Jurnal Syntax Transformation

Vol. 3, No. 2, Februari 2022

p-ISSN : 2721-3854 e-ISSN : 2721-2769

Sosial Sains

 

TINDAKAN KOLEKTIF ANIMAL WELFARE ORGANIZATIONS (AWOS) UNTUK MENGAKHIRI PERDAGANGAN DAGING ANJING DI PASAR TOMOHON DARI PERSPEKTIF NEW INSTITUTIONALISM IN ECONOMIC SOCIOLOGY (NIES)

 

Brigitha Prizelia Nanga, Nadia Yovani

Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat, Indonesia

Email:  brigitha.prizelia@ui.ac.id, nadia.yovani@gmail.com

 

INFO ARTIKEL

ABSTRAK

Diterima

2 Februari  2021

Direvisi

10 Februari  2021

Disetujui

18 Februari  2022

Daging anjing merupakan salah satu komoditas yang diperdagangkan di Pasar Tomohon. Perdagangan daging anjing yang telah bertahun-tahun berlangsung di sana kemudian memperoleh ketidaksetujuan dari organisasi-organisasi kesejahteraan hewan (AWO) yang melakukan tindakan kolektif di level kebijakan dengan kepentingan untuk mengakhiri kegiatan tersebut. Artikel ini bertujuan untuk memaparkan 2 hal. Pertama, konteks masyarakat Minahasa di mana perdagangan daging anjing berkembang beserta mata rantainya. Kedua, proses dan hasil tindakan kolektif AWOs di level kebijakan sebagai respon terhadap perdagangan daging anjing. Pembahasan ini menggunakan pendekatan NIES (New Institutionalism In Economic Sociology) dari Victor Nee. Sedangkan jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan strategi studi kasus. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tindakan kolektif AWOs yang didukung oleh mekanisme pemantauan informal merupakan bentuk respon sekaligus dukungan terhadap struktur makro kesejahteraan hewan. Upaya ini dihambat sekaligus difasilitasi oleh elemen-elemen institusional yang berbeda-beda sehingga AWOs belum berhasil merealisasikan kepentingannya tetapi telah mendorong kebijakan alternatif yang mengacu pada peraturan rabies yang ditargetkan untuk memperlemah titik-titik dalam mata rantai perdagangan daging anjing.

 

ABSTRACT

Dog meat is one of the commodities traded in the Tomohon Market. The dog meat trade that had been going on for years there was then met with disapproval from animal welfare organizations (AWO), who took collective action at the policy level with interest in ending the activity. This article aims to explain two things. First, the context of the Minahasa community where the dog meat trade developed and its links. Second, the process and results of the collective action of AWOs at the policy level in response to the dog meat trade. This discussion uses the NIES (New Institutionalism In Economic Sociology) approach from Victor Nee. At the same time, this type of research is qualitative research with a case study strategy. Based on the study results, it can be concluded that the collective action of AWOs supported by informal monitoring mechanisms is a form of response and support for the macrostructure of animal welfare. This effort was hampered and facilitated by different institutional elements. AWOs have not succeeded in realizing their interests but have pushed for alternative policies that refer to rabies regulations targeted at weakening points in the dog meat trade chain.

Kata Kunci:

Perdagangan Daging Anjing; Pasar Ekstrem Tomohon; Animal Welfare Organizations; Tindakan Kolektif; New Institutionalism In Economic Sociology (NIES); Institusi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keywords:

Dog Meat Trade; Tomohon Extreme Market; Animal Welfare Organizations; Collective Action; New Institutionalism In Economic Sociology (NIES); Institutions

 


Pendahuluan

Pasar Tomohon atau yang lebih dikenal dengan julukannya sebagai Extreme Market Tomohon adalah salah satu pasar yang memperjual-belikan daging anjing selama bertahun-tahun di Provinsi Sulawesi Utara. Provinsi Sulawesi Utara sendiri merupakan daerah dengan penduduk Suku Minahasa terbanyak di Indonesia. 1.019.314 dari total 1.237.177 penduduk Suku Minahasa berada di wilayah ini (BPS, 2021). Komunitas Minahasa terkenal memiliki asosiasi dengan daging anjing, seperti beberapa komunitas suku Batak di Sumatera Utara (Eijkelkamp, 2015).

Pada tahun 2018, kumpulan organisasi kesejahteraan hewan yang tergabung dalam koalisi DMFI (Dog Meat Free Indonesia) dan AFA (Animal Friends Asia), atau yang akan disingkat sebagai AWOs (Animal Welafre Organizations), berupaya untuk mengakhiri perdagangan daging anjing Pasar Tomohon. Salah satu strategi yang dilakukan adalah tindakan kolektif melobi Pemerintah Kota (Pemkot) Tomohon yang dimulai pada tahun 2018. Rangkaian pertemuan antara AWOs dengan Pemkot Tomohon pun menghasilkan kebijakan pembatasan perdagangan daging anjing Pasar Tomohon pada tahun 2019. Artikel ini fokus membahas tindakan kolektif AWOs melobi Pemerintah Kota Tomohon untuk mengakhiri perdagangan daging anjing di Pasar Tomohon hingga dihasilkannya kebijakan pembatasan.

Artikel ini memiliki 2 poin pembahasan. Poin pertama berbicara tentang kebiasaan menjadikan anjing sebagai sumber pangan dalam komunitas Minahasa yang melakarbelakangi perkembangan perdagangan daging anjing serta mata rantai kegiatan ekonomi tersebut. Sedangkan poin kedua berbicara tentang proses tindakan kolektif AWOs di level kebijakan sebagai respon terhadap perdagangan daging anjing termasuk di dalamnya berbicara tentang kepentingan, isu, hambatan dan hasil.

Penelitian tentang topik upaya AWOs dalam mengakhiri perdagangan daging anjing di Indonesia atau singkatnya upaya oposisi tentunya sudah pernah dilakukan sebelumnya seperti penelitian dari (Eijkelkamp, 2015) di Yogyakarta, (Resolute, 2016) di Jakarta, (Dewi & Parameswari, 2019) di Bali. Hanya saja, penelitian terdahulu belum menunjukkan seperti apa upaya AWOs yang berlangsung di daerah-daerah yang memiliki asosiasi dengan praktik konsumsi daging anjing seperti di komunitas Batak tertentu atau Minahasa. Padahal hal ini dapat menunjukkan proses dan juga hasil upaya oposisi perdagangan daging anjing yang berbeda dibanding daerah yang tidak melekat dengan praktik konsumsi daging anjing.

Literatur sebelumnya juga belum menunjukkan seperti apa upaya oposisi daging anjing di level kebijakan. Padahal di Indonesia beberapa tahun belakangan ini terlihat adanya tren di kalangan pemerintah daerah yang satu per satu mengambil kebijakan pelarangan atau penertiban terhadap perdagangan daging anjing (Jaya, 2018); (Veteriner, 2021); (Permana, 2021); (Handayani, 2021). Penelitian di level kebijakan perlu dilakukan karena dapat menunjukkan bagaimana daerah-daerah yang sebelumnya tidak begitu menaruh perhatian terhadap perdagangan ataupun konsumsi daging anjing yang berjalan tanpa pengawasan kemudian membuat kebijakan pelarangan, penertiban ataupun pengawasan karena dorongan dari AWOs. Artikel ini merupakan bagian dari upaya untuk melengkapi pembahasan literatur sebelumnya karena menunjukkan seperti apa upaya AWOs di level kebijakan untuk mengakhiri perdagangan daging anjing di daerah yang memiliki asosiasi dengan daging hewan tersebut.

Penelitian ini menggunakan pendekatan NIES (New Institutionalism In Economic Sociology) dari Victor Nee. Dalam sosiologi, kajian tindakan kolektif identik dengan perspektif gerakan sosial. Padahal perspektif lain seperti sosiologi ekonomi khususnya NIES dari Nee juga turut menggunakan konsep ini.


Gambar 1. Model NIES

Sumber: (Nee, 2005)

 

Model NIES terdiri dari 3 level analisis yaitu mikro (social groups/ individual), meso (production market/ organizational field) dan makro (institutional environment) dengan 4 proses yang menunjukkan interaksi antar level yaitu (1) market mechanism dan state regulation, (2) monitoring dan enforcement, (3) compliance dan deoupling, serta (4) collective action (lihat gambar 1). Tindakan kolektif merupakan salah satu elemen dalam model NIES yang dipahami sebagai  upaya lobi bersama dari beberapa organisasi baik itu profit maupun non-profit untuk mendorong perubahan aturan formal dalam rangka merealisasikan kepentingannya. Konsep ini terhubung dengan 3 proses lain serta beberapa konsep seperti aktor rasional, institusi formal (peraturan pemerintah, UU dan sebagainya) dan informal (norma, konvensi, kebiasaan dan sebagainya) beserta mekanisme-mekanismenya (institutional mechanism, informal mechanisms of monitoring) (Nee, 2005).

Arah analisis model NIES sebetulnya dari atas (level makro) ke bawah (level mikro) yang kemudian berproses kembali ke atas. Penelitian ini tidak sampai menunjukkan siklus perputaran seperti itu, tetapi menunjukkan bahwa arah analisis NIES dapat dimulai dari bawah ke atas yaitu compliance (sikap kesesuaian dengan institusi formal) dari level mikro ke meso yang berkembang ke tindakan kolektif dari level meso ke makro. Dengan pandangan bahwa tindakan kolektif bisa jadi muncul karena ketidakhadirannya pelaksanaan institusi formal. Arah analisis ini dapat menunjukkan awal hingga hasil tindakan kolektif AWOs. Sesuai dengan konteks penelitian ini, tindakan kolektif dilihat berada dalam konteks perdagangan daging anjing serta tidak terlepas dengan konteks institusional yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi tersebut.

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian sosiologi dalam 2 hal. Pertama, penelitian ini memperlihatkan bahwa tindakan kolektif juga dapat dijelaskan dengan perspektif sosiologi ekonomi yang di sini secara spesifik menggunakan NIES dari Nee. Dengan pendekatan NIES, penelitian ini menunjukkan bahwa tindakan kolektif merupakan suatu proses yang terkait sekaligus sebagai tanggapan atas kegiatan ekonomi yang berlangsung. Tindakan kolektif juga tidak berdiri sendiri tetapi menyangkut proses dan aktor yang berbeda-beda dalam kerangka institusional yang luas. Kedua, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian tentang penerapan NIES sebagai pisau analisis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa arah analisis NIES untuk tindakan kolektif dapat diterapkan dari bawah ke atas (bottom-up). Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat bermanfaat kemudian bagi para aktor terkait perdagangan daging anjing seperti Pemerintah Kota Tomohon, organisasi kesejahteraan hewan, dan masyarakat.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan strategi studi kasus. Kasus yang juga merupakan unit analisis yang dipelajari dapat berupa peristiwa, tindakan, program, aktivitas, individu ataupun sekelompok individu (Yin, 2009); (Creswell, 2010). Kasus penelitian ini adalah tindakan kolektif dari kumpulan organisasi kesejahteraan hewan (AWOs).  Peneliti menggunakan lebih dari satu sumber data untuk memperoleh berbagai informasi tentang kasus yang diangkat yaitu observasi, bahan audiovisual, wawancara dan dokumentasi. Berbagai data yang diperoleh kemudian saling diperbandingkan sebagai strategi validasi data.

Proses analisis data dalam penelitian ini mengacu pada (Creswell, 2010) dengan langkah-langkah sebagai berikut: peneliti mengorganisir dan menyiapkan data untuk dianalisis, membaca keseluruhan data, melalui proses pengkodean yang dibantu oleh ATLAS.ti. Proses pengkodean menghasilkan kategori atau tema sebagai temuan utama yang kemudian diintepretasi oleh peneliti. Proses analisis data tersebut tidaklah diaplikasikan secara linier.



Hasil dan Pembahasan

 

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2. Tindakan Kolektif AWOs dalam Konteks Institusional Perdagangan Daging Anjing mengacu pada model NIES

Sumber: telah diolah kembali dari Nee (2005)

 

 


A.     Kebiasaan Menjadikan Anjing sebagai Sumber Pangan dan Perkembangan Perdagangan Daging Anjing di Pasar Tomohon

Pembahasan seterusnya akan mengacu pada gambar 2. Level mikro dalam model NIES ditempati oleh social groups/individual. Dalam konteks penelitian ini, level mikro ditempati oleh 2 golongan masyarakat yaitu kelompok yang berasosiasi dengan praktik menjadikan anjing sebagai sumber pangan dan kelompok pegiat/pemerhati kesejahteraan hewan atau di sini disebut sebagai AWOs dengan para pendukungnya. Bagian pembahasan ini akan menunjukkan sisi golongan masyarakat yang pertama untuk memberikan penjelasan tentang landasan perdagangan daging anjing yang berlangsung di Pasar Tomohon.

Praktik menjadikan anjing sebagai sumber pangan terjadi setelah masa perang Jepang dan semakin berkembang di kalangan orang Minahasa setelah masa perang Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) pada tahun 1958. Praktik makan olahan daging anjing yang terkenal dengan istilah RW (Rintek Wuuk) kemudian menjadi institusi informal berupa kebiasaan dalam masyarakat Minahasa. Kebiasaan makan ini terlihat dari tersedianya menu RW di pesta-pesta, acara-acara atau kegiatan sosial tertentu, hingga di rumah-rumah makan.

Praktik menjadikan anjing sebagai sumber pangan tidak berkembang menjadi informal rule berupa norma. Norma merupakan bentuk spesifik dari institusi informal yang mengandung aturan tentang perilaku yang diharapkan yang bisa jadi tidak secara eksplisit dinyatakan (Nee, 1998). Berbeda dengan kebiasaan, norma adalah standar perilaku yang dilengkapi dengan rewards dan punishments (Nee, 2005). Di komunitas Minahasa, tidak ada keharusan untuk makan ataupun menyediakan masakan daging anjing di acara, pesta, ataupun kegiatan sosial tertentu. Tidak ada rewards ataupun punishments untuk mengonsumsi/tidak mengonsumsi ataupun menyediakan/tidak menyediakan daging anjing.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tomohon tahun 2020 menunjukkan bahwa agama Protestan dan Katolik merupakan dua agama dengan penganut terbanyak di Kota Tomohon dengan presentasi 73% dan 23% dari total 100.587 penduduk. Ketiadaan norma agama Kristen (Protestan dan Katolik) yang berlawanan dengan praktik menjadikan anjing sebagai sumber pangan memungkinkan praktik tersebut berkembang, dilakukan secara terbuka dan bersama-sama seperti di kegiatan-kegiatan sosial. Pemandangan warga yang mengonsumsi menu berbahan dasar daging anjing bersama-sama saat kegiatan tertentu seperti pesta tentu tidak ditemukan di daerah lain yang tidak memiliki asosiasi dengan daging tersebut atau bahkan memiliki norma yang berlawanan dengannya.

Mengacu pada NIES, ketiadaan larangan ini membuat agama tidak tampil sebagai norma yang dapat menghambat, mencegah ataupun menantang praktik konsumsi yang sebenarnya tidak hanya berlaku untuk anjing tetapi juga hewan hutan. Dengan kata lain agama tidak menjadi institusi informal tandingan bagi perkembangan praktik makan daging anjing. Meskipun tidak ada larangan menjadikan anjing sebagai sumber pangan, salah satu informan yang merupakan tokoh agama menyampaikan bahwa agama Kristen sebetulnya memiliki ruang untuk membatasi praktik ini dari segi kesehatan. Misalnya dengan memberikan himbauan hidup sehat dengan menghindari makanan berbahan dasar daging anjing yang dapat menimbulkan resiko kesehatan tertentu.

Hal ini tentu tidak berarti bahwa konsumsi daging anjing hanya dilakukan orang beragama Kristen. Hasil penelitian dari dari (Eijkelkamp, 2015) di Yogyakarta menunjukkan bahwa orang beragama Islam juga terlibat dalam konsumsi daging anjing meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding yang beragam Kristen. Selain itu, konsumen yang beragama Islam melakukan hal itu secara diam-diam karena mempertimbangkan akan adanya potensi munculnya sikap ketidaksetujuan dari lingkungan sosialnya.

Perkembangan institusi informal berupa kebiasaan menjadikan anjing sebagai sumber pangan kemudian menyediakan peluang ekonomi bagi pedagang di pasar-pasar di Sulawesi Utara, termasuk di Kota Tomohon. Informan A, seorang budayawan Minahasa, menyebutkan bahwa perdagangan daging anjing di pasar berkembang sejak tahun 1970-an. Untuk itulah ada pedagang yang telah menjual daging anjing selama 40 tahun. (Wolajan, 2018) dalam artikelnya juga menyampaikan bahwa ada pedagang daging anjing Pasar Tomohon yang sudah berjualan selama 30 tahun atau sejak tahun 1990. Hal itu menunjukkan bahwa perdagangan daging anjing khususnya di Pasar Tomohon bukanlah kegiatan yang baru-baru ini terjadi. Kegiatan ini sudah berlangsung lama untuk menyokong kegiatan konsumsi daging anjing di masyarakat. Sehingga, seperti halnya dengan konsumsi daging anjing yang dianggap wajar atau biasa, demikian pula dengan penjualan daging anjing di Pasar Tomohon.

Penjualan daging anjing yang ditekuni pedagang dalam waktu yang panjang sudah tentu tidak dapat terlepas dari adanya keuntungan ekonomi. Sebagaimana yang disampaikan (Nee, 2005) bahwa aktor dimotivasi oleh kepentingan. Dari sudut pandang pedagang, daging anjing merupakan komoditas yang layak dijual karena mendatangkan keuntungan ekonomi. Untuk itu, para pedagang bertahan menjual jenis daging tersebut selama bertahun-tahun atau bahkan berpuluh tahun. Seperti hasil temuan (Sasadara et al., 2018) di Bali yang menunjukkan bahwa alasan finansial karena kemudahan memperoleh konsumen merupakan alasan utama dari para pedagang untuk menjual daging anjing.

Sebagai gambaran kasar tentang arus ekonomi dari perdagangan daging anjing di Kota Tomohon dapat dilihat dari hasil investigasi oleh AFMI (Animal Friends Manado Indonesia) pada tahun 2018 yang menunjukkan bahwa penjualan daging anjing per minggu dapat mencapai 1-1,2 ton. Jika 1-1,2 ton dikalikan dengan harga per kilogram daging anjing yang dijual di pasar sebesar Rp. 35.000, maka perkiraan total pendapatan kotor dari seluruh pedagang yang menjual daging anjing di Kota Tomohon adalah sebesar Rp 35.000.000 - Rp. 42.000.000 per minggunya. Jumlah tersebut tentu bukanlah jumlah pasti. Mengingat penjualan daging anjing dipengaruhi oleh berbagai faktor. 

Perdagangan daging anjing di Pasar Tomohon tidaklah berdiri sendiri tetapi ditopang oleh aktor ekonomi lainnya yang terlibat dalam mata rantai kegiatan ini seperti supplier, pedagang pasar, konsumen dan pedagang rumah makan (lihat gambar 3). Pemasok daging anjing dapat berasal dari dalam dan luar Provinsi Sulawesi Utara. Meskipun begitu, realita perdagangan daging anjing di Kota Tomohon sama halnya dengan yang terjadi di Yogyakarta, Solo dan Jakarta yang mendorong pergerakan hewan ini antar daerah (Eijkelkamp, 2015); (DMFI, 2019). Sebagian besar stok didatangkan dari luar daerah seperi Gorontalo, Kendari, Palu, Mamuju, Makasar, dan Kalimantan. Hal itu disebabkan oleh stok anjing di dalam daerah sudah menipis.

Pedagang daging anjing di Pasar Tomohon menyediakan anjing dalam 2 kondisi yaitu hidup dan mati (dalam keadaan telah dibakar/telah dipotong-potong menjadi beberapa bagian). Anjing dalam keadaan hidup biasanya akan dicari oleh konsumen yang ingin mengadakan acara atau pesta. Sedangkan daging anjing per kilogram disediakan untuk konsumen yang membeli untuk konsumsi pribadi dan juga pengelola/pedagang rumah makan yang tidak memerlukan daging anjing dalam jumlah besar.

Berkaitan dengan lingkungan yang lebih luas, konsumen ataupun pedagang warung makan sebetulnya tidak hanya memperoleh stok daging anjing dari para pedagang Pasar Tomohon. Dalam masyarakat, ada warga yang langsung menjual anjing peliharaannya ke pedagang warung makan atau ke sesama warga lainnya yang sedang membutuhkan daging anjing. Ada pula warga yang memelihara anjing untuk dikonsumsi. Sehingga bisa jadi, bagi beberapa konsumen keberadaan stok anjing di pasar tidaklah penting. Seperti informan C yang menyampaikan bahwa dirinya lebih memilih untuk mengonsumsi daging anjing yang dipeliharanya sendiri karena lebih terjamin dari sisi higienitas dibanding membeli di pasar.


 


Gambar 3. Mata Rantai Perdagangan Daging Anjing

Sumber: diolah oleh peneliti (2022)



B.      Tindakan Kolektif AWOs di Level Kebijakan untuk Mengakhiri Perdagangan Daging Anjing di Pasar Tomohon

Pembahasan ini berangkat dari golongan masyarakat lainnya di level mikro yaitu kalangan pegiat kesejahteraan hewan atau AWOs. Dalam konteks mata rantai perdagangan daging anjing Pasar Tomohon, AWOs merupakan aktor eksternal yang tidak terlibat maupun memperoleh dampak secara langsung dari jaringan kegiatan ekonomi tersebut. Namun, aktor ini berkepentingan untuk mengakhiri perdagangan daging anjing di Pasar Tomohon berdasarkan pada isu kesejahteraan hewan. Kepentingan yang sama dalam bidang kesejahteraan hewan di perdagangan daging anjing inilah yang membentuk kerjasama antar organisasi pada tahun 2017. Sebagai catatan tambahan, AWOs sebetulnya membawa beberapa isu, tetapi penelitian ini fokus pada isu kesejahteraan hewan sebagai isu utama.

Pasar Tomohon bukanlah satu-satunya sasaran investigasi AWOs. AWOs juga menyasar pasar-pasar tradisional lainnya di Provinsi Sulawesi Utara yang menjual jenis daging anjing. Namun dari sekian banyak pasar-pasar tradisional lainnya, Pasar Tomohon yang paling terkenal dengan julukannya sebagai Extreme Market Tomohon hingga mancanegara karena sering dijadikan tujuan wisata oleh para wisatawan dari dalam maupun luar negeri.

Program yang mengawali kerjasama antara AWOs untuk merealisasikan kepentingan kolektif adalah investigasi perdagangan daging anjing di Pasar Tomohon (juga Pasar Langowan) yang disertai oleh kegiatan dokumentasi dalam bentuk video dan foto/gambar pada tahun 2017. Dalam model NIES, investigasi ke perdagangan yang terkait dengan hewan ini merupakan bentuk compliance terhadap regulasi kesejahteraan hewan karena menunjukkan bahwa AWOs mengambil peran dalam menjalankan penyelenggaraan kesejahteraan hewan di masyarakat. Sesuai yang tertera dalam pasal 67 UU No 18 Tahun 2009, penyelenggaraan kesejahteraan hewan tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah tetapi juga masyarakat.

AWOs sebagai bagian dalam masyarakat ikut serta dalam penyelenggaraan hewan dalam bentuk yang spesifik yaitu investigasi. Investigasi lebih merupakan bentuk penyelenggaraan kesejahteraan hewan secara tidak langsung. Hasil investigasi dapat menunjukkan apakah aktivitas ekonomi yang terkait dengan hewan yang berlangsung di masyarakat sudah sesuai dengan standar kesejahteraan hewan yang telah diinstitusionalkan negara atau tidak. Investigasi yang didokumentasi oleh AWOs juga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah pusat ataupun daerah tentang realita isu kesejahteraan hewan di masyarakat. Maksud dari semuanya itu tidak lain untuk memperkuat apa yang disebut (Nee, 2005) sebagai institutional mechanisms yang dalam kasus ini berkaitan dengan kesejahteraan hewan.

Institutional mechanisms adalah proses monitoring dan penegakkan formal rules dari negara terhadap organisasi di level meso maupun individu/kelompok sosial yang berada di level mikro (Nee, 2005). Di level makro, Indonesia sebenarnya sudah memiliki regulasi yang mengatur penyelenggaraan kesejahteraan hewan. Regulasi yang dimaksud antara lain Undang-Undang (UU) No. 18/2009 tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan Juncto Undang-Undang No. 41/2014, Peraturan Pemerintah (PP) No. 95/2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebagaimana yang disampaikan (Nee, 2005), hukum menetapkan parameter tindakan mana saja yang dianggap legitimate karena berisikan pernyataan tentang perilaku yang diharapkan yang didukung oleh kekuatan negara. Regulasi yang telah disebutkan sebelumnya diadakan untuk dapat memberikan perlindungan terhadap hewan dengan adanya penetapan pedoman dan ketentuan yang menjadi standar perilaku manusia yang dianggap legitimate.

Sikap compliance AWOs tidak terlepas dari keberadaan regulasi baik itu secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan kesejahteraan hewan serta potensi institutional mechanism yang hanya dimiliki oleh level institutional enviroment. Compliance terhadap regulasi terjadi karena AWOs memiliki kepentingan atas kesejahteraan hewan. AWOs memiliki komitmen untuk mengakhiri perdagangan daging anjing di Indonesia berdasarkan atas isu tersebut. Bagi AWOs, keberadaan regulasi tentang kesejahteraan hewan ataupun regulasi lainnya yang berkaitan dengan isu tersebut di level makro dapat menghasilkan institutional mechanism yang dapat meningkatkan kualitas kesejahteraan hewan. Dengan investigasi, AWOs melakukan pemeriksaaan di lapangan yang hasilnya kemudian dapat mendorong ataupun memperkuat bekerjanya institutional mechanism khususnya pada aktivitas ekonomi tertentu yang dianggap berkaitan dengan formal standards penyelenggaraan kesejahteraan hewan.

Berdasarkan investigasi terhadap perdagangan daging anjing di Pasar Tomohon yang telah dilakukan pada tahun 2017, AWOs menemukan adanya kelemahan dari sisi institutional mechanism terhadap isu kesejahteraan hewan. Hasil investigasi ini kemudian membentuk kepentingan kolektif AWOs untuk melakukan tindakan bersama melobi Pemkot Tomohon. Tindakan kolektif tersebut didasarkan atas keinginan untuk mengakhiri perdagangan daging anjing yang dipandang memuat isu kesejahteraan hewan. Realisasi kepentingan tersebut dapat terjadi bila AWOs berhasil mendorong formal mechanism dari Pemkot Tomohon terhadap pedagang daging anjing di Pasar Tomohon. Sesuai bagan NIES, pada tahap ini proses lobi dari level meso ke makro terjadi.

Proses lobi antara AWOs dengan Pemkot Tomohon hingga pengambilan kebijakan pembatasan perdagangan daging anjing berlangsung selama 2 tahun yaitu dari tahun 2018 hingga 2019. Pada pertemuan pertama dan juga pertemuan-pertemuan selanjutnya, masalah kesejahteraan hewan akibat dari ketiadaan institutional mechanism di Pasar Tomohon menjadi perbincangan utama antara AWOs dengan Pemkot Tomohon. AWOs membawa hasil dokumentasi di lapangan kepada Pemkot Tomohon sebagai data. Namun sebagaimana hasil penelitian lain yang mengangkat kasus di Korea Selatan maupun Indonesia, upaya oposisi perdagangan daging anjing tidak hanya membawa isu tunggal (Oh, M., 2011); (Eijkelkamp, 2015); (Resolute, 2016); (Rhodin, 2018); (Dewi & Parameswari, 2019)

Dalam lobi dengan Pemkot Tomohon, AWOs tidak hanya membawa isu kesejahteraan hewan tetapi juga kesehatan masyarakat. Sama halnya dengan isu pertama, isu kedua disertai oleh data-data penunjang. Isu kesehatan masyarakat yang diangkat menyangkut beberapa hal seperti resiko penyebaran rabies dan penyakit lainnya dari perdagangan daging anjing serta dampak kesehatan publik dari konsumsi daging anjing yang tidak terjamin higienitasnya.

Isu kesehatan masyarakat dapat dilihat sebagai poin yang memperkuat posisi AWOs dalam lobi untuk mendorong institutional mechanism yang dapat mengakhiri perdagangan daging anjing di Pasar Tomohon. Dalam kaitannya dengan level makro, keterlibatan isu lain ini menopang realisasi kepentingan AWOs karena menambah perangkat elemen institusi formal yang dapat dijadikan alternatif untuk melakukan institusional mechanism atas perdagangan daging anjing. Dengan kata lain, menangani persoalan perdagangan daging anjing tidak hanya bergantung pada perangkat regulasi kesejahteraan hewan saja.

AWOs yang secara spesifik dalam penelitian ini mengacu pada beberapa organisasi dari koalisi DMFI dan AFA tidaklah berjuang sendiri dalam proses merealisasikan kepentingannya. Upaya AWOs juga didukung oleh mekanisme pemantauan informal dari norma kesejahteraan hewan.

Nee dan Ingram (1998) mendefinisikan pemantauan informal sebagai mekanisme pemberian reward (social approval) dan punishment (social disapproval) kepada yang mentaati dan melanggar norma. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, di level mikro terdapat berbagai jenis kelompok sosial. Di masyarakat terdapat komunitas yang menaruh perhatian terhadap perlindungan hewan dan menganut standard perilaku tertentu terhadap hewan yang sesuai dengan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan seperti yang tertuang dalam No 18 tahun 2009 ataupun PP no 95 tahun 2012.

AWOs berhasil mendorong terjadinya mekanisme pemantauan informal dari norma kesejahteraan hewan di level mikro untuk memperkuat proses lobi ke level makro. Hal ini terlihat dari keputusan Tripadvisor untuk menghapus  promosi Pasar Tomohon dalam situsnya, serta bentuk lainnya seperti petisi dan surat dari publik ataupun organisasi perlindungan yang hewan lainnya yang dikirim kepada pemerintah daerah dan pusat. Berbagai ketidaksetujuan sosial terhadap perdagangan daging anjing di Pasar Tomohon yang diperkiraan mempengaruhi citra Kota Tomohon ini turut menjadi bagian dalam pertimbangan pemerintah untuk merespon AWOs.

Pertemuan antara Pemerintah Kota Tomohon dan AWOs kemudian berkembang ke pembicaraan tentang kemungkinan terealisasinya kepentingan untuk mengakhiri perdagangan daging anjing di Pasar Tomohon. Upaya lobi AWOs yang memperoleh dukungan global terutama dari komunitas perlindungan hewan memang berhasil memperoleh perhatian dari Pemkot Tomohon. Namun AWOs belum berhasil mendorong pengambilan kebijakan atau institutional mechanism yang dapat mengakhiri perdagangan daging anjing ataupun menangani isu kesejahteraan hewan dalam kegiatan tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya hambatan institusional baik dari sisi elemen institusi formal maupun informal yaitu ketiadaan regulasi kesejahteraan hewan di tingkat daerah, kelemahan regulasi yang belum secara eksplisit melarang anjing untuk dikonsumsi dan keberadaan kebiasaan menjadikan anjing sebagai sumber pangan yang dianggap melekat dengan budaya orang Minahasa.

Pertimbangan pertama, institutional mechanism atas regulasi kesejahteraan hewan tidak menjadi langkah yang diambil Pemkot Tomohon karena belum adanya perda kesejahteraan hewan di Kota Tomohon. Pertimbangan kedua berkaitan dengan kelemahan regulasi yang mengatur tentang anjing di Indonesia. Indonesia belum memiliki aturan yang secara eksplisit melarang perdagangan daging anjing, menyatakan daging anjing bukan untuk dikonsumsi, ataupun menyatakan bahwa anjing bukan merupakan hewan untuk dikonsumsi (Subdit kesejahteraan, 2019); (Veteriner, 2021). Pelaksanaan mekanisme formal untuk mengakhiri perdagangan daging anjing itu sendiri seperti dengan mengambil kebijakan pelarangan atau penertiban perdagangan daging anjing belum menjadi pilihan Pemkot Tomohon karena belum adanya elemen institusi formal yang secara eksplisit melarang perdagangan daging anjing. Pertimbangan ketiga berkaitan dengan keberadaan elemen institusi informal berupa kebiasaan menjadikan anjing sebagai sumber pangan yang ada di masyarakat. Di kalangan masyarakat maupun pemerintah daerah sendiri terdapat pandangan bahwa praktik ini tidak hanya sebagai kebiasaan, tetapi menjadi bagian dari tradisi, budaya ataupun identitas komunitas Minahasa. Adanya hubungan antara kebiasaan makan dan kultur komunitas Minahasa ini membuat kebijakan untuk mengakhiri perdagangan daging anjing misalnya dalam bentuk pelarangan bukanlah menjadi kebijakan yang diharapkan.

Pertimbangan elemen-elemen institusi di atas menyebabkan AWOs belum berhasil mendorong institutional mechanism yang dapat mengakhiri perdagangan daging anjing di Pasar Tomohon. Misalnya dalam bentuk kebijakan pelarangan atau penertiban. Hal ini terjadi sebagaimana yang disampaikan (Nee, 2005) bahwa institusi dapat hadir sebagai kendala atau hambatan (constraints) bagi aktor rasional berkepentingan. Kedua elemen institusi yang berada di level mikro dan makro dapat dilihat sebagai hambatan bagi AWOs untuk merealisasikan kepentingannya.

Proses lobi antara AWOs dan Pemkot Tomohon bermuara pada alternatif kebijakan yang “soft” yaitu kebijakan pembatasan perdagangan daging anjing. Kebijakan pembatasan perdagangan daging anjing yang diambil Pemkot Tomohon tidaklah berbentuk aturan (formal rule) seperti peraturan walikota. Kebijakan ini lebih merupakan susunan rencana kegiatan pembatasan perdagangan dan konsumsi HPR (Hewan Penular Rabies) yang dikerjakan dinas-dinas terkait, misalnya Dinas Perhubungan, Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) dan Dinas Pertanian. Untuk versi singkat dari proses hingga hasil tindakan kolektif berupa kebijakan pembatasan dapat dilihat pada gambar  4.


 

Sebuah gambar berisi teks

Deskripsi dibuat secara otomatis

 

 

 

 

 

Gambar 4. Proses Tindakan Kolektif AWOs

Sumber: diolah oleh peneliti (2022)


Pengambilan kebijakan pembatasan perdagangan daging anjing mengacu pada ketersediaan institusi formal berupa peraturan daerah (perda) yang ada dan dapat dikaitkan dengan kegiatan ekonomi tersebut yaitu Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Rabies. Hasil wawancara dengan salah satu informan yang mewakili Pemkot Tomohon menunjukkan bahwa upaya pembatasan perdagangan daging anjing akhirnya dilakukan dengan pendekatan peraturan rabies karena belum adanya perda tentang kesejahteraan hewan. Oleh karena kebijakan ini mengacu pada perda rabies, maka tentunya sasaran dari penerapannya bukan hanya pada anjing tetapi juga kucing dan monyet sebagai HPR.

Kebijakan pembatasan merupakan upaya untuk meminimalisir atau juga dapat dilihat sebagai upaya yang secara tidak langsung diarahkan untuk mengakhiri perdagangan daging anjing di Pasar Tomohon. Terdapat 2 program utama dalam kebijakan ini yaitu program edukasi sebagai program jangka panjang dan pembangunan pos pengawasan lalu lintas HPR sebagai program jangka pendek.

 Dalam mengambil kebijakan yang strategis, Pemkot Tomohon melihat perdagangan daging anjing sebagai sebuah sistem (lihat gambar 3). Praktik ini dipandang tidak berdiri sendiri, tetapi ditopang oleh konsumen (masyarakat) dan pemasok anjing. Dua penopang inilah yang disasar Pemkot Tomohon dibanding langsung atau hanya pada kelompok pedagang daging anjing di Pasar Tomohon. Pertimbangannya, dengan memperlemah titik konsumsi dan pemasok anjing, diharapkan perdagangan daging anjing dapat diminimalisir secara tidak langsung atau perlahan-lahan. Untuk itu kebijakan ini sebetulnya diterapkan di Kota Tomohon, tidak hanya di Pasar Tomohon. Tetapi tujuannya memang untuk meminimalisir perdagangan daging anjing di Pasar Tomohon secara tidak langsung.

Kebijakan pembatasan perdagangan daging anjing sebagaimana telah dipaparkan di atas melibatkan kerjasama dengan AWOs khususnya AFMI dan AFA. AWOs tidak hanya datang membawa isu beserta data-data tetapi juga berkontribusi berupa ide atau gagasan mengenai program apa yang dapat dikerjakan sebagai bagian dari kebijakan pembatasan perdagangan daging anjing beserta dengan tawaran bantuan untuk melaksanakan program-program yang telah disebutkan di atas. Bantuan AWOs khususnya AFMI dalam kegiatan edukasi ke sekolah-sekolah. Sedangkan pos pengawasan lalu lintas hewan bekerjasama dengan koalisi AFA.

 

Kesimpulan

Pembahasan tentang tindakan kolektif AWOs melobi pemerintah untuk mengakhiri perdagangan daging anjing di Pasar Tomohon dari perspektif NIES sebelumnya menunjukkan bahwa tindakan kolektif yang didukung oleh mekanisme pemantauan informal merupakan bentuk respon sekaligus dukungan terhadap struktur makro kesejahteraan hewan. AWOs membawa isu yang disertai dengan data, solusi dan juga bantuan untuk mendorong institutional mechanism yang dapat mengakhiri perdagangan daging anjing di Pasar Tomohon sehingga isu kesejahteraan hewan di sana dapat tertangani. Hanya saja tindakan kolektif ini belum berhasil mendorong mekanisme tersebut karena adanya tiga hambatan institusional. Meskipun begitu, keberadaan institusi formal terkait rabies telah memungkinkan AWOs untuk mendorong kebijakan pembatasan perdagangan daging anjing yang tetap mengandung aspek-aspek kesejahteraan hewan di dalamnya. Kebijakan ini dapat menjadi landasan diadakannya institutional mechanism untuk melemahkan titik konsumsi dan pasokan dalam mata rantai perdagangan daging anjing ke depannya.

 

BIBLIOGRAFI

BPS. (2021). Badan Pusat Statistik Kota Tomohon dalam Angka 2021.

 

Creswell, J. W. (2010). Research design pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Google Scholar

 

Dewi, P. R. K., & Parameswari, N. W. R. P. S. (2019). Global Civil Society, Animal Welfare, and Cultural Value: Analysis of Dogs Are Not Food Movement in Bali.

 

DMFI. (2019). Impactful Actions to End the Dog Meat Trade Are Finally Being Taken in Indonesia.

 

Eijkelkamp, W. (2015). Your food is my friend! Universiteit Leiden, Cultural Anthropology and Development Sociology.

 

Handayani;, A. W. (2021). Sama-Sama Larang Penjualan Daging Anjing untuk Konsumsi, Ini Beda Sukoharjo dan Karanganyar.

 

Jaya. (2018). Bali mulai larang rumah makan sajikan menu masakan daging anjing.

 

Nee, V. (1998). Norms and networks in economic and organizational performance. The American Economic Review, 88(2), 85–89. Google Scholar

 

Nee, V., & Ingram, P. (1998). Embeddedness and beyond: institutions, exchange, and social structure. The new institutionalism in sociology19, 45. Google Scholar

 

Nee, V. 2005. The New Institutionalisms in Economics and Sociology. In The Handbook of Economic Sociology (pp 49-74). Russell Sage Foundation Google Scholar

 

Oh, M., & J. (2011). Animal rights vs. cultural rights: Exploring the dog meat debate in South Korea from a world polity perspective. Journal of Intercultural Studies, 32(1), 31–56. Google Scholar

 

Permana. (2021). Wali Kota Salatiga Larang Warganya Konsumsi dan Jual Beli Daging Anjing.

 

Resolute, P. (2016). Humanizing the non-human animal: the framing analysis of dogs’ rights movement in Indonesia. Masyarakat: Jurnal Sosiologi, 149–172. Google Scholar

 

Rhodin, H. (2018). Saving dogs from dinner plates: An analysis of Animal Welfare Organizations’ strategies to end South Korea’s dog meat trade through advocacy, civic engagement, and social change. Malmö universitet/Kultur och samhälle. Google Scholar

 

Sasadara, M. M. V., Timur, N. P. V. T., Puja, I. K., Dharmawan, N. S., & Hood, J. (2018). VPH-1 Turning Research into Results: Characterizing the Dog Meat Trade in Bali to Help End the Trade. Hemera Zoa. Google Scholar

 

Subdit kesejahteraan, H. (2019). Advokasi Mengatasi Perdagangan Daging Anjing Di Indonesia.

 

Veteriner, D. K. M. (2021). Upaya Pemerintah dalam Mengatasi Maraknya Konsumsi Daging Anjing dan Kucing.

 

Wolajan. (2018). Rabies dalam Perdagangan Daging Anjing di Sulawesi Utara.

 

Yin, R. K. (2009). Case study research: Design and methods (Vol. 5). sage. Google Scholar

 


 



Copyright holder :

Brigitha Prizelia Nanga, Nadia Yovani (2022)

 

First publication right :

Jurnal Syntax Transformation

 

This article is licensed under: