Jurnal Syntax Transformation

Vol. 2 No. 11, November 2021

p-ISSN : 2721-3854 e-ISSN : 2721-2769

Sosial Sains

 

ANALISA YURIDIS EKSEKUSI SITA JAMINAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (TPPU)  FIRST TRAVEL

 

Edward Fernando Siregar, Helvis, Markoni

Pascasarjanan Magister Hukum Universitas Esa Unggul, Jakarta, Indonesia        

Email: edward_fernando_siregar@yahoo.com, mey.mooi@yahoo.com, sh.markoni@gmail.com

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Diterima

10 Oktober 2021 September 2021

Direvisi

6 November 2021

Disetujui

10 November 2021

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut “UU TPPU”) tidak mengatur secara khusus terhadap harta kekayaan (aset) hasil TPPU. dimana para korban harus tunduk pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam kasus PT. First Karya Wisata (FIRST TRAVEL) sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung No: 3096K/PID.SUS/2018 Jo. 195/PID/2018/PT.BDG Jo. 83/PID.B/2018/PN.DPK), latar belakang penulisan karena adanya 63.310 calon jamaah umroh yang tidak diberangkatkan oleh Para Terpidana selaku FIRST TRAVEL, dengan paket umroh senilai Rp. 14.300.000 dan oleh karenya penulis bermaksud menganalisa kualifikasi atas tindak pidana para Terpidana dan eksekusi penyitaan terhadap hasil tindak pidana TPPU. Penulis menggunakan metode penelitian normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder didukung dengan data primer, data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan. Jenis pendekatan yang digunakan adalah undang-undang dan pendekatan kasus. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis maka diketahui bahwa tindak pidana yang dilakukan para Terpidana dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana penipuan, penggelapan dan TPPU. Dimana dalam putusan Mahkamah Agung Nomor: 3096K/PID.SUS/2018 Jo. 195/PID/2018/PT.BDG Jo. 83/PID.B/2018/PN.DPK yang telah berkekuatan hukum tetap aset dirampas oleh negara sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi para korban calon jamaah umroh mengingat dana hasil kejahatan tersebut diperoleh dari uang milik pribadi para korban sehingga pada faktanya negara tidak mengalami kerugian, dalam hal ini penulis berpendapat dengan kemajuan sosial media saat ini, para korban dapat membuat petisi dimedia sosial sehingga adanya terobosan baru terhadap pengembalian aset hasil TPPU bagi Para Korban.

 

ABSTRACT

Law No. 8 of 2010 concerning the Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering (hereinafter referred to as the “AML Law”) does not specifically regulate assets (assets) resulting from money laundering. where victims must submit to court decisions that have permanent legal force. In the case of PT. First Karya Wisata (FIRST TRAVEL) as stated in Supreme Court Decision No: 3096K/PID.SUS/2018 Jo. 195/PID/2018/PT.BDG Jo. 83/PID.B/2018/PN.DPK), the background of the writing is because there were 63,310 prospective Umrah pilgrims who were not dispatched by the convicts as FIRST TRAVEL, with an Umrah package worth Rp. 14.300.000 and therefore the author intends to analyze the qualifications of the criminal acts of the convicts and the execution of the confiscation of the proceeds of the crime of money laundering offences. The author uses normative research methods. The data used is secondary data supported by primary data, secondary data obtained from library materials. The type of approach used is the law and case approach. Based on the results of research conducted by the author, it is known that criminal acts committed by the convicts can be qualified as criminal acts of fraud, embezzlement and money laundering. Where in the decision of the Supreme Court Number: 3096K/PID.SUS/2018 Jo. 195/PID/2018/PT.BDG Jo. 83/PID.B/2018/PN.DPK which has permanent legal force, assets are confiscated by the state, causing injustice to the victims of prospective Umrah pilgrims considering that the proceeds of the crime were obtained from the personal property of the victims so that in fact the state did not suffer losses, in In this case, the author argues that with the current progress of social media, victims can make petitions on social media so that there is a new way of returning assets from money laundering offences for victims.

Kata Kunci:

First Travel; Eksekusi aset hasil tindak pidana pencucian uang (TPPU).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

First Travel, Execution of assets resulting from money laundering (TPPU)


 


Pendahuluan

Kasus Tindak pidana pencucian uang tidak pernah lepas dari penyitaan aset milik pelaku tindak pidana, istilah pencucian uang telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat. Munculnya istilah tersebut erat kaitannya dengan perusahaan laundry (pencucian pakaian). Perusaaan ini dibeli oleh para mafia dan kriminal di Amerika Serikat dengan dana yang mereka peroleh dari kejahatan yang mereka lakukan. Selanjutnya perusahan laundry ini dipergunakan untuk menyembunyikan uang yang dihasilkan dari hasil kejahatan dan transaksi ilegal sehingga tampak seolah-olah berasal dari sumber yang halal.  Di tingkat nasional, Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dan saat ini diubah menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Yulita, 2019).

Pengertian pencucian uang di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalahSegala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”. (Denniagi, 2021)

Pencucian uang merupakan tindak pidana turunan (proceed of crime) dari tindak pidana asal (predicate crime). Tindak pidana asal yang dimaksud adalah tindak pidana yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut UU TPPU) sebagaimana telah diuraikan di atas (Achyar, 2018). Tindak Pidana Pencucian Uang atau money laundering di Indonesia menjadi salah satu permasalahan bangsa yang belum terselesaikan. Indonesia sebagai sebuah negara yang berdasarkan pada hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (maachtsstaat), maka upaya penegakan hukum berpegang pada prinsip-prinsip rule of law yaitu adanya supremasi hukum, prinsip persamaan di depan hukum dan terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang dan putusan pengadilan. Dalam konteks ajaran “negara kesejahteraan” (welfare state) pemerintah Indonesia berkewajiban untuk mensinergikan upaya penegakan hukum yang berlandaskan pada nilai-nilai keadilan dengan upaya pencapaian tujuan nasional untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi masyarakat. Berdasarkan pemikiran seperti ini, penanganan tindak pidana dengan motif ekonomi harus dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang berkeadilan bagi masyarakat melalui pengembalian hasil dan instrumen tindak pidana kepada negara untuk kepentingan masyarakat. (Ganarsih, 2003)

Menyita dan merampas hasil dan instrumen tindak pidana dari pelaku tindak pidana tidak saja memindahkan sejumlah harta kekayaan dari pelaku kejahatan kepada masyarakat tetapi juga akan memperbesar kemungkinan masyarakat untuk mewujudkan tujuan bersama yaitu terbentuknya keadilan dan kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa beberapa ketentuan pidana di Indonesia sudah mengatur mengenai kemungkinan untuk menyita serta merampas hasil dan instrumen tindak pidana seperti dalam KUHP, KUHAP, dan beberapa ketentuan peraturan perundang-perundangan lainnya. Penyitaan merupakan bagian dari penyidikan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut KUHAP, penyitaan diatur dalam pasal 1 butir 16 KUHAP yaitu  :“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau  tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,  penuntutan dan peradilan.”(Pidana, 1976).

Penyitaan, UU TPPU tidak mengatur secara khusus masalah penyitaan dalam penanganan perkara Tindak Pidana Pencucian Uang. Ini berarti bahwa penyitaan dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Namun apabila masih ada kekayaan yang belum disita, UU TPPU memberikan kewenangan kepada hakim untuk memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melakukan penyitaan aset, seperti yang tertera dalam pasal 81 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu “Dalam hal diperoleh bukti yang cukup bahwa masih ada Harta Kekayaan yang belum di sita, hakim memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melakukan penyitaan harta kekayaan tersebut.”

Kasus mengenai penipuan berkedok travel umrah beberapa tahun terakhir hingga saat ini, tentunya menjadi problematika yang begitu meresahkan dan merugikan kalangan masyarakat. Masyarakat mudah tertarik dengan promo biaya umrah yang kemudian berakhir dengan tidak mendapatkan apa-apa. Tidak sedikit yang menjadi korban dari kasus penipuan yang berkedok travel umrah seperti ini. Dari banyaknya kasus penipuan tersebut, Peneliti tertarik untuk mengkaji secara yuridis tindak pidana pencucian uang dengan kejahatan awal berupa penipuan, yang dalam hal ini kasus First Travel sesuai Putusan Mahkamah Agung No: 3096K/Pid.Sus/2018. 

Putusan tersebut ditetapkan barang bukti yang merupakan aset dari First Travel disita oleh negara. Terdapat pertentangan antara pihak korban dengan putusan hakim berkaitan dengan perampasan barang bukti oleh negara yang disita dari agen perjalanan First Travel, dikarenakan barang bukti yang disita dari First Travel adalah hasil penipuan dari calon jamaah umrah yang seharusnya dikembalikan kepada pihak korban selaku pihak yang berhak sebagai ganti kerugian. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam penulisan tesis ini penulis tertarik untuk mengangkat judul: “Analisa  Yuridis  Eksekusi Sita Jaminan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)  FIRST TRAVEL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No: 3096K/Pid.Sus/2018Jo.195/PID/2018/PT.BDG Jo.83/Pid.B/2018/PN.Dpk)”.

 

Metode Penelitian

Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan Analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten.  Oleh karena penelitian merupakan sarana (ilmiah) bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodolgi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya, dan terhadap metode penelitian hukum (Soekanto, 2010).

Jenis Data dan Sumber Bahan Hukum diantaranya Bahan Hukum Primer: UUD 1945, KUHP, KUHAP, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3096K/Pid. Sus.2018,  Putusan Pengadilan Tinggi Nomor: 195/PID/2018/PT. BDG, Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 83/Pid.B/2018/PN.Dpk, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Peraturan lain yang terkait dengan pelaksanaan penyitaan benda hasil Tindak Pidana Pencucian Uang (Arrasjid, 2008).

Bahan Hukum Sekunder: Buku-buku ilmiah di bidang hukum, Makalah-makalah, Jurnal ilmiah dan Artikel ilmiah.

Bahwa Hukum Tersier: Kamus Besar Bahsa Indonesia, Kamus Hukum dan Situs internet yang berkaitan dengan hukum Perseroan terbatas dan putusan pengadilan.

 

Hasil dan Pembahasan

A.   Hasil Penelitian

1      Pengertian Sita

Sita Jaminan (Conservatoir Beslag) Istilah Conservatoir Beslag telah dialih bahasakan ke dalam bahasa hukum menjadi sita jaminan. Hal ini ditetapkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 05 Tahun 1975 tanggal 1 Desember 1975. Dalam bahasa hukum istilah Conservatoir Beslag adalah sita yang diletakkan terhadap harta kekayaan Tergugat, yang bertujuan untuk memberi jaminan kepada Penggugat. Harta yang disengketakan atau harta milik Tergugat, tetap ada dan utuh, sehingga sita itu memberi jaminan kepada pihak Penggugat bahwa kelak gugatannya tidak ilussoir atau tidak hanya satu putusan yang diseksekusi (dilaksanakan) (Harahap, 2017).  Penyitaan dalam Pasal 1 angka 16 didefinisikan sebagai serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Penyitaan merupakan suatu tindakanupaya paksa” yang dilakukan penyidik mengandung penghinaan dan perkosaan serta bertentangan dengan nilai Hak asasi Manusia, namun disisi lain demi untuk kepentingan umum dalam rangka menyelesaiakan perkara pidana, secara eksepsional undang-undang membenarkan penyitaan (Harahap, 2017).  Karena penyitaan merupakan bentukupaya paksa” yang dapat bertentangan dengan hak asasi manusia, penyitaan yang dilakukan oleh penyidik haruslah berdasarkanan para surat izin Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana yang diatur didalam Pasal 38 Ayat (1) KUHAP, dalam Ayat (2) menyebutkan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, KUHAP memberikan pengecualian (Harahap, 2017).  Sednagkan Sita Pidana: didalam hukum publik khususnya hukum pidana juga mengenal sita, sita didalam hukum pidana dikenal dengan nama penyitaan. Penyitaan berdasarkan Pasal 1 angka 16 KUHAP diartikan sebai serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

Penyitaan merupakan suatu tindakanupaya paksa” yang dilakukan penyidik untuk mengambil atau merampas hak milik orang lain. Karena penyitaan merupakan bentukupaya paksa” yang dapat bertentangan dengan hak asasi manusia, penyitaan yang dilakukan oleh penyidik haruslah berdasarkanan para surat izin Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana yang diatur didalam Pasal 38 ayat (1) KUHAP.  Penyitaan digunakan oleh penyidik untuk mengamankan benda yang berkaitan dengan perkara yang sedang disidik, dituntut, atau diperadilankan agar tidak hilang atau dimusnahkan oleh tersangka atau terdakwa untuk dijadikan barang bukti dalam perkara tersebut. Perkara pidana yang akan diajukan di depan pengadilan harus dilengkapi dengan barang bukti. Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan suatu tanda penerimaan.

2      Tindak Pidana TPPU

Istilah Pencucian Uang atau Money Laundering dikenal sejak tahun 1930. Asal mula muculnya istilah tersebut berdasarkan kehidupan Al Capone seorang penjahat terbesar di Amerika. Bersama dengan seorang akuntan bernama Mayer Lansky, Al Capone mencuci uang hitam dari usaha kejahatannya melalui perusahaan laundry (pencucian pakaian). Demikianlah asal munculnya istilah Money Laundering (Sutedi & Perbankan, 2010).  Perusahaan tesebut dipergunakan untuk menyembunyikan hasil dari kejahatan atau transaksi ilegal sehingga tampak seolah-seolah berasal dari sumber yang halal (Perbawa, 2015).  Money Laundering dapat diistilahkan juga sebagai pemutihan uang, pendulangan uang yaitu kegiatan pembersihan uang dari hasil transaksi gelap (kotor). Money Laundering merupakan salah satu aspek perbuatan kriminal berkaitam dengan latar belakang dari perolehan sejumlah uang yang sifatnya gelap, haram atau kotor, lalu sejumlah uang kotor ini dikelola dengan aktifitas-aktifitas tertentu dengan membentuk usaha, mentransfer atau mengkonversikannya ke bank atau valuta asing sebagai langkah untuk menghilangkan latar belakang dari dana kotor tersebut (Perbawa, 2015).  Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang selanjutnya disebut Undang-Undang TPPU disebutkan bahwa, “pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.” Sedangkan dalam Pasal 2 mengatur mengenai jenis- jenis tindak pidana yang hasil dari tindakan tersebut merupakan harta kekayaan sebagaimana yang dimaksud dalam UU No.8 Tahun 2010. Hal ini merupakan suatu keunikan tersendiri dari UU Pencucian Uang, karena tindak pidana ini terkait dengan tindak pidana lainnya yang disebut sebagai predicate offences. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ini, maka dalam menentukan hasil tindak pidana, Undang-Undang tersebut menganut asas kriminalitas ganda (double criminality). Secara sederhana, proses pencucian uang dapat dikelompokkan pada tiga kegiatan, yakni placement, layering dan integration.

Terdapat beberapa unsur didalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yaitu: (1) Setiap orang yang dapat diartikan baik pribadi maupun korporasi yang bisa dijadikan terdakwa dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) (2) Menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut di duga merupakan hasil dari tindak pidana yang mana terhadap unsur tersebut sifatnya alternatif maksudnya jika salah satu perbuatan sudah terpenuhi maka yang lain tidak perlu dipertimbangkan (Eleanora, 2021).

B.   Pembahasan

Kualifikasi FIRST TRAVEL Melakukan Penipuan, Penggelapan dan Tindak Pidana Pencucian Uang Sesuai Dengan Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No: 3096K/Pid. Sus/2018 Jo. 195/PID/2018/PT. BDG Jo.83/Pid.B/2018/PN.Dpk).

Penulis akan memberikan beberapa analisa terkait pertimbangan-pertimbangan hakim sehubungan dengan tindak pidana kasus First Travel sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia berdasarkan putusan Mahkamah Agung No: 3096K/Pid. Sus/2018 Jo. 195/PID/2018/PT. BDG Jo.83/Pid.B/2018/PN.Dpk) dan penyebutan TERDAKWA didalam BAB III selanjutnya akan disebut sebagai “TERPIDANA” mengingat penulis melakukan Analisa setelah adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, dan terkait dengan tindak pidana yang telah dilakukan oleh para Terpidana antara lain berkaitan dengan :

1.    Tindak pidana penipuan dan penggelapan; dan

2.    Tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Hal tersebut digunakan untuk mengetahui apakah putusan Majelis Hakim sesuai dengan ketentuan tindak pidana pencucian uang dan KUHAP (Kitab undang-undang hukum acara pidana), maka selanjutnya perlu dilakukan analisa pertimbangan dan putusan majelis hakim yang dibandingkan dengan ketentuan TPPU dan tindak pidana lainnya.

Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan. Dalam hal ini penulis akan membahas apakah tindak pidana yang dilakukan oleh para Terpidana telah memenuhi unsur-unsur dalam tindak pidana penipuan dan penggelapan :

1.    Unsur Barang Siapa, bahwa yang dimaksud denganBarang siapaadalah siapa saja sebagai subyek hukum tindak pidana dan kepadanya dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya secara hukum.  dalam dimana dalam pertimbangan mejalis hakim dalam kutipan hal 958-960 Putusan 83/Pid.B/2018/PN.Dpk, yang menyatakan “…Terdakwa 1 Andika Surachman sebagai Direktur Utama dan Terdakwa 2 Anniesa Desvitasari Hasibuan sebagai Direktur, Siti Nuraida Hasibuan alias KIKI (terdakwa dalam berkas perkara terpisah) sebagai Komisaris Utama dan Muamar Rizky Fadila sebagai Komisaris;..” (PN Depok, 2018)

  “...Terdakwa 1 Andika Surachman selaku Direktur Utama yang memimpin dan mengendalikan seluruh jalannya perusahaan,memiliki tugas dan tanggung jawab yakni membuat Produk Paket Travel…”

Bahwa bermula pada tahun 2009, Terpidana I dan Terpidana II mendirikan CV, First Anugerah Karya Wisata di Jakarta dengan modal awal (uang pribadi) sebesar Rp. 2.000.000, (dua juta rupiah) dengan bidang usaha menyelenggarakan ibadah umrah, namun dikarenakan belum memiliki memiliki Izin sebagai penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) kemudian bekerjasama dengan Biro Travel lain yang telah memiliki izin. Dimana selanjutnya Terpidana I dan Terpidana II mendirikan bahwa bermula pada tahun 2009, Terpidana I dan Terpidana II mendiirkan CV, First Anugerah Karya Wisata di Jakarta dengan modal awal (uang pribadi) sebesar Rp. 2000.000, (dua juta rupiah), dengan bidang usaha menyelenggarakan ibadah umrah, namun dikarenakan belum memiliki memiliki Izin sebagai penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) kemudia bekerjasama dengan Biro Travel lain yang telah memiliki izin. Dimana Terpidana I selaku Direktur Utama dan Terpidana II selaku Direktur.  Selanjutnya dalam perkara ini Terpidana I dan Terpidana II penuntut umum menyatakan identitas Para Terpidana dalam surat dakwaan, dan tidak mengajukan keberatan atas Identitas Para Terpidana, dan selama proses sidang dalam keadaaan sehata jasmani oleh karenya Para Terpidana haruslah dianggap mampu bertanggung jawab. Dan oleh karenanya Terpidana I dan Terpidana II telah memenuhi unsurBarangsiapatelah terbukti dan sah menurut hukum.

2.    Unsur dengan memakai nama palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat ataupun serangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau upaya memberi utang maupun menghapuskan pituang. Bahwa dari fakta-fakta yang terungkap dipersidangan diketahui dimana Terpidana I selaku direktur utama yang memimpin dan mengendalikan seluruh jalannya perusahaan, memiliki tugas dan tanggung jawab yakni membuat produk paket Travel (menentukan biaya perjalanan umrah), pembukuan dan penutupan pendaftaran paket, dan mengawasi serta menerima laporan transaksi keuangan dan logistik. Sedangkan untuk Terpidana II selaku direktur memiliki tugas dan tanggung jawab yakni menjalin komunikasi dengan para koordinator. Bahwa sejak tahun 2011 PT. First Anugerah Karya atau first Travel telah menyelenggarakan paket perjalanan umrah promo, dengan perincian sebagai berikut :


 

Jenis Paket

Harga, Ketentuan dan Fasilitas

Umrah Promo 2017 (berlaku mulai Januari tahun 2015 untuk pemberangkatan pada bulan November 2016 sampai dengan bulan Mei 2017)

Rp.  14.300.000,- (empat belas juta tiga ratus ribu rupiah) per orang. Perjalanan selama 9 hari Fasilitas Penginapan hotel bintang 3.

Sistem pembayaran FIFO (First In First Out)

Umrah Regular

Harga Rp 26.613.000,- (dua puluh enam juta enam ratus tiga belas ribu rupiah) per orang.

Fasilitas penginapan hotel bintang 4

Milad ke-8 First Travel

Rp 8.888.888,- (delapan juta delapan ratus delapan puluh delapan rupiah) per orang

VIP

Rp 54.000.000,- (lima puluh empat juta rupiah) per orang Fasilitas penginapan hotel bintang 5 (lima)  Keberangkatan setiap saat setelah pembayaran dilunasi

Umrah Promo 2018

Rp 15.000.000 (lima belas juta rupiah) per orang Fasilitas penginapan hotel bintang 3

Dimana berdasarkan perincian diatas terdapat ketentuan yang mengandung unsur tipu- muslihat yakni :

1.    Pemberangkatan dilakukan 1 (satu) tahun kemudian setelah biaya perjalanan dibayar lunas oleh para calon jamaah umrah.

2.    Harga paket umrah 2017 sebesar Rp. 14.300.000,- tidak cukup untuk membiayai paket perjalanan Ibadah Umrah seperti yang ditawarkan. Dimana pada faktanya para Terpidana menyadari bahwa paket umroh dengan harga Rp. 14.300.000,- (empat belas juta tiga ratus ribu rupiah) merupakan hal yang musathil untuk dilakukan. Namun para Terpidana tetap menawarkan dan menarik calon jamaah untuk mendaftar dan telah membayar paket umroh promo 2017 tersebut dengan cara-cara lain yakni :

a.     Membuka cabang FIRST TRAVEL

b.    Merekrut agen seluruh Indonesia

c.     Melakukan seminar untuk para calon agen

d.    Menjual franchise FISRT TRAVEL

e.     Menawarkan paket perjalanan melaluI media sosial Facebook

Bahwa dengan adanya penawaran-penawaran serta promosi-promosi yang dilakukan para Terpidana mendatangkan kerugian bagi sebanyak 63.310 orang calon jamaah yang telah membayar biaya perjalanan ibdah umroh hingga bulan Juli 2017 kurang lebih sbesar Rp. 905.333.000.000,- dan berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut diatas dikaitkan dengan pengertian unsur ke-2 yang telah diuraikan sebelumnya maka jelas bahwa Para Terpidana melalui perusahaannya PT. Anugerah Karya Wisata atau dikenal dengan sebutan FIRST TRAVEL sejak bulan Januari 2015 s.d Juni 2017 dengan tipu muslihat dan rangkaian kebohongan yakni dengan menawarkan paket perjalanan Umroh Promo dengan harga Rp. 14.300.000,- perorang dengan ketentuan pemberangkatan 1 tahun kemudian setelah lunas padahal dari awal sudah diketahuinya bahwa harga tersebut tidak akan cukup memberangkatkan 1 orang jamaah. Oleh karenanya berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas maka unsurdengan memakai dengan tipu muslihat ataupun serangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya telah terpenuhi dan terbukti.

3.    Unsur dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, berdasarkan Kutipan halaman 964 dari 1318 hal Putusan 83/Pid.B/2018/PN.Dpk: (PN Depok, 2018)Bahwa selanjutnya uang yang terkumpul di Rekening perusahaan atas nama First Anugerah Karya Wisata pada Bank Mandiri dengan Nomor rekening 1570003239 yang merupakan uang setoran dari para Calon Jamaah Umrah selanjutnya oleh Terdakwa 1 Andika Surachman sebagian dialihkan dengan cara mentransfer kerekening pribadi atau pun ditarik tunai, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum diatas dihubungkan dengan pengertian unsur ke-3 yang telah diuraikan sebelumnya maka penulis berpendapat bahwa perbuatan yang dilakukan oleh para Terpidana tersebut telah menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum yakni dimana para Terpidana menguasai dan menggunakan uang kepunyaan para calon jamaah untuk kepentingan pribadi dari para Terpidana yang tidak ada hubungannya dengan pemberangkatan jamaah umrah dan mengakibatkan banyak calon jamaah yang tidak menjaid berangkat. Apalagi dari awal para Terpidana tersebut sudah menyadari bahwa paket umroh Rp. 14.300.000,- dipastikan tidak akan cukup untuk memberangkatkan 1 (satu) orang Jamaah sehingga semakin banyak jamaah yang mendaftar paket umroh maka semakin banyak pula jamaah yang gagal berangkat. Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas maka unsurdengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukumtelah dapat dibuktikan sah menurut hukum.

4.    Unsur perbuatan itu dilakukan para Terpidana sebagai orang yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan. Bahwa unsur ini dalam hukum pidana disebut dengan penyertaan (Delneming) yaitu turut serta melakukan perbuatan yang dapat dihukum yang menysaratkan sedikitnya dua orang atau lebih secara bersama-sama mewujudkan suatu tindak pidana, apakah sebagai orang yang melakukan sendiri, menyuruh melakukan atau turut melakukan peristiwa pidana, dan semua akan dipandang sebagai pelaku dari peristiwa pidana.  Bahwa untuk membuktikan unsur turut serta ini, bahwa dikaitkan dengan unsur k-1, ke-2 dan ke-3 yang telah diuraikan sebelumnya, dan terdapat kerjasama antara Para Terpidana sehingga terwujudnya unsur tindak pidana dalam perkara ini sebagaimana yang dibuktikan dalam Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP telah dapat dibuktikan, oleh karena itu unsur ke-4 juga telah dibuktikan secara sah menurut hukum.

5.    Unsur beberapa perbuatan yang saling berhubungan yang harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut;Bahwa pada hakekatnya unsur ke-5 ini menurut ilmu pengetahuan hukum pidanan merupakanVoorgezette Handelingsebagaimana diatur dalam Pasal 64 KUHP. yang berbunyibeberapa perbuatan berlanjutmenurut Memorie van Toelichting/ MvT mensyaratkan bahwa beberapa perbuatan tersebut harus tumbuh dari kehendak yang terlarang, rentang waktu perbuatan tersebut tidak terlalu lama dan perbuatan itu sama jenisnya, dengan demikian maka yang harus di buktikan dalam unsur ini di hubungkan dengan perkara ini adalah apakah benar perbuatan pidana tersebut dilakukan Para Terpidana dan Siti Nuraida Hasibuan dalam beberapa kali perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus di pandang sebagai satu perbuatan berlanjut? Maka penulis berpendapat bahwa dari pertimbangan-pertimbangan hukum di dalam putusan pengadilan negeri depok, pengadilan tinggi dan tingkat kasasi, maka dapat nyatakan bahwa paket Promo 2017 dengan harga Rp 14.300.000,- (empat belas juta tiga ratus ribu rupiah) merupakan biaya umrah yang disadari oleh Para Terpidana dan Siti Nuraida Hasibuan akan tidak dapat memberangkatkan para calon jamaah. Namun paket tersebut yang nyatanya merupakan tipu muslihat serta rangkaian kebohongan yang dibuat oleh para Terpidana dan SITI NURAIDA HASIBUAN secara terus menerus gencar dipromosikan mulai dari Januari 2015 sampai bulan Mei 2017 baik melalui media medsos Facebook, menggunakan jasa artis-artis, membuat jaringan agen ataupun melalui seminar-seminar keagenan, membuka kantor-kantor cabang, serta melalui penjulalan franchise (warabala) First Travel ke beberapa perusahaan sehingga secara terus menerus pula menarik para jamaah maupun calon jamaah untuk berangkat umrah dengan menggunakan jasa First Travel seharga Rp 14.300.000,- yang kemudian menyetorkan uangnya ke rekening an. PT First Anugerah Karya Wisata. bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis berpendapat bahwa unsur beberapa perbuatan yang saling berhubungan yang harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut.

3.    Analisa Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

Bahwa sampai dengan saat ini, dimanapun terjadinya pencucian uang ada dua cara modern dan cara tradisional. Walaupun dikatakan bahwa tidak ada dua sistem pencucian uang yang sama, namun pada umumnya proses pencucian uang modern terdiri dari tiga tahap, yaitu placement, layering dan integration (Sulaksono & Novianto, 2019). Bahwa dalam kasus First Travel, cara yang digunakan adalah cara pencucian uang bersifat modern telah memenuhi proses pencucian uang dalam tiga kegiatan, yakni :

a  Placement

Orang yang Terpidana telah menempatkan uang hasil kejahatan para jamaah umroh kedalam di beberapa rekening bank mandiri dan permata atas nama PT. First Anugerah Karya Wisata yang kemudian ditransfer Kembali ke rekening penampungan perusahaan atas nama perusahaan.

b  Layering

Faktannya para Terpidana telah melakukan beberapa tahapan transaksi keuangan dari beberapa rekening perusahaaan atas nama PT. First Anugerah Karya Wisata ke rekening lainnya.

c  Integration

Bahwa didalam kasus Fisrt Travel, jaksa penuntut umum dalam tuntutannya mendalilkan bahwa bukti no. 1- 529 berupa rekening tabungan, deposito termasuk benda bergerak lainnya untuk dikembalikan kepada para koban calon jamaah umroh secara proposional dan merata, dalam hal ini terbukti bahwa penuntut umu sudah melakukan penelusuran terhadap aset-aset para Terpidana yang diperoleh dari hasil kejahatan tindak pidana pencucian uang dana para calon jamaah umroh.

Berdasarkan uraian diatas dalam hal hasil kejahatan masih utuh tersimpan pada tahap placement dan setelah ditelusuri diketahui secara pasti uang/aset yang tersimpan tersebut adalah hasil kejahatan, maka penyelesaian pengembaliannya cenderung mudah yaitu uang/aset tersebut dikembalikan kepada para korban melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang dilaksanakan oleh jaksa selau pejabat yang berwenang melakukan pelaksanaan putusan pengadilan (execution). Namun Apabila tahapan pencucian uang tersebut sudah sampai pada tahap Integration maka sudah sangat sulit untuk memisahkan dan membedakan mana aset hasil kejatahan dan mana aset sah dari pelaku tindak pidana itu sendiri.  Dan dalam hal kasus First Travel sudah sangat jelas bahwa sampai dengan tahapan Integration maka bukan hal yang sulit untuk memisahkan dan membedakan mana aset yang hasil kejahatan yang diperoleh dari uang para calon jamaah dan mana yang merukan milik sendiri para Terpidana. Bahwa terkait dengan cara modern tindak pidana yang dilakukan oleh para Terpidana sebagaimana terurai diatas, maka dalam perkara tersebut para Terpidana jelas melanggar Pasal 3 UU No. 8 tahun 2010 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, yang selanjutnya dengan unsur-unsur terhadap pasal-pasal yang dilanggar oleh para Terpidana,  dalam hal ini penulis akan melakukan Analisa Perkara No: 3096K/Pid. Sus/2018 Jo. 83/Pid.B/2018/PN.Dpk berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 2010 :

a.     Unsur setiap orang bahwa yang dimaksud dengan setiap orang menurut pasal 1 angka 9 uu nomor 8 tahun 2010 adalah orang perorangan atau korporasi dan terhadap unsursetiap orang” disini sama dengan unsur ke-1 dalam dakwaan penuntut umum dan unsur ini telah terpenuhi oleh para terpidana, oleh karenanya keterkaitan unsur ke-1 dalam dakwaan kedua ini, dengan demikianunsur setiap orang” inipun juga menjadi terbukti sah menurut hukum.

b.    unsur menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta Kekayaaan FIRST TRAVEL dalam menjalankan usahanya melakukan promosi baik melalui media medsos Facebook, menggunakan jasa artis-artis, membuat jaringan agen ataupun melalui seminar-seminar keagenan, membuka kantor-kantor cabang, serta melalui penjulalan franchise (warabala) First Travel ke beberapa perusahaan telah berhasil membuat para calon jamaah terpikat dan percaya sehingga mau mendaftarkan diri dan menyetorkan uang seharga paket umrah yang ditawarkan melalui rekening pada beberapa Bank yang dihimpun ke dalam rekening induk pada bank mandiri nomor rekening 157-000-323-99-45 atas nama First Anugerah Karya Wisata di bank mandiri. Adapun jumlah calon jamaah yang mendaftar sejak bulan Januari 2015 sampai dengan Juni 2017 jumlahnya 93.295 (sembilan puluh tiga ribu dua ratus sembilan puluh lima orang) sehingga uang yang sudah disetorkan oleh para calon jamaah tersebut jumlahnya mencapai Rp. 1.319.535.402.852,- (satu trilyun tiga ratus sembilan belas milyar lima ratus tiga puluh lima juta empat ratus dua ribu delapan ratus lima puluh dua rupiah).Bahwa dari fakta-fakta hukum diatas dikaitkan dengar pengertian-pengertian unsur ke-2 ini sebagaimana telah diuraikan sebelumnya maka penulis berpendapat bahwa  para Terpidana telah menempatkan, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan harta kekayaan berupa uang setoran para calon jamaah umroh First Travel sebanyak Rp. 905.333.000.000,- (sembilan ratus lima milyar tiga ratus tiga puluh tiga juta rupiah) yang perolehannya asalnya adalah dari hasil tindak pidana penipuan yang dilakukannya bersama-sama sdri. SITI NURAIDA HASIBUAN alias KIKI dimana rincian penggunaan uang-uang tersebut sebagaimana telah diuraikan diatas dan maksud dari para Terpidana dan sdri. SITI NURAIDA HASIBUAN dengan menempatkan, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan uang sejumlah Rp. 905.333.000.000,- (sembilan ratus lima milyar tiga ratus tiga puluh) tiga juta rupiah tidak lain semata-mata untuk menyembunyikan ataupun menyamarkan asal usul uang tersebut seolah-olah uang-uang tersebut adalah diperoleh para Terpidana dan sdri. SITI NURAIDA HASIBUAN alias KIKI secara sah padahal senyatanya uang-uang tersebut adalah uang setoran para calon jamaah first travel yang akan digunakan untuk keberangkatan ibadah umrah para jamaah sendiri. Oleh karenanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut maka unsur ke-2 yakni unsurmenempatkan, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaantelah dapat dibuktikan secara sah menurut hukum.

c.     Perbuatan itu dilakukan terpidana sebagai orang yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan bahwa unsur ini dalam hukum pidana disebut dengan penyertaan (delneming) yaitu turut serta melakukan perbuatan yang dapat dihukum yang mensyaratkan sedikitnya dua orang atau lebih secara bersamasama mewujudkan anasir suatu tindak pidana, apakah sebagai orang yang melakukan sendiri, menyuruh melakukan atau turut melakukan peristiwa pidana, dan semuanya akan dipandang sebagai pelaku dari peristiwa pidana, bahwa untuk membuktikan unsur turut serta ini, dimana didalam unsur ke-1, dan ke-2 yang telah diuraikan sebelumnya dan hal tersebut telah cukup untuk membuktikan adanya suatu kerjasama antara para Terpidana dan SITI NURAIDA HASIBUAN alias KIKI dalam mewujudkan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh penuntut umum sehingga terwujudnya anasir tindak pidana dalam perkara ini sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP telah dapat dibuktikan, oleh karena itu penulis berpendapat unsur ke-3 ini juga telah dapat dibuktikan secara sah menurut hukum

d.    Unsur beberapa perbuatan yang saling berhubungan yang harus dipandang Sebagai perbuatan Berlanjut; Bahwa pada hakekatnya unsur ke-5 ini menurut ilmu pengetahuan hukum pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 64 KUHP yang berbunyibeberapa perbuatan berlanjutmenurut Memorie van Toelichting/ MvT mensyaratkan bahwa beberapa perbuatan tersebut harus tumbuh dari kehendak yang terlarang, rentang waktu perbuatan tersebut tidak terlalu lama dan perbuatan itu sama jenisny.

Demikian yang harus di buktikan dalam unsur ini di hubungkan dengan perkara ini adalah apakah benar perbuatan pidana tersebut dilakukan Para Terpidana dan SITI NURAIDA HASIBUAN alias KIKI dalam beberapa kali perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus di pandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Namun dari fakta-fakta hukum yang telah terungkap dipersidangan maka diketahui transaksi keuangan dari rekening resmi PT First Anugerah Karya Wisata yang menampung uang para calon jamaah telah disamarkan secara terus menerus oleh para Terpidana dan sdri. SITI NURAIDA HASIBUAN alias KIKI dari bulan Januari 2015 sampai dengan bulan Mei 2017. dan berdasarkan keterangan saksi-saksi dari pihak bank mandiri yang menyatakan bahwasanya setiap hari terjadi transaksi keuangan dari rekening PT First Anugerah Karya Wisata ke rekening an. Terpidana I , kemudian sering kali terjadi transaksi keuangan dari rekening PT First Anugerah Karya Wisata ke rekening pribadi Terpidana I yang kemudian dialihkan kembali ke rekening-rekening lainnya termasuk ke rekening Terpidana II. dan rekening SITI NURAIDA HASIBUAN alias KIKI dan juga ke rekening-rekening pihak lain yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan para calon jamaah umroh promo First Travel;

Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut diatas dihubungan dengan pengertian unsur ke-4 yang telah diuraikan sebelumnya maka benar perbuatan melawan hukum yang dilakukan Para Terpidana dan Sdri. SITI NURAIDA HASIBUAN alias KIKI dalam perkara aquo terjadi dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama dan sejenis yakni dalam kurun waktu bulan Januari 2015 sampai dengan bulan Mei 2017 dimana para Terpidana dan Sdri. SITI NURAIDA HASIBUAN alias KIKI telah menempatkan, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan harta kekayaan berupa uang setoran para calon jamaah umroh First Travel sebanyak Rp. 905.333.000.000,- (sembilan ratus lima milyar tiga ratus tiga puluh tiga juta rupiah) untuk kepentingan pribadi mereka dengan tujuan untuk menyembunyikan ataupun menyamarkan asal usul uang tersebut seolah-olah uang-uang tersebut adalah diperoleh para Terpidana dan sdri. SITI NURAIDA HASIBUAN alias KIKI secara sah; Maka berdasarkan uraian tersebut diatas maka para Terpidana telah memenuhiunsur Beberapa Perbuatan yang saling berhubungan yang harus dipandang Sebagai Perbuatan Berlanjuttelah dapat dibuktikan secara sah menurut hukum.

Kualifikasi perbuatan-perbuatan sebagaimana tersebut diatas disusun sedemikian rupa untuk menjelaskan secara menyeluruh yang menjadi alasan para pelaku terjerat tindak pidana pencucian uang, namun ada hal yang harus pula menjadi titik perhatian yaitu objek yaitu berupa harta kekayaan yang merupakan aset dari korban tindak pidana tersebut. pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tersebut sudah mampu menjerat perbuatan para pelaku tindak pidana pencucian uang, namun hal tersebut ternyata tidak memberikan jaminan bagi korban untuk kembali mendapatkan asetnya yang telah hilang tersebut akibat perbuatan pelaku. Adapun dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tersebut antara lain dinyatakan bahwa dalam konsep antipencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil tindak pidana tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak.

Eksekusi Putusan Pengadilan Terhadap Sita Jaminan Barang Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang FIRST TRAVEL (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No: 3096K/Pid.Sus/2018 Jo. 195/PID/2018/PT. BDG Jo. 83/Pid.B/2018/PN.Dpk) tujuan Undang-undang Pencegahan dan Pemberatasan Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut antara lain adalah penegakan hukum untuk menelusuri aset (harta kekayaan) dimana kemudian dikembalikan kepada yang berhak atau dirampas untuk negara. Namun ternyata substansi hukum dalam Undang-Undang tersebut belum menjangkau sampai dengan pengembalian aset kepada yang berhak atau dalam hal ini adalah korban tindak pidana. Pengembalian aset hasil tindak pidana sama sekali tidak diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tersebut, sehingga mengenai pengembalian hasil kejahatan berupa harta keyaaan tersebut jelas harus kembali kepada aturan pada KUHAP (Sulaksono & Novianto, 2019).  

Pengadilan Tingkat Pertama, bahwa didalam dakwaan jaksa penuntut umum, menuntut :

1.    Menyatakan para terdakwa telah melakukan tindak pidana “penipuan secara bersama-sama dan berlanjut.

2.    Mejatuhkan pidana terhadap para terdakwa dengan pidana masing masing selama 20 tahun dikurangi selama para terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah para terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar) subsidiair 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan kurungan.

3.    Menyatakan barang bukti No. 1-529 dikembalikan kepada para calon jamaah PT. First ANugerah Karya Wisata (Fisrt Travel) melalui pengurus peneglola asset korban Fisrt Travel berdasarkan akta pendirian perkumpulan pengurus pengelolaan first travel untuk dibagikan secara proposional dan merata.

4.    Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp. 5000, (lima ribu rupiah)

Didalam putusan pengadilan negeri depok No. 83/Pid.B/2018/PN.Dpk terkait dengan barang hasil tindak pidana kasus First Tarvel Majelis Hakim pengadilan negeri depok memutuskan bahwa sebagian besar aset yang disita dirampas untuk negara khususnya bukti no. 1-529 yang mayoritas adalah aset-aset milik paara Terpidana, yang tentu saja putusan pengadilan negeri depok tersebut menimbulkan kepanikan bagi para korban kasus First Tarvel mengingat dana yang disetorkan oleh para calon jamaah bukanlah uang yang bersumber dari hasil tindak pidana yang merugikan negara sebagai contoh tindak pidana korupsi dan narkotika, dan dalam kasus ini  berdasarkan fakta hukum dana yang disetorkan jelas milik pribadi para calon jamaah, maka sudah seharusnya dana yang telah disetorkan dapat dikembalikan kepada para calon jamaah meningat pihak yang dirugikan dalam kasus ini adalah para  calon jamaah yang hendak beribadah sesuai dengan perintah agama, dimana dalam ketentuan pasal 194 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa : (1) Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus diarampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan kembali. Selanjutnya sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 46 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwaapabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain” dan oleh karenanya berdasarkan pasal 46 ayat (2) KUHAP sesungguhnya hakim memliki wewenang untuk dapat memutuskan dan menetapkan bahwa aset-aset yang telah disita dan dijadikan barang bukti didalam persidangan tersebut dapat dikembalikan kepada para korban dan tidak sertamerta langsung dirampas untuk negara.

Pengadilan Tingkat Banding, Bahwa selanjutnya terhadap putusan pengadilan negeri depok tersebut, jaksa penuntut umum mengajukan banding yang pada pokoknya penuntut umum tidak sependapat dengan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok dalam hal penjatuhan pidana kurungan pengganti denda; dan  putusan lengkap mengenai status hukum barang bukti 1-529, berbeda dengan ucapan Majelis hakim tingkat pertama dalam sidang yang terbuka untuk umum dinyatakan dirampas untuk negara, sedangkan didalam putusan lengkap bukti 1-529 dibagi menjadi beberapa status hukum, dimana. Dimana dalam putusan pengadilan tinggi jawa barat (bandung) nomor : 195/PID/2018/PT. BDG, menguatkan putusan pengadilan negeri depok dengan pertimbangan bahwa terkait dengan memori banding Jaksa penuntut umum tentang barang bukti maka Majelis Hakim tingkat banding berpendapat bahwa Majelis Hakim tingkat pertama telah tepat dan benar mempertimbangkan barang bukti tersebut sesuaai dengan Pasal 39 Jo. Pasal 46 KUHAP.

Pengadilan Tingkat Kasasi, bahwa didalam Dakwaan penuntut umum pada putusan kasasi No. 3096 K/Pid. Sus/2018 merupakan bentuk kombinasi yakni kumulatif alternatif. Dakwaan kombinasi merupakan bentuk surat dakwaan yang didalamnya mengandung bentuk dakwaan kumulatif, yang masing-masing dapat terdiri pula dari dakwaan subsidair dan atau alternatif atau dapat juga antara bentuk subsidair dengan kumulatif (Kejaksaan Agung, 1985).  Dakwaan kumulatif merupakan dakwaan apabila Terpidana melakukan dua atau lebih tindak pidana. Dalam surat dakwaan ini beberapa tindak pidana masing-masing berdiri sendiri artinya tidak ada hubungan antara tindak pidana yang satu terhadap yang lain dan didakwakan secara serempak dan yang penting dalam hal ini bahwa subyek pelaku tindak pidana adalah  yang sama. Konsekuensi pembuktiannya adalah masing-masing dakwaan harus dibuktikan sedangkan yang tidak terbukti secara tegas harus dituntut bebas atau lepas dari tuntutan hukum. Sedangkan dakwaan alternatif merupakan beberapa perumusan tindak pidana tetapi pada hakekatnya yang merupakan tujuan utama ialah hanya ingin membuktikan satu tindak pidana saja diantara rangkaian tindak pidana yang didakwakan. Selanjutnya penuntut umum dalam tuntutan ketiganya menyatakan barang bukti no. 1-529 dikembalikan kepada para calon jamaah PT First Anugerah Karya Wisata (First Travel) melalui Pengurus Pengelola aset Korban First Travel berdasarkan akta Pendirian Perkumpulan Pengurus Pengelolaan Asset Korban First Travel Nomor 1 tanggal 16 April 2018 yang dibuat dihadapan Notaris Mafruchah Mustikawati, SH, M.Kn, untuk dibagikan secara proporsional dan merata. Tuntutan penuntut umum diatas merupakan hal yang tepat dikarenakan barang bukti no. 1-529 merupakan hasil dari uang nasabah yang telah dibayarkan tetapi tidak diberangkatkan oleh para Terpidana. Dengan kata lain barang-barang tersebut merupakan hak dari para jemaah. Hal ini juga sesuai dengan Surat Keputusan Mentri Agama Nomor 589 Tahun 2017 yang menyatakan agar uang jamaah harus dikembalikan seluruhnya atau diberangkatkan (Tobing, 2019)  dan tindak pidana yang telah dilakukan para Terpidana juga bukan merupakan tindak pidana korupsi. Tuntutan penuntut umum tersebut dirasa sudah tepat apabila melihat dari sudut pandang perlindungan konsumen. Jamaah yang merupakan konsumen dari jasa perjalanan umroh First Travel. Dikarenakan jemaah selaku konsumen sudah dirugikan dari promo-promo yang diberikan oleh First Travel. sudah selayaknya aset-aset tersebut merupakan hak dari para jemaah yang merupakan konsumen. Namun, dalam faktanya Majelis Hakim dalam putusan kasasi No. 3096 K/Pid. Sus/2018 mumutuskan menolak permohonan kasasi dari penuntut umum dan para Terpidana.

Berdasarkan surat keputusan menteri agama nomor 589 Tahun 2017 yang menyatakan agar uang jamaah harus dikembalikan seluruhnya atau diberangkatkan (Tobing, 2019).  Namun pada faktanya uang para calon jamaah tidak dikembalikan kepada para korban sehingga menimbulkan keresahan bagi para calon jamaah yang hendak menggunakan dana tersebut untuk beribadah sesuai dengan perintah agama.

Bahwa berdasarkan uraian tersbeut diatas penulis berpendapat bahwa dalam kasus FIRST TRAVEL sesuai konsep tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan dengan cara modern maka  sudah terbukti melewati tahap Placement, Layering dan Integration, dalam tahap Integration merupakan tahapan yang paling sulit dimana dalam tindak pidana pencucian adalah tahapan membedakan mana aset yang merupakan hasil kejahatan dan mana yang merupakan milik sendiri, dan dalam kasus FISRT TRAVEL jelas bahwa para Terpidana tidak memiliki usaha lain yang menjadi sumber keuangan para Terpidana selain FIRST TRAVEL, maka seharusnya sesuai dengan ketentuan dalam pasal 39 KUHP jo pasal 46 KUHAP  dimana ketentuan tersebut mengatur bahwa barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas dan dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang. Kemudian didalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP menyatakan :

“Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima Kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.”

Bahwa berdasarakan uraian-uraian tersebut diatas maka penulis berpendapat bahwa putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama, Tingkat Banding dan Kasasi bersifat Judex Factie, dimana seharusnya  berdasarkan bukti no.1 sampai dengan No. 529 tidak dirampas untuk negara melainkan dikembalikan kepada para calon jamaan umroh didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP yang kemudian dipertegas dalam Pasal 39 KUHP jo pasal 46 KUHAP, dimana seharusnya aset para Terpidana dirampas untuk dikembalikan kepada para korban bukan dirampas untuk diserahkan kepada negara meningat negara tidak mengalami kerugian sama sekali dikarenakan tindak pidana pencucian uang dalam kasus FIRST TRAVEL bersumber dana pribadi milik para korban dan bukanlah uang bersumber dari hasil tindak pidana korupsi maupun narkoba.

Bahwa sesuai dengan uraian diatas, dimana usaha FIRST TRAVEL yang dilakukan oleh para Terpidana merupakan bentuk tindak pidana pencucian uang, dikarenakan berdasarkan bukti-bukti dan penelusuran aset yang dilakukan oleh tim penyidik bareskrim yang telah memenuhi keketentuan dalam Pasal 16 KUHAP dimana barang- barang atau aset milik para Terpidana di sita sesuai dengan proses penyitaaan dalam sita pidana, dimulai dengan penelusuran aset, pembekuan aset sampai dengan penyitaan aset milik para Terpidana. Dimana hal ini dilakukan untuk memudahkan proses penyidikan.

Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas maka para calon jamaah dalam kasus FIRST TRAVEL harus melakukan upaya hukum lain, meskipun saat ini proses eksekusi pelaksanaan putusan kasasi No: 3096K/Pid.Sus/2018 yang telah berkekuatan hukum tetap belum dilakukan, dan sampai dengan saat ini berdasarkan informasi terkahir Kejaksaan Agung saat ini menunda pelaksanaan lelang aset milik FIRST TRAVEL, dan Kejaksaan Agung masih dalam proses melakukan kajian untuk mendapatkan opsi yang tepat agar aset dapat dikembalikan kepada para korban. Selain itu Jaksa Penunutut Umum juga telah melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) guna mendapatkan keadilan sebagaimana fakat dipersidangan barang-barang bukti tersebut merupakan hasil kejahatan para Terpidana yang diperoleh dari para korban calon jamaah umrah.

 

Kesimpulan

First travel dikulifikasikan telah melakukan penipuan, penggelapan  dan tindak pidana pencucian uang sesuai dengan ketentuan KUHAP dan  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang, Kualifikasi perbuatan-perbuatan yang disusun sedemikian rupa dalam penulisan ini guna menjelaskan secara menyeluruh yang menjadi alasan para pelaku terjerat tindak pidana pencucian uang, namun ada hal yang harus pula menjadi titik perhatian yaitu objek yaitu berupa harta kekayaan yang merupakan aset dari korban tindak pidana tersebut. pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tersebut sudah mampu menjerat perbuatan para pelaku tindak pidana pencucian uang, namun hal tersebut ternyata tidak memberikan jaminan bagi korban untuk kembali mendapatkan asetnya yang telah hilang tersebut akibat perbuatan pelaku. Adapun dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tersebut antara lain dinyatakan bahwa dalam konsep anti pencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil tindak pidana tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak.

Sita jaminan barang hasil Tindak Pidana Pencucian Uang FIRST TRAVEL penulis berpendapat kasus FIRST TRAVEL telah sesuai konsep tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan dengan cara modern maka  sudah terbukti melewati tahap Placement, Layering dan Integration, dalam tahap Integration merupakan tahapan yang paling sulit dimana dalam tindak pidana pencucian adalah tahapan membedakan mana aset yang merupakan hasil kejahatan dan mana yang merupakan milik sendiri dan oleh karenanya penulis berpendapat bahwa putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama, Tingkat Banding dan Kasasi bersifat Judex Factie, dimana seharusnya bukti no.1 sampai dengan No. 529 tidak dirampas untuk negara melainkan dikembalikan kepada para calon jamaan umroh didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP yang kemudian dipertegas dalam Pasal 39 KUHP jo pasal 46 KUHAP, meningat negara tidak mengalami kerugian sama sekali dikarenakan tindak pidana pencucian uang dalam kasus FIRST TRAVEL bersumber dana pribadi milik para korban dan bukanlah uang bersumber dari hasil tindak pidana korupsi maupun narkoba.

 

Bibliografi

Achyar, A. (2018). Kedudukan Tindak Pidana Asal (Predicate Crime) Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Perpektif Pembaharuan Hukum Pidana. Universitas Pasundan. Google Scholar

Arrasjid, C. (2008). Dasar-dasar Ilmu hukum. Google Scholar

Denniagi, E. (2021). Analisis Ke-Ekonomian Pemidanaan Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Lex Renaissance, 6(2), 246–264. Google Scholar

Eleanora, F. N. (2021). Tindak Pidana Pencucian Uang. Jurnal Hukum, 26(2), 640–653. Google Scholar

Ganarsih, Y. (2003). Kriminalisasi Pencucian Uang (Money laundering), cet. 1. Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Google Scholar

Harahap, M. Y. (2017). Hukum acara perdata: tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan pengadilan. Sinar Grafika. Google Scholar

Kejaksaan Agung, R. I. (1985). Pedoman Pembuatan Surat Dakwaan. Jakarta, Kejakgung RI. Google Scholar

Perbawa, I. K. S. L. P. (2015). Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Sistem Perbankan Indonesia. Jurnal Advokasi, 5(1). Google Scholar

Pidana, K. U.-U. H. (1976). Wetboek van Straftrecht. Diterjemahkan Oleh Moeljatno. Jakarta: Pradnya Paramita. Google Scholar

PN Depok. (2018). Putusan PN DEPOK Nomor 83/Pid.B/2018/PN.Dpk Tanggal 30 Mei 2018 — ANDIKA SURACHMAN ; ANNIESA DESVITASARI HASIBUAN. https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/a19089ae61a718edb8cc2afde8b174b2.html

Soekanto, S. (2010). Pengantar Penelitian Hukum (edisi revisi). Jakarta: UI Press. Google Scholar

Sulaksono, S., & Novianto, W. T. (2019). Perlindungan Hukum Dalam Pemulihan Aset Bagi Korban Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Tercampur Dengan Aset PelakU. Jurnal Hukum Dan Pembangunan Ekonomi, 7(1), 107–119. Google Scholar

Sutedi, A., & Perbankan, H. (2010). Suatu Tinjauan Pencucian Uang. Merger, Likuidasi, Dan Kepailitan, Cetakan Ketiga, Jakarta, Sinar Grafika. Google Scholar

Tobing, S. (2019). Putusan MA yang Kontroversial dan Rugikan Jemaah Umrah First Travel. https://katadata.co.id/sortatobing/berita/5e9a4c55d5a3f/putusan-ma-yang-kontroversial-dan-rugikan-jemaah-umrah-first-travel

Yulita, R. (2019). Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Sita Jaminan Terhadap Barang Milik Tergugat Dalam Suatu Perkara Perdata (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Kelas Ia Bengkulu). Jurnal Panji Keadilan: Jurnal Ilmiah Nasional Mahasiswa Hukum, 2(1), 80–91. Google Scholar

 

 


Copyright holder :

Edward Fernando Siregar, Helvis, Markoni `(2021).

 

 

First publication right :

Jurnal Syntax Transformation

 

This article is licensed under: