyarakat.
Pada Undang-Undang Kesehatan disebutkan
bahwa Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan
untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat.
Terkait
imbalan jasa pelayanan kesehatan untuk tenaga kesehatan
sendiri telah diatur dalam system perundang-undangan sebagaimana tercantum pada Pasal 27 ayat 1 Undang Undang
Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Tenaga kesehatan
berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan
tugas sesuai dengan profesinya sementara Tenaga kesehatan itu sendiri adalah
setiap orang yang mengabdikan
diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan dan telah diatur pula dalam Pasal 87 ayat 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Tenaga Kesehatan
Tenaga Kesehatan dalam menjalankan
praktik berhak: memperoleh pelindungan hukum; dan memperoleh imbalan
Pada pasal 57 ayat 3 Undang Undang
Nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan menyebutkan bahwa tenaga kesehatan
berhak menerima imbalan jasa kemudian
pada peraturan menteri kesehatan nomor 1199 tahun 2004 tentang pedoman pengadaan tenaga kesehatan dengan perjanjian kerja di sarana kesehatan milik pemerintah juga menyebutkan salah
satu hak dari tenaga kesehatan
salah satunya adalah memperoleh insentif berupa jasa medik.
Hak terkait imbalan jasa dokter
secara spesifik juga telah diatur pada UUPK pada pasal 50 bahwa salah satu hak dokter
adalah menerima imbalan jasa
Pada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTRL) Pembayaran pelayanan kesehatan dengan menggunakan sistem INA CBGs. INA CBGs sendiri,
berdasarkan Peraturan menteri kesehatan Nomor 27 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs) menyebutkan bahwa klaim pembayaran terintegrasi dari mulai manajemen rumah sakit, dokter,
dan seluruh karyawan rumah sakit.
Pada Puskesmas pada pasal 3 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
19 Tahun 2014 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Untuk
Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan
Biaya Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
Milik Pemerintah Daerah (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 589) menyebutkan
bahwa Dana Kapitasi yang diterima oleh FKTP dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dimanfaatkan seluruhnya untuk: a. pembayaran jasa pelayanan kesehatan; dan b. dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan.
Pada pasal 1 ayat 3 disebutkan pengertian dana kapitasi, yakni dana kapitasi
adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka kepada FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.
Pada pasal 4 ayat 7 telah disebutkan
tentang teknis perhitungan biaya kapitasi menggunakan formula sebagai berikut, jumlah nilai yang diperoleh oleh seseorang dikalikan jumlah dana jasa pelayanan dibagi jumlah nilai
seluruh tenaga. Keterangan :
jumlah nilai diperoleh dari nilai variabel jenis ketenagaan dan/atau jabatan ditambah
nilai variabel kehadiran
Gambar 8. Rumus
perhitungan Biaya Kapitasi
(Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
19 Tahun 2014)
Namun
hak dokter internsip atas imbalan jasa pelayanan
kesehatan yang dilakukannya
belum diatur secara spesifik pada peraturan tentang penyelenggaraan program internsip
dokter Indonesia hingga
pada peraturan pedoman pelaksanaan program internsip belum diatur mengenai
hak atas imabalan jasa pelayanan
kesehatan dokter internsip atau kemana dana imbalan jasa dokter internsip
itu disalurkan Peraturan teknis di rumah sakit terkait
imbalan jasa pelayanan kesehatan belum diatur dalam
pedoman pelaksanaan internsip dokter Indonesia dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia Badan PPSDM Kesehatan pada tahun 2009 baik pada buku pedoman pelaksanaan,
peserta, pendamping, maupun wahana.
Pengaturan
bantuan biaya hidup, honorarium dan imbal jasa Dokter Internsip:
a. Peserta akan mendapatkan bantuan biaya hidup
sesuai ketentuan yang berlaku
b. Bantuan biaya hidup ditentukan
oleh SK Menteri Kesehatan atau SK pimpinan
instansi yang memiliki peserta ikatan dinas
c. Bantuan biaya hidup dibayarkan
oleh Kementerian Kesehatan/ instansi yang memiliki peserta ikatan dinas, ke
rekening masing-masing peserta
sesuai jadwal yang diatur oleh KIDI
d. Peserta yang meninggalkan pelaksanaan internsip karena izin, akan tetap
dibayarkan bantuan biaya hidupnya, dan pada saat menggan hari
izin dak mendapatkan bantuan biaya hidup
lagi.
e. KIDI
tidak menyediakan
honorarium dan imbal jasa lainnya untuk peserta internsip
f. Peserta tidak dibenarkan menerima ajakan kerjasama dari instansi lain termasuk menerima komisi atau hadiah yang mengikat peserta.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/243/2016 tentang Biaya Hidup
Dokter Internsip dan Honor Dokter pendamping Program Internsip Dokter Indonesia
Tabel 2
Rincian Bantuan Biaya
Hidup
Uraian bantuan biaya hidup per bulan |
Wilayah Sumater, Jawa, Bali, NTB |
Wilayah Kalimantan, NTT,
Sulawesi, Maluku, Papua |
a.
Bantuan Biaya Hidup Kotor |
|
|
Bantuan biaya hidup |
3.000.000 |
3.450.000. |
Bantuan biaya pembayaran pajak PPH 21 (2,5%) |
75.000 |
86.250 |
Bantuan Iuran BPJS (5%) |
150.000 |
172.500 |
Bantuan Jaminan kerja (0,24%) |
7.200 |
|
Bantuan Iuran Kematian (0,3%) |
9.000 |
10.350 |
Jumlah bantuan biaya hidup kotor |
3.241.200 |
3.727.380 |
b.
Potongan-potongan |
|
|
Potongan PPH (21%) |
75.000 |
86.250 |
Potongan Jaminan kerja (0,24%) |
7.200 |
8.280 |
Potongan Iuran Kematian (0,3%) |
9.000 |
10.350 |
Jumlah Potongan |
91.200 |
104.880 |
c.
Bantuan biaya hidup bersih/
Take Home Pay (a-b) |
3.150.000 |
3.622.500 |
(Sumber: Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/243/2016)
Sementara
di Negara lain seperti Inggris,
sebagai seorang dokter internsip atau yang disana disebut Foundation Year 1 doctor (F1), dokter
tersebut akan mendapatkan gaji pokok sebesar £28,243, atau bila di rupiahkan
senilai dengan Rp.
546.379.936 hingga Rp 746.067.139 per tahun, ditambah gaji jam kerja yang lebih dari 40 jam per pekan, ditambah peningkatan gaji 37% untuk jam kerja malam, diperbolehkan
bekerja pada akhir pekan diluar program F1, tambahan biaya bila dokter
bersedia siaga melalui telpon, dan tambahan potensi pembayaran premia lainnya. Sehingga perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap besaran gaji pokok dari
dokter internsip di
Indonesia.
B.
Tanggung Jawab Pemerintah dalam pemenuhan Hak Imbalan
Jasa Pelayanan Kesehatan Dokter
Internsip
Tanggung
jawab adalah kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa
boleh dituntut, dipersalahkan, dan diperkarakan. Dalam kamus hukum,
tanggung jawab adalah suatu keseharusan
bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya. Menurut hukum tanggung jawab adalah suatu
akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau
moral dalam melakukan suatu perbuatan (Kaunang, 2020). Selanjutnya pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi
seorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum orang lain untuk memberi pertanggungjawabannya
(Wirabrata & Darma, 2018). Fungsi dari pemerintahanm melaksanakan administrasi Pemerintahan yang meliputi tugas pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan dan perlindungan, hal ini tercantum
pada Undang Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 1 ayat 2. Secara praktis, peran pemerintah dalam banyak aspek
kehidupan warga negara ini secara umum
disebut sebagai pelayanan masyarakat (bestuurzorg atau public servis) (Mustamu, 2011). Untuk melaksanakan perannya tersebut, pemerintah tentunya memiliki berbagai kewenangan, yang kewenangan kewenangannya tersebut dibatasi oleh aturan main yang ada dalam berbagai macam perundang-undangan, sesuai dengan konsep
negara hukum yang diterapkan
di Indonesia yang diterapkan
di Indonesia (Mustamu, 2011).
Dalam suatu negara hukum, keterlibatan pemerintah dalam kehidupan warga negara itu harus didasarkan pada asas legalitas (legaliteitsbeginsel), yang dianggap
sebagai dasar terpenting negara hukum (Mustamu, 2011).
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 telah mengatur hak-hak konstitusional seluruh warga negara Republik Indonesia, sehingga pemerintah memiliki kewajiban melaksanakan kehendak rakyat termasuk menjamin perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak-hak rakyat yang telah diatur dalam konstitusi.
Setiap hak yang terkait dengan warga negara dengan sendirinya menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab menjamin agar semua hak dan kebebasan
warga negara dihormati dan dipenuhi sebaik-baiknya (Asshiddiqie, 2006).
Negara kesejahteraan difokuskan pada penyelenggaraan sistem perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap orang sebagai cerminan dari adanya hak
kewarganegaraan (right of citizenship), di satu pihak, dan kewajiban negara (state obligation), di pihak lain (Sukmana, 2016). Welfare state merupakan
institusi negara dimana kekuasaan yang dimilikinya (dalam hal kebijakan
ekonomi dan politik) ditujukan untuk memastikan setiap warga negara mendapatkan hak-haknya tanpa memandang perbedaan status, kelas ekonomi, dan perbedaan lain (Nugraha & Amalia, 2019). Welfare State atau
yang lazim disebut sebagai negara sejahtera merupakan gagasan ideal bagaimana suatu negara melaksanakan tugasnya dalam rangka untuk
melayani warga negara menuju tatanan kehidupan yang harmonis dan sejahtera (Fuadi, 2016).
Dalam
hal ini akan
dijabarkan argumentasi penulis menggunakan asas asas dalam
ilmu hukum yakni asas Lex Superior Lex Specialis Lex Posterior dalam penalaran dan argumentasi Asas
lex superior derogat legi inferiori bermakna undang-undang (norma/aturan hukum) yang lebih tinggi meniadakan
keberlakuan undang-undang (norma/aturan hukum)
yang lebih rendah. Menentukan apakah suatu norma memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dari norma
lainnya tentunya bukan suatu hal
yang sulit karena negara hukum pada umumnya memiliki bangunan tatanan hukum tertulis
yang tersusun secara hirarkis. Dalam sistem hukum Indonesia, jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan diatur dalam ketentuan
Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Semua norma yang validitasnya dapat ditelusuri ke satu norma
dasar yang sama membentuk suatu sistem norma atau
sebuah tatanan norma. Norma dasar yang menjadi sumber utama ini merupakan
pengikat di antara semua norma yang berbeda-beda yang membentuk suatu tatanan norma.
Suatu norma termasuk ke dalam
sistem norma atau tatanan normatif
tertentu, dapat diuji hanya dengan
mengkonfirmasikan bahwa norma tersebut memperoleh validitasnya dari norma dasar
yang membentuk tatanan norma tersebut (Prabowo et al., 2020). bahwa hubungan antar norma merupakan hubungan antara “superordinasi” dan “subordinasi” dimana validitas norma yang lebih rendah selalu bersumber
dari norma yang lebih tinggi. Oleh karenanya, tidaklah mungkin peraturan yang lebih rendah meniadakan
peraturan yang lebih tinggi sekalipun peraturan yang lebih rendah itu merupakan
peraturan yang berlaku belakangan. Asas lex posterior derogat legi priori bermakna undang-undang (norma/aturan hukum)
yang baru meniadakan keberlakuan undang-undang (norma/ aturan hukum)
yang lama. Asas ini hanya dapat diterapkan
dalam kondisi norma hukum yang baru memiliki kedudukan
yang sederajat atau lebih tinggi dari
norma hukum yang lama bukanlah hal yang sulit untuk menentukan
norma berdasarkan asas ini karena
terdapat ukuran yang pasti dalam menentukan
peraturan mana yang merupakan
peraturan yang baru, yaitu dengan melihat
waktu mulai berlakunya secara kronologis (Kelsen, 2013). Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, penerapan asas ini sudah
lazim dipraktikan dengan mencantumkan suatu norma derogasi
(derogation norm) dalam ketentuan
penutup peraturan yang dibentuk. Norma tersebut menyatakan bahwa dengan berlakunya peraturan yang baru maka peraturan yang lama dinyatakan dicabut dan tidak berlaku. Hal ini telah diadopsi
dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Lampiran II UU No.
12 Tahun 2011.
Asas
lex specialis derogat legi generali bermakna
undang-undang (norma/aturan hukum) yang khusus meniadakan keberlakuan undang-undang (norma/ aturan hukum)
yang umum17. Kekhususan lebih diutamakan daripada pengaturan yang bersifat umum dan tidak diperdebatkan lagi bahwa segala sesuatu
yang berkaitan dengan hal khusus sebagai
yang paling penting. Rasionalitas
pengutamaan bagi hukum yang khusus ini adalah bahwa
aturan hukum yang khusus tentunya lebih relevan dan kompatibel serta lebih disesuaikan dengan kebutuhan hukum dan subjek yang lebih spesifik yang tidak mampu dijangkau
oleh aturan hukum yang bersifat umum (Irfani, 2020).
Pemerintah
sebagai pelayan rakyat haruslah memenuhi hak hak
konstitusional seluruh warga negara republik Indonesia karena hal tersebut
merupakan kewajiban negara untuk memenuhinya sesuai dengan amanat
UUD 1945 Fungsi dari pemerintahan adalah melaksanakan administrasi Pemerintahan yang meliputi tugas pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan dan perlindungan, hal ini tercantum
pada Undang Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 1 ayat 2 sehingga hak dari
warganegara harus dilindungi oleh pemerintah sehingga norma ini dapat menjadi
acuan untu pemenuhan dan perlindungan hak warga negara termasuk dokter internsip dimana Sementara pada pasal 48 dan pasal 51 Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, tentang
tanggung jawab pemerintah terhadap rumah sakit daerah
menyebutkan bahwa pembiayaan rumah sakit salah satunya bersumber dari pemerintah dan pemerintah daerah Pada pasal 51 Undang-Undang rumah sakit juga disebutkan bahwa pendapatan rumah sakit publik
dikelola pemerintah dan pemerintah daerah digunakan seluruhnya secara langsung untuk biaya operasional
rumah sakit dan tidak dapat dijadikan
pendapatan negara atau pemerintah daerah Pada Peraturan menteri kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, pada bab
5 tentang pendanaan, menyebutkan bahwa pemerintah berkoordinasi dengan dinas kesehatan
daerah terkait pembagian jasa pelayanan tenaga kesehatan pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang salah satunya adalah pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). pada pasal 3 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
19 Tahun 2014 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Untuk
Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan
Biaya Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
Milik Pemerintah Daerah (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 589) menyebutkan
bahwa Dana Kapitasi yang diterima oleh FKTP dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dimanfaatkan seluruhnya untuk: a. pembayaran jasa pelayanan kesehatan; dan b. dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan.
Sebagai
sumber pembiayaan rumah sakit daerah
pemerintah secara otomatis wajib memberikan imbalan jasa kepada pekerja
yang bertugas di rumah sakit daerah berdasarkan
peraturan yang Pada era BPJS Kewajiban
Rumah Sakit telah diatur salah satunya pada Permenkes No 4 tahun 2018 pasal 23 ayat 3 butir 1 yakni rumah sakit
wajib memberikan imbalan jasa yang adil dan layak sesuai dengan beban
kerja, tanggung jawab, dan risiko pekerjaan dari petugas yang bekerja di rumah sakit. Sementara
pemerintah juga memiliki kewajiban untuk berkoordinasi dengan dinas kesehatan daerah terkait imbalan jasa pelayanan
kesehatan hal tersebut terdapat Pada Permenkes No. 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan
Kesehatan Nasional, pada bab 5 tentang
pendanaan, menyebutkan bahwa pemerintah berkoordinasi dengan dinas kesehatan daerah terkait pembagian jasa pelayanan tenaga kesehatan pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang salah satunya adalah pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Dapat
diketahui bahwa dalam pasal 28D ayat 1 UUD 1945 Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di depan hukum. dimana pemerintah
memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk memberikan perlindungan serta kepastian hukum yang adil, diperlukan kepastian hukum serta keadlian terhadap dokter internsip dalam pemenuhan haknya atas jasa pelayanan
kesehatan, mengingat telah diatur pula tanggung jawab pemerintah dalam memenuhi pembiayaan rumah sakit daerah
serta puskesmas yang merupakan wahana internsip pada Undang-Undang Rumah Sakit, pada pasal 48 dan pasal 51 tentang tanggung jawab pemerintah terhadap rumah sakit daerah menyebutkan
bahwa pembiayaan rumah sakit salah satunya bersumber dari pemerintah dan pemerintah daerah kemudian pada Permenkes No. 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, pada bab
5 tentang pendanaan, menyebutkan bahwa pemerintah berkoordinasi dengan dinas kesehatan
daerah terkait pembagian jasa pelayanan tenaga kesehatan pada Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama (FKTP) yang salah satunya
adalah pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Sementara dari aspek kewajiban
pemerintah dalam memenuhi hak jasa
pelayanan kesehatan terhadap dokter internsip pun dapat dilihat dalam Undang
undang tenaga kesehatan dan Undang undang kedokteran dimana tercantum pada UU
Kesehatan Pasal 27 (1) Tenaga kesehatan
berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan
tugas sesuai dengan profesinya serta pada Undang Undang Praktik Kedokteran adalah merupakan hak dokter
menerima imbalan jasa pelayanan kesehatan yang dilakukannya Telah
disebutkan sebelumnya bahwa rumah sakit
daerah dan puskesmas adalah termasuk wahana internsip dimana dokter Internsip
melakukan tugasnya kemudian telah diatur dalam SK menteri kesehatan terkait hak dokter internsip
atas bantuan biaya Hidup kemudian
hak nya juga telah diatur dalam
pedoman pelaksanaan program
internsip sehingga pemerintah memiliki kewajiban memenuhi hak dari dokter
internsip tersebut namun kewajiban pemerintah atas pemenuhan hak atas
imbalan jasa pelayanan kesehatan dokter internsip belum diatur dengan
jelas pada peraturan perundang-undangan.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil Penelitian dan Pembahasan, maka dapat disimpulkan Status dokter internsip dalam peraturan perundang-undangan telah diatur dalam
UUPK yang mengatur bahwa sertifikat kompetensi adalah surat tanda
pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter untuk menjalankan
praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah lulus
uji kompetensi yang sertifikat
ini diterbitkan oleh konsil kedokteran Indonesia dimana dokter internsip
telah memiliki sertifikat kompetensi tersebut sehingga telah sah secara
hukum terkait kompetensinya sebagai dokter dan registrasi serta ijin yang telah dimiliki oleh dokter internsip yang berlaku terbatas pada waktu dan tempat tugas internsip dilaksanakan
Pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk memberikan perlindungan serta kepastian hukum yang adil. diperlukan kepastian hukum serta keadlian terhadap dokter internsip dalam pemenuhan haknya atas jasa pelayanan
kesehatan, mengingat telah diatur pula tanggung jawab pemerintah dalam memenuhi pembiayaan rumah sakit daerah
serta puskesmas yang merupakan wahana internsip pada pasal 48 dan pasal 51 Undang-Undang Rumah Sakit, tentang
tanggung jawab pemerintah terhadap rumah sakit daerah
menyebutkan bahwa pembiayaan rumah sakit salah satunya bersumber dari pemerintah dan pemerintah daerah kemudian pada Permenkes Jaminan Kesehatan
Nasional, pada bab 5 tentang
pendanaan, menyebutkan bahwa pemerintah berkoordinasi dengan dinas kesehatan daerah terkait pembagian jasa pelayanan tenaga kesehatan pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang salah satunya adalah pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Dimana rumah sakit daerah
dan pusat kesehatan masyarakat merupakan wahana internsip.
Bibliografi
Asshiddiqie,
J. (2006). Pengantar ilmu hukum tata negara jilid II.Google Scholar
Fuadi, A.
(2016). Negara Kesejahteraan (Welfare State) dalam Pandangan Islam dan
Kapitalisme. JESI (Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia), 5(1),
13–32.Google Scholar
Haryanto,
A. T., & Suranto, J. (2012). Pelayanan Kesehatan (Studi Rawat Inap Di Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri). Transformasi,
14(22). Google Scholar
Irfani, N.
(2020). Asas Lex Superior, Lex Specialis, Dan Lex Pesterior: Pemaknaan,
Problematika, Dan Penggunaannya Dalam Penalaran Dan Argumentasi Hukum. Jurnal
Legislasi Indonesia, 17(3), 305–325. Google Scholar
Kaunang, H.
A. M. (2020). Tanggungjawab Hukum Pemerintah Dalam Ketersediaan Fasilitas
Masyarakat Pejalan Kaki Dan Penyandang Cacat Menurut Undang-Unang Nomor 22
Tahun 2009. Lex Et Societatis, 7(11). Google Scholar
Kelsen, H.
(2013). Teori umum tentang hukum dan negara. Google Scholar
Kotler, P.,
& Wasana, J. (1994). Manajemen pemasaran: Analisis, perencanaan, implementasi
dan pengendalian. Penerbit Erlangga. Google Scholar
Muchtar, H.
(2015). Analisis Yuridis Normatif Sinkronisasi Peraturan Daerah dengan Hak
Asasi Manusia. Humanus, 14(1), 80–91. Google Scholar
Mustamu, J.
(2011). Diskresi dan tanggungjawab administrasi pemerintahan. Sasi, 17(2),
1–9. Google Scholar
Nugraha, T.
R., & Amalia, P. (2019). Militerisasi Ruang Angkasa, Quo Vadis Indonesia? Mimbar
Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 32(3), 377–391. Google Scholar
Prabowo, A.
S., Triputra, A. N., Junaidi, Y., & Purwoleksono, D. E. (2020). Politik
Hukum Omnibus Law di Indonesia. Pamator Journal, 13(1), 1–6. Google Scholar
Radito, T.
(2014). Analisis pengaruh kualitas pelayanan dan fasilitas kesehatan terhadap
kepuasan pasien Puskesmas. Jurnal Ilmu Manajemen, 11(2), 1–25. Google Scholar
Soekanto,
S. (2010). Pengantar Penelitian Hukum (edisi revisi). Jakarta: UI Press. Google Scholar
Sukmana, O.
(2016). Konsep dan Desain Negara Kesejahteraan (Welfare State). Jurnal Sospol,
2(1), 103–122. Google Scholar
Wirabrata,
I. G. M., & Darma, I. M. W. (2018). Tinjauan Yuridis Informed Consent Dalam
Perlindungan Hukum Bagi Pasien Dan Dokter. Jurnal Analisis Hukum, 1(2),
278–299. Google Scholar
Yasin, J.
(2009). Hak Azasi Manusia Dan Hak Serta Kewajiban Warga Negara Dalam Hukum
Positif Indonesia. Syiar Hukum, 11(2), 147–160. Google Scholar
Copyright holder : Dzulqarnain Andira (2021). |
|
First publication right
: This article is licensed under: |
|