Jurnal
Syntax Transformation |
Vol. 1
No. 5, Juli 2020 |
p-ISSN :
2721-3854 e-ISSN : 2721-2769 |
Sosial
Sains |
SUATU
TINJAUAN HISTORIS KEBANGKITAN DIASPORA KETURUNAN ARAB DI INDONESIA
Samudra Eka Cipta
Program Sarjana Departemen
Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia
Email: samudra.eka@student.upi.edu
INFO ARTIKEL |
ABSTRAK |
Diterima 2 Juli 2020 Diterima dalam bentuk
revisi 15 Juli 2020 Diterima dalam bentuk
revisi 20 Juli 2020 |
Penelitian ini bertujuan untuk melihat semangat nasionalisme keturunan Arab Hadrami dalam membangun semangat identitas nasional Indonesia. Orang Arab Hadrami
telah lama didirikan dan menetap di Indonesia dan menetap
untuk waktu yang lama. Abdurahman Baswedan adalah tokoh dalam gerakan Arab di Indonesia
yang berhasil memobilisasi
dan mengumpulkan orang keturunan
Arab-Indonesia (Peranakan Arab dan Arab Totok) untuk bersatu dan menyatakan kesetiaan kepada nasionalisme Indonesia. Bentuk perjuangan yang dilakukan sendiri terwujud dalam gerakan sumpah Persatuan Arab-Indonesia dan membawa
pengaruh pada lembaga pendidikan Al-Irsyad sebagai lembaga pendidikan dengan orienatation Islam dan nasionalis
Dalam penelitian ini, ada beberapa
masalah yang dikaji, yaitu 1) bagaimana kondisi awal keturunan Arab dalam menangani nasionalisme di Indonesia?, 2) bagaimana peran Abudrahman Baswedan dalam memerangi nasib keturunan Arab di Indonesia? |
Kata kunci: A.R. Baswedan; Persatuan Arab Indonesia; Partai
Nasional Indonesia dan Partai Arab
Indonesia |
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, secara geografis
terletak di garis khatulistiwa dan diapit oleh dua
benua, yaitu Asia dan Australia serta dua
samudera, yaitu Pasifik dan Hindia.
Keadaan tersebut membuat
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya
alam dan juga kaya akan keberagaman masyarakatnya.
Negara Indonesia adalah
salah satu negara multikultur terbesar di dunia, hal ini
dapat terlihat dari
kondisi sosiokultural maupun
geografis Indonesia yang begitu kompleks, beragam,
dan luas (Ulaan, Lusiana, & Wahyudi, 2020).
Republik Indonesia adalah salah satu dari sekian
negara yang memiliki wilayah lautan
yang lebih luas dari daratan. Secara
teritoris, wilayah lautan
Indonesia mencakup 2/3 dari
total luas wilayahnya. Di sisi lain, letak Indonesia yang ada di antara dua
samudra dan benua juga memungkinanya memiliki sumber daya yang melimpah, iklim yang baik, serta pertumbuhan
ekonomi yang terbilang baik sejak beberapa
dekade terakhir. Di sisi lain, keberadaan rangkaian pulau-pulau cantik yang menjadikan Indonesia sebagai republik dengan wisata maritim
terbesar di dunia. Tak hanya itu, keberadaan
pulau-pulau tersebut juga menjadi magnet tersendiri dan tempat wisata bagi
turis lokal atau pun mancanegara (Simarmata, 2017).
Secara historis, awal kedatangan keturunan Arab telah dimulai ketika
awal perkembangan Islamisasi di Indonesia yang dibawakan
langsung oleh para pedagang
Arab. Bahkan beberapa sumber menyatakan bahwa kedatangan orang -orang
Arab dimulai pada abad ke 7 Masehi namun
dilakukan secara tahap demi tahap. Sebab utama dari
banyaknya orang Keturunan
Arab Hadrami yang melakukan
diaspora diakibatkan kondisi
politik saat itu banyakn terjadi
dinamika politik yang memaksakan untuk melakukan perjalanan ke berbagai tempat
yang semula hanya untuk melarikan diri.
Situasi politik dan keamanan di dalam negerilah yang mendorong
orang-orang Hadrami bermigrasi,
yang dimulai dari kalangan sayid alawiyin (keturunan Nabi Muhammad
melalui Fathimah dan Ali
bin Abi Thalib). Pada pertengahan
abad ke-8 dan 9, rezim Umayah dan Abasiyah menjadikan kalangan sayid target pembunuhan karena ditakutkan menjadi ancaman politik. Karena terus dikejar dan diintimidasi, mereka melarikan diri ke berbagai
penjuru daerah seperti Afrika, Hijaz, Persia, dan India. Ketika sesampainya di Nusantara keberadaan
orang-orang Arab Hadrami dicatat
oleh seorang biksu asal Tiongkok yakni
I-Tsing untuk mengetahui peran orang-orang Arab Hadrami dalam hal bidang
sosial dan keagaamaan. Kemudian oleh I-Tsing, seorang biarawan dari Cina
yang datang ke wilayah Sriwijaya yang menyatakan bahwa ada beberapa
desa Arab di sepanjang pantai timur Sumatra (Marwati
& Nugroho, 1992) Sebagian besar orang Arab yang berhenti di
Indonesia awalnya menetap untuk tujuan perdagangan.
Mempertimbangkan kondisi Selat Malaka sebagai
jalur perdagangan internasional yang akan terhubung langsung ke Arab-India-Cina.
Wilayah Sriwijaya adalah tempat persinggahan. Namun, lama-kelamaan mereka sering menetap
di wilayah Sriwijaya karena
dana terbatas, dan Komunitas
Arab Hadrami (Hadramaut) menjadi kelompok pertama yang berhenti dan menetap di Indonesia. Bukan hal yang aneh bagi
Komunitas Arab Hadrami untuk akhirnya berbaur dengan orang Indonesia Asli untuk membentuk
kelompok komunitas baru, 'Arab Peranakan'. Sedangkan
kelompok masyarakat Hadrami lainnya yang memelihara keturunan mereka membentuk kelompok etnik 'Kelompok Totok atau Sayid Arab'. Maka dari itu
A.R Baswedan sebagai pemilik darah keturunan
Arab merasakan perlunya persatuan di antara orang Arab baik peranakan maupun totok.
Hal yang menarik dari kegiatan
perdagangan yang dilakukan
oleh orang-orang Arab Keturunan Hadrami
dikarenakan saat itu para pedagang Arab yang mayoritas adalah laki-laki ketika datang ke Nusantara tidak membawa keluarga
mereka sehingga sesampainya di Indonesia banyak dari mereka yang pada akhirnya melakukan pernikahan denngan penduduk asli Indonesia sehingga terbentuklah apa yang dinamakan dengan golongn ‘Arab Peranakan’
yang merupakan hasil perkawinan silang antara Arab-Indonesia. Sehingga membawa pengaruh pada bidang kebudayaan. Masyarakat Keturunan Arab Hadrami juga membentuk lembaga pendidikan atau madrasah yang kesemuanya bermarga sayyid baik totok maupun peranakan. Sekolah inilah yang kemudian akan menghasilkan
golongan baru yang dikenal dengan habib. Penyebutan istilah orang-orang pribumi disebut sebagai Masyarakat Keturunan Arab
sebagai ‘’paman’’, dikarenakan mengingat banyak orang Arab Hadrami yang menikah dengan Masyarakat Pribumi.
Ketika Masa Kolonial Belanda dibentuklah perkampungan arab yang tersebar di berbagai pesisir Jawa dan Sumatera. Hal ini merupakan sebagai
bentuk dari kebijakan Kolonial Belanda untuk menghilangkan persatuan antara kum pribumi dengan
kaum Arab dan menghilangkan
persatuan sesama persatuan Arab. Diawal-awal perjuangan Keturunan Arab di
Indonesia mereka membentuk lembaga-lembaga pendidikan sebagai awal perintisan
Kebangkitan Arab di Indonesia. Kaum
Arab Hadrami mendirikan
kampung-kampung dan syarikat-syarikat yang semula untuk mengingatkan
kehadiran mereka tentang asal usul
nenek moyangnya. Sebelum didirikannya Al-Irsyad dididirikannya juga Jami’at Al-Khairiyyah atau Jamiat Kheir
yang bergerak pada bidang pendidikan. Metode pendidikan yang diajarkan adalah metode wathoniyyah yang artinya mengajarkan cinta tanah air dalam konteks wilayah Hadramaut Yaman. Semenjak munculnya Organisasi Al-Irsyad maka terjadinya persaingan antara Jamiat Kheir dan Al-Irsyad. Perbedaan dianatara kedua organisasi tersebut terletak pada perbedaan orientasi. Meskipun Al-Irsyad secara praktik
pendidikan mengikuti gaya Jamiat Kheir
akan tetapi perbedaanya adalah Al-Irsyad sangat mengedepankan
praktik pembelajaran yang merdeka.
Tentunya Al-Irsyad sangat
mengedepankan prinsip toleransi dalam proses pembelajarannya, secara definitif penerapan toleransi dalam pendidikan sangat mengacu kepada tingkat keadilan atau praktuk yang seara terhadap aturan pendidikan yang diterapkan oleh Al-Irsyad untuk menjamin kebebasan hak-hak kebebasan Individu dalam konteks sebagai
pelajar Al-Irsyad. Hal ini tersbeukti ketika Al-Irsyad membuka diri untuk
menerima keanggotaan dan pelajar yang bukan berasal dari Non-Hadrami seperti penduduk Pribui yng diperbolehkan untuk belajar bahkan
menjadi pimpinan cabang daerah yang dikembangkan oleh Al-Irsyad.
Sejak era Gerakan Indonesia tahun 1908-1920 bangsa Indonesia mulai mempertanyakan identitas kebangsaan sebagai upaya kesadaran nasionalisme Indonesia. Bangsa
Indonesia sudah mulai menyadari akan pentingnya Pergerakan Nasional
Indonesia untuk melepaskan dari pengaruh Kolonialisme
dan Imperialisme. Salah satu
organisasi pemuda paling kuat yang menggema persatuan nasional adalah Perhimpunan Indonesia
(PI). PI merupakan organisasi
pemuda yang terdiri dari pemuda Indonesia dari berbagai kelompok
etnis yang belajar di
Belanda. Pada saat itu, tidak ada lagi
rasa etnisitas dan kedaerahan
di antara mereka. Puncak rasa persaudaraan Bangsa Indonesia diadakan di Kongres Pemuda 1 dan Sumpah Pemuda 2. Kongres Pemuda diadakan pada 30 April - 2 Mei 1926 dipimpin
oleh Mochammad Tabrani.
Hasil Kongres Pemuda Pertama pada 28 Oktober 1928 diketuai oleh Soegondo Djojopoespito. Jumlah peserta yang mengikuti Kongres Pemuda dihadiri oleh berbagai organisasi pemuda seperti Jong Minahasa, Jong
Ambon, Masyarakat Pasundan, Boedi
Oetomo ,
Jong Java, Jong Islamieten Bond. Ada beberapa kelompok lain selain kelompok 'pribumi' yang juga berpartisipasi
dalam Kongres Sumpah Pemuda yang terdiri dari THHK (Tiong Hoa Hwee Kwan), dan Kelompok Pemuda keturunan Arab. Dikarenakan mereka juga berhak mengakui bagian dari Bangsa Indonesia. Karena
pada intinya, Bangsa
Indonesia adalah bangsa majemuk yang harus dijaga keberagaman untuk mencapai integrasi nasional dan pada saat yang sama memiliki agenda seperti itu demi Indonesia merdeka.
Metode Penelitian
Dalam metode penelitian
penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan melakukan deskriptif pada berbagai sumber literatur menggunakan artikel dan buku ilmiah sebagai sumber perbandingan dan juga menggunakan pendekatan metodologi historis yang terdiri dari heuristik,
kritik, interpretasi, penjelasan, dan historiografi. Metode penelitian sejarah adalah metode atau metode
yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan
penelitian ke dalam peristiwa sejarah dan masalah mereka. Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (sejarah sebagai aktualitas masa lalu) ke dalam
sejarah sebagai cerita (sejarah sebagaimana ditulis). Dalam lingkup Ilmu
Sejarah, metode penelitian ini disebut metode
historis (Kuntowijoyo & Cet III,
1999).
Hasil dan Pembahasan
1.
Riwayat Abudrahman Baswedan Abdurrahman.
Baswedan yang lebih
dikenal dengan nama AR Baswedan dilahirkan di Kampung Ampel,
Surabaya 9 Sepetember 1908. Terlahir
sebagai Abbudrahman bin Awad bin Umar bin Abubakar bin Muhammad bin Abdullah bin
Abdurrahman bin Ali Baswedan. Ayahnya
adalah seoranfg keturunan Arab keturunan yang lahir di Indonesia dan kakek dari garis ayahnya
adalah Umar merupakan seorang Arab Totok berasal dari Hadramaut,
Yaman. Baswedan merupakan lulusan dari Al-Irsyad dan disana bertemu dengan Syaikh Ahmad Sukrati beliau adalah seorang pendiri dari yayasan
tersebut, sekaligus orang
paling berpengaruh terhadap
pemikirannya dalam menumbuhkan rasa kebebasan serta ssangat pro terhadap kemerdekaan atau nasionalisme merupakan kehausan Baswedan kecil atas permasalahan dan keprihatinan yang dirasakan khsusnya sebagai Arab Peranakan (Buana,
2019).
Sejak kecil AR Baswedan sudah mempunyai tekad dalam menyatukan seluruh golongan Arab baik keturunan ‘’Sayid’’ maupun non ‘’Sayid’’ Ketika pada tahun
1927, diadakan sebuah acara
Perayaan Penutupan Sekolah Al-Irsyad semua orang yang hadir pada saat itu hampir
semuanya memberi sambutan serta pujian yang dilonrtarkan atas keberhasilan Yayasan Al Irsyad dalam mencetak
para alumni. Kecuali Baswedan
sebaliknya malah mengkritik yayasan tersebut seraya melontarkan sebuah kalimat.
‘’Syaikh Ahmad Sukrati yang mengajarkan kemederkaan
befikir selalu berkata:’’ jangan melihat orang yang berbicara tetapi
pikirkanlah apa yang dibicarakan’’. Karenanya, tidak
mesti apa yang saya katakan salah karena saya masih
muda, dan tidak berati pula Syaikh Sukrati selalu benar karena ia
adalah seorang ustadz’’ (Wahyuni,
2019).
Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun orang sehebat Ahmad
Sukrati tetapi tidak menutup kemungkinan juga memiliki segala kekurangannya. Syaikh Sukrati
wafat pada 16 September 1943, dimakamkan
di pemakaman Karet Tanah Abang, Bung Karno sendiri ikut mengantarkan
jenazahnya sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Bagi Bung Karno, Ahmad Sukrati adalah salah tokoh pelopor ‘’Gerakan Reformis Islam
Indonesia’’ yang ikut mempercepat
kemerdekaan Indonesia.
Menginjak usia dewasa AR. Baswedan nampaknya sangat tertarik pada dunia kejurnalistikan,
hal tersebut juga sebagai usaha dalam
berbaur dengan orang pribumi dan tionghoa. Tak ragu-ragu ketika
pernah bekerja di harian Sin Tit Po milik seorang Tionghoa yang bernama Liem Koen Hyan bahkan berguru
dengannya. Tak cukup sampai situ saja, demi rasa kenasionalismenya
AR. Baswedan juga pernah bekerja di harian ‘’Soeara Oemoem’’ yang menghantarkannya kepada perkenalan dengan Dr. Sutomo sebagai tokoh yang sangat aktif pada peristiwa 10 november 1945 (Olenka,
2014).
2.
Peranan Abdurahman
Baswedan Dalam Persatuan Keturunan Arab di
Indonesia
Deklarasi kebangsaan
yang dikumandangkan oleh berbagai
organisasi pemuda dalam Sumpah Pemuda
28 Oktober 1928 yang mana dapat
melintasi batas-batas etnik dan agama berpengaruh pada orientasi kebernegaraan komunitas ‘’Arab’’ di Indonesia. Deklarasi
keindonesiaan yang meliputi
identitas teritorial, kesejarahaan, bahasa, budaya, hak dan kewajiban serta kebangsaan mengintegrasikan semua etnik pribumi
dalam sebuah identitas tunggal yang akan menjadi pemandu
arah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Disadari atau tidak, deklarasi
kebangsaan ini menimbulkan kesulitan bagi komunias keturunan
Arab karena status hukum mereka sebagai orang asing dengan orientasi
kebernegaraan pada negeri yang amat
jauh yaitu Hadramaut. Akan tetapi , secara kultural
mereka terikat dengn budaya lokal
dimana mereka menetap. Atas tantangan inilah terciptlah sebuah gagasan yan dilakukan oleh AR Baswedan dalam berupaya untuk menyatukan seluruh keturunan Arab dan mengajak seluruh ulama maupun para pemuda keturunan Arab untuk menyatakan sebuah deklarasi ‘’Sumpah Pemuda Keturunan
Arab’’ pada tanggal 4 Oktober
1928 di Semarang.
Dibalik diadakannya
Sumpah Pemuda Keturunan Arab, terdapat sebuah agenda besar AR. Baswedan yakni dengan mendirikan sebuah organisasi kepartaian sama halnya dengan PNI (Partai Nasional Indonesia), maupun
PSI (Partai Sarekat Islam) Baswedan membentuk sebuah partai dengan
tujuan untuk menyalurkan seluruh aspirasi para pemuda keturunan Arab yang tinggal di
Indonesia saat itu. Maka dibentuklah sebuah gerakan kebangsaan yang bernama Persatuan Arab Indonesia (PAI) pada tahun
1934.
Diawal masa pembentukan PAI sempat terjadi penolakan dari kalangan Arab golongan Sayid (merupakan golongan yang mengaku langsung dari Rasulallah
SAW). Mereka telah membentuk kelompok tersendiri Arrabitah adalah organisasi bentukan golongan Sayid di Nusantara untuk mewadahi setiap kegiatan mereka yang tujuannya bisa dikatakan menjadikan mereka sebuah kemewahan
diri dalam artian mereka ingin
memperkuat perasaan bahwa mereka adalah
keturunan Nabi SAW. Berbeda
halnya dengan golongan bukan Sayid yang membentuk Al-Irsyad yang memfokuskan diri dalam bidang
sosial keagamaan (dalam Mardiati, Ani. 2013. Hlm. 65). Terjadi perseteruan diantara keduanya namun berhasil dipersatukan berkat kegighan yang dilakukan oleh AR. Baswedan. Bahwa PAI telah memberikan memberikan ruang baru bagi
perseteruan diantara kelompok sayyid, syaikh,
qabili, masakin,
totok, dan peranakan.
Pada tahun 1937 PAI berhasil
mengrimkan wakilnya ke volksraad
(suatu parlemen Belanda) yakni Sayyid Abdullah bin Salim al Attas.
Hal tersebut menunjukkan bahwa keberadaan PAI (Partai Arab Indonesia) tidak bisa diragukan terutama oleh Pejabat Tinggi
Belanda. Selama menjadi anggota volksraad PAI terus bersikap mengupayakan cita-cita Kemerdekaan Bangsa Indonesia khususnya para keturunan Arab Indonesia. Sikap dari orang-orang PAI selalu konsisten terhadap perjuangan Keturunan Arab
Indonesia yang berusaha untuk
melepaskan pengaruh tentang asal usul
mereka dan mengupayakan dirinya menjadi bagian Warga Indonesia. Tahun 1939 PAI secara resmi menjadi anggota
GAPI (Gabungan Politik
Indonesia) (Amaruli,
Maulany, & Sulistiyono, 2018).
Upaya pembentukan persatuan keturunan Arab di
Indonesia yang dilakukan oleh A.R. Baswedan tampaknya mendapat tantangan terutama dari kalangan
Sayyid. Bagi kalangan
Sayyid, nasab atau garis keturunan sangat diperlukan karena untuk mengetahui
di mana perasaan mereka. Kelompok Sayyid ini akan mengklaim diri mereka sebagai
Habaib. Namun, ini berbeda dari
komunitas Peranakan Arab di mana kelompok
ini mengatakan bahwa garis keturunan
atau garis keturunan tentang asal mereka tidak
penting. Mereka mengakui bahwa mereka adalah bangsa
Indonesia karena ada pihak dari wilayah Indonesia asli.
Mereka Masyarakat Peranakan Arab percaya
bahwa dalam Islam mereka memiliki satu keturunan yang sama yaitu Ibrahim. Angka A.R. Baswedan digunakan sebagai simbol ofensif Nasional dan Menyatukan keturunan Arab di Indonesia. Abdurahman
Baswedan menggabungkan kekuatan internal sambil membangun komunikasi dengan pihak luar,
yaitu gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia lainnya, seperti Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, dan Moehammad Husni Thamrin. Pada 21 Mei 1939,
PAI juga bergabung dengan Gerakan
Politik Indonesia (GAPI) yang dipimpin
oleh Moehammad Husni Thamrin.
Dalam GAPI ini, partai-partai politik sepakat untuk menyatukan
diri dalam konteks negara yang kemudian disebut Indonesia. Berkat dimasukkan dalam GAPI ini, posisi PAI sebagai gerakan politik dan nasional semakin kuat. Selain
dimasukkan dalam GAPI, Abdurahman Baswedan juga membawa PAI ke dalam lingkaran gerakan politik nasional yang lebih luas dengan memasuki
Majelis A’la Islam
Indonesia (MIAI) pada tahun 1937. Pada tahun 1948, ketika Belanda melakukan agresi militer Belanda yang berupaya mengurangi Sebagai kekuatan pemerintah Republik Indonesia, ada upaya yang dilakukan oleh karir Abdurahman Baswedan setelah kemerdekaan Indonesia sebagai
Wakil Menteri Informasi menjadi
salah satu delegasi yang bergabung dengan kelompok Menteri Luar Negeri H. Agus Salim ke sejumlah
negara Timur Tengah. Mereka pergi
ke luar negeri untuk mencari dukungan
dan pengakuan dari negara
lain untuk kemerdekaan
Indonesia. Salah satunya adalah
Mesir, di sana Abdurahman Baswedan adalah pihak yang menjembatani upaya persahabatan Sukarno dengan Gamal
Abdel Nasser. Dan terakhir Pada 1950-an, A.R. Baswedan bergabung dengan Partai Masyumi.
A.R. Baswedan menjadi pejabat tinggi partai Islam terbesar dalam sejarah Indonesia.
Deliar Noer menyimpulkan
bahwa A.R. Baswedan termasuk dalam kelompok pendukung Moh. Natsir di Masyumi. Hingga akhirnya sosok pemersatu bangsa Arab itu meninggal pada usia 77 tahun pada 16 Maret 1986 di Jakarta dan jasa-jasa
dalam upaya mempersatukan para Keturunan Arab
semakin dikenang oleh Bangsa Indonesia khususnya Keturunan Arab di Iandonesia (Saefullah
Hikmawan 2013. hlm. 20).
Pada bidang sosial, Abdurahman Baswedan bersama dengan beberapa tokoh dari kalangan Jami’at
Kheir sepakat untuk mengadakan kerjasama sekaligus mendirikan suatu lembaga pencatatan bagi para keturunan Arab di
Indonesia yakni lembaga al-Rabithatoel al-Alawijah. Lemnbaga ini berfungsi untuk mencatat terutama para Keturunan Arab Hadrami untuk dicatat dan diketehui nasab dan marga leluhur mereka
seperti Assegaf, Syihab, Al-Hadad, Al-Habshi, Al-Attas, Bawazir dan sebagainya serta menentukan apakah seorang dari Keturunan Arab Hadrami apakah sesuai dengan marga-marga
yang dimaksud atau tidak. Al-Rabithah Al-Alawiyyah memainkan peranan penting dalam kepentingan nasional secara perorangan dan kolektif melalui lembaga pendidikan formal, pesantren, perkumpulan keagamaan informal, perkumpulan dzikir (ingatan), dan melalui pusat pelatihan yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Hal ini juga berpartisipasi dalam mendidik kehidupan dewasa bangsa, perkembangan ekonomi rakyat serta menanamkan
nasionalisme.Selain memberikan beasiswa, setiap tahun organisasi
mendistribusikan Zakat kepada
orang miskin. Adapun sumber utama
dana untuk organisasi adalah melalui kontribusi masyarakat, serta melalui bisnis
nirlaba.
3.
Dibubarkannya Partai
Arab Indonesia Melalui Partai
Arab Indonesia, AR.
Baswedan dan gerakannya
sekaligus menafikan previlage perlakuan hukum (kelas Timur Asing) yang diberikan oleh Pemerintah Kolonial terhadap etnik Arab. Satatus yang dinimkati oleh keturunan Arab dengan sejumlah fasilitas yang dimiikinya juga memisahkan mereka dari kaum
pribumi yang juga merupakan
bagian dari keluarga mereka.
Namun sayang partai
bentukan AR. Baswedan nampaknya tidak bertahan lama hampir sepuluh tahun partai
ini kemudian dibubarkan oleh Jepang pada tahun 1942 karena dianggap terlalu berbahaya bagi Jepang. Sampai saat pasca kemerdekaan
AR. Baswedan tetap dengan pendiriannya bahwa tidak akan
menghidupkan kembali PAI dengan alasan tujuan
PAI untuk mencapai
Indonesia yang merdeka sudah
tercapai. Dengan demikian, kepentingan politik komunitas keturunan Arab tidak lagi memiliki wadah.
Untuk artikulasi kepentingan politik, semua kader eks
PAI maupun para simpatisan dianjurkan oleh AR. Baswedan untuk bergabung pada partai politik yang ada. AR. Baswedan juga paham betul mengenai
gagasan-gagasan pada kadernya
tersebut dengan memaknainya kebangsaan dan ideologi politiknya berbeda. Sehingga pasca kemerdekaan tidak lagi dengar
‘’PAI Baru’’. Meskipun demikian AR. Baswedan tetap mempertahankan idealismenya dalam mengakui Kemerdekaan Indonesia.
Hal tersebut dapat dibuktikan ketika tahun 1947 dia pergi ke Mesir
untuk mendapatkan dukungan Mesir atas Indonesia. AR. Baswedan juga
mempertahankan bidang pendidikan dan menjaga lembaga pendidikan khusus keturunan Arab yang sudah ada sebelumnya
seperti Jamiat Kheir, Al Irsyad Al Islamiyah,
dan Ar Rabithah Al Alawiyah hingga ketiga lembaga pendidikan tersebut menjadi lembaga pendidikan Islam terbesar. Tujuan dibubarkannya Partai Arab Indonesia saat itu A.R. Baswedan sudah tidak ada
lagi pengaruh kolonialisme di Indonesia, mengingat
Bangsa Indonesia sudah merdeka meskipun pada kenyataanya terjadi pergolakan politik baik dalam negeri maupun luar negeri ditambah munculnya berbagai gerakan separatis sebagai upaya pembentukan negara boneka buatan Kolonial
Belanda yang diprakasai oleh Van Mook.
Sikap Keturunan Arab terhadap pembentukan negara boneka yang dilakukan oleh NICA dengan melibatkan sebagian dari mereka
untuk bergabung untuk menjadi Tentara
Pelajar dan Laskar Hisbullah yang diketuai oleh K.H.
Wahab Hasbullah sebagian lainnya tetap berjuang
melalui bidang politik dan pendidikan sebagai upaya untuk
mengadakan kegiatan perjuangan karena seyogyanya mereka sadar bahwa sejak
lama para Keturunan Arab sangat
dibatasi dalam hal sosial dan keagamaan dengan dibentuknya kampung arab sebaga bentuk diskriminasi
oleh Kolonial Belanda antara
masyarakat keturunan dengan masyarakat pribumi saat itu
sehingga Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia merupakan
masa penting bagi terwujudnya semangat nasionalisme diantara keturunan Arab di Indonesia dengan
melibatkan A.R.
Baswedan sebagai
motor dari perjuangan keturunan Arab-Indonesia. Abdurahman
Baswedan Dalam Hubungan Al-Irsyad-Masyumi
Semenjak didirikannya
Lebaga Pendidikan Al-Irsyad,
poly anak didik berasal Al-Irsyad yang sudah tertarik pada dunia politik. Hal tadi ketika didirikannya PAI (Partai Arab Indonesia) poly anak didik-anak didik Al-Irsyad bergabung pada pembentukan partai tersebut. namun sebagian lainnya enggan untuk bergabung
di organisasi tadi menggunakan masalah perbedaan orientasi yang hanya serius pada duduk perkara ke-Islaman. Maka, waktu Ahmad Hassan mendirikan Organisasi Persatuan Islam (PERSIS), sebagian
murid yang enggan masuk ke PAI lebih memilih
buat bergabung ke organisasi tadi.
ke 2 organisasi tadi baik PAI juga PERSIS mempunyai bentuk orientasi politik yang tidak sama. PAI lebih mengutamakan semangat nasionalisme, sedangkan PERSIS sangat mengedepankan ideologi Islam. Bahkan Ahmad Hassan sempat berdebat menggunakan Soekarno saat keduanya sedang
mengadakan diskusi terbuka pada Bandung tahun 1924.
Soekarno ketika itu menjadi mahasiswa teknik sipil di ITB sedangkan kedatangan Ahmad Hassan
ke Bandung pada mulanya buat menyelidiki produksi kain tenun
di Bandung. Tema yg diperdebatakan yakni masalah pembentukan negara sekuler dalam pemerintahan.
Ahmad Hassan tentunya sangat
menentang pembentukan
negara sekuler sedangkan
Soekarno sangat mendukung pembentukan dengan ciri-ciri ke-Indonesiaan yang dicita-citakan di Organisasi PNI (Partai Nasional Indonesia) (Indriani,
Niswah, & Arifin, 2017). Maka disinilah
terjadi pembentukan dua grup pemikiran
besar antara Pro Nasionalis serta Pro Agamis. Meskipun Al-Irsyad mengutamakan persatuan namun perbedaan ideologi diantara keduanya permanen terjadi, bahkan sisa-sisa berasal pengikut Jami’at Kheir juga.
Ketika Masa Mempertahankan Kemerdekaan
Indonesia atau lebih dikenal menggunakan Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia,
Al-Irsyad ditutup dan banyak kader dan anggota Al-Irsyad ikut berperang pada menghadapi Masa Kemerdekaan
Indonesia. Tahun 1949 Al-Irsyad
dihidupkan pulang selesainya mengalami masa vacuum hampir 6 tahun. Pengaktifan kembali organisasi Al-Irsyad dilakukan Muktamar Al-Irsyad ke-27 di Pekalongan pada tahuun 1949 dalam rangka reorganisasi dan rehabilitasi Organisasi Al-Irsyad menjadi organisasi yang mempunyai orientasi pada bidang pendidikan dan sosial. Abdurahman Baswedan kemudian memimpin Al-Irsyad dengan memasukkan
kurikulum baru berakibat Bahasa Indonesia sebagai
bahasa pengantar. Selama gaya kepemimpinan
Abdurahman Baswedan status
Al-Irsyad telah dinaungi oleh Kementrian
Pendidikan sehingga kurikulum
yang semula mengajarkan wathoniyyah digantikan dengan kurikulum yang dirancang oleh pemerintah. (Padmo,
2012, hlm. 8).
Pada tahun yang sama,
AR. Baswedan bergabung dengan Partai Masyumi.
AR. Baswedan menjadi pejabat tinggi partai Islam terbesar dalam sejarah Indonesia. Deliar Noer menyimpulkan
bahwa AR. Baswedan termasuk dalam kelompok pendukung Moh. Natsir di Masyumi. Pada sejarah partai
Masyumi, tekad untuk menjadikannya sebagai partai tunggal dalam Islam membuahkan dua jenis keanggotaan didalam partai tersebut. Kedua jenis keanggotaan tersebut adalah anggota biasa dan anggota organisasi atau anggota istimewa.
Syarat minimal usia 18 tahun untuk anggota
perseorangan. Setiap anggota akan diberikan
KTA (Kartu Tanda Anggota). Anggota istimewa Masyumi awalnya terdiri dari Muhammadiyah, NU, Perikatan Umat Islamm dan Persatuan Umat Islam, dan Al-Irsyad. Jumlah anggota kemudian terus bertambah dan Masyumi tetap memperluas pengaruhnya dengan mendirikan berbagai organisasi yang sifatnya otonom seperti Serikat Tani Islam Indonesia
(STII), Serikat Buruh Islam
Indonesia (SBII) yang tujuannya untuk
menyaingi keberadaan Serikat Buruh Komunis
(SOSBI) juga pembentukan ranting-ranting hingga ke pedesaan. Pada 31 Desember
1950, Masyumi telah tercatat memiliki 237 cabang, 1080 aanak cabang, 4982 ranting dan kurang lebih 10 juta anggota.
Jumlah anggota yang besar dikarenakan pola pendekatan Masyumi yang berusaha untuk menggaet suara anak muda
dengan pola tarbiyah dalam praktik yang diajarkan oleh Masyumi. Sehingga banyak kelompok pemuda Islam salah satunya kelompok Al-Irsyad yang tertarik dan memutuskan untuk bergabung menjadi anggota atau kader Masyumi.
Sehingga dapat dikatakan
hubungan antara Al-Irsyad dengan Masyumi
seakan memiliki kedekatan secara politik meskipun sebenarnya Al-Irsyad tetaap berorientasi pada bidang pendidikan. Organisasi ini seakan kehilangan figure pasca meninggalnya Ahmad Sukrati dan arah orientasi yang jelas dalam perjalanan Lembaga
Pendidikan Al-Irsyad (Cipta,
2020).
Partai-partai besar mirip Masyumi membuahkan
Al-Irsyad sebagai bagian berasal kadernya dengan menggerakkan massa simpatisan dari Al-Irsyad sedangkan para pengurus besar Al-Irsyad tidak terlibat di bidang politik. banyak pemuda Al-Irsyad yang bergabung ke GPII (Gerapakan Pelajar Islam Indonesia) mereka mendukung Masyumi secara penuh dana-dana yang shearusnya dialokasikan untuk kepentingan Pendidikan Al-Irsyad disumbangkan buat kepentingan Masyumi. sebagai akibatnya banyaknya anggota Al-Irsyad yang bergabung ke Masyumi
merusak upaya reorganisasi kembali organisasi tersebut. sebagai akibatnya berdampak di kurangnya jumah kader muda
Al-Irsyad serta Al-Irsyad hanya dijalankan
sang pengurus senior menggunakan
tidak lagi melibatkan kiprah pemuda Al-Irsyad (Padmo, 2012).
Pada
tahun yang sama, AR. Baswedan bergabung dengan Partai Masyumi.
AR. Baswedan menjadi pejabat tinggi partai Islam terbesar pada sejarah Indonesia. Deliar Noer menyimpulkan bahwa AR. Baswedan termasuk dalam kelompok pendukung Moh. Natsir pada Masyumi. di sejarah partai Masyumi, tekad buat menjadikannya
menjadi partai tunggal dalam Islam berakibat 2 jenis keanggotaan didalam partai tadi. ke
2 jenis keanggotaan tadi ialah anggota
biasa dan anggota organisasi atau anggota spesial.
syarat minimal usia 18 tahun buat anggota
perseorangan. Setiap anggota akan diberikan
KTA (Kartu tanda Anggota). Anggota Istimewa Masyumi awalnya terdiri asal Muhammadiyah, NU, Perikatan Umat Islamm serta Persatuan
Umat Islam, dan
Al-Irsyad. Jumlah anggota kemudian terus bertambah dan Masyumi permanen memperluas pengaruhnya dengan mendirikan berbagai organisasi yang sifatnya otonom mirip serikat
Tani Islam Indonesia (STII), serikat
Buruh Islam Indonesia (SBII) yang tujuannya
buat menyaingi keberadaan perkumpulan Buruh Komunis (SOSBI) pula pembentukan ranting-ranting sampai
ke pedesaan. pada 31 Desember
1950, Masyumi sudah tercatat mempunyai 237 cabang, 1080 aanak cabang, 4982 ranting dan
sekitar 10 juta anggota. Jumlah anggota yang besar dikarenakan pola pendekatan Masyumi yang berusaha buat menggaet
suara anak muda dengan pola
tarbiyah dalam praktik yang diajarkan sang Masyumi. sebagai akibatnya banyak kelompok pemuda Islam galat satunya kelompok
Al-Irsyad yang tertarik
dan menetapkan
buat bergabung menjadi anggota atau kader Masyumi.
sebagai akibatnya bisa dikatakan hubungan antara Al-Irsyad menggunakan Masyumi seakan mempunyai kedekatan secara politik meskipun sebenarnya Al-Irsyad tetaap berorientasi
pada bidang pendidikan. Organisasi ini seakan kehilangan figure pasca meninggalnya Ahmad Sukrati serta arah
orientasi yang jelas dalam perjalanan lembaga Pendidikan Al-Irsyad.
Masyumi ialah partai yang hampir holistik anggotanya terdiri dari kelompok Nahdlatul
Ulama, Muhammadiyah, Persis, dan sebagian kader Al-Irsyad yang merepresentasikan islamis tradisional, moderat, serta islam-nasionalis. Partai tersenut didirikan untuk melakukan aspirasi perpolitik Umat Islam sekaligus partai yang mewakili kalangan santri. saat Masyumi dibubarkan
pada 13 September 1960, poly yang menduga bahwa artinya kekalahan
bagi kalangan santri dikanrenakan kebanyakan anggota Masyumi ialah santri
atas pertarungan menggunakan kaum abangan yang mewakili partai-partai nasionalis serta komunis. sebagai akibatnya saat dibubarkannya Masyumi poly
orang-orang Masyumi yang pada akhirnya
melakukan manuver politiknya dengan bergabung kepada partai pemerintah bahkan poly yang menentukan buat bergerak di bidang sosial-pendidikan.
Saat ini Al-Irsyad sejak
didirikannya bertujuan memurnikan tauhid, ibadah serta amaliyah Islam. berkiprah di bidang pendidikan serta dakwah. untuk merealisasikan
tujuan ini, Al-Irsyad telah mendirikan
ratusan sekolah formal serta lembaga pendidikan
non-formal pada seluruh Indonesia. serta dalam perkembangannya
lalu, kegiatan Al-Irsyad pula merambah bidang kesehatan, menggunakan mendirikan beberapa rumah sakit. di bidang sosial forum Al-Irsyad sudah mempunyai forum Amil Zakat
yang akan disumbangkan bagi masyarakat Kurang mampu yang dilakukan melalui acara zakat fitrah dan pembagian daging kurban setiap
Bulan suci Ramadhan.
Kesimpulan
Peran Kaum Arab di Indonesia tidak terlepas dari upaya
A.R. Baswedan dalam mempersatukan para Keturunan Arab
di Indonesia melalui gerakan
Sumpah Keturunan Arab di
Indonesia. Keberhasilan dalam
mempersatukan Keturunan
Arab Indonesia membawa semangat
baru dalam gerakan dan gagasan perjuangan yang dibawakan oleh dirinya sebagai bentuk upaya untuk
mempersatukan Keturunan
Timur Asing di Indonesia. Bukan
hanya dari kalangan Keturunan Arab saja melainkan seluruh Keturunan Tionghoa dan India juga membangun
relasi dengan A.R. Baswedan sebagai tokoh pergerakan nasional Indonesia. Sosok Abdurahman Baswedan juga dikenal sebagai sosok yang berusaha memperjuangkan hak sebagai warga negara Keturunan Arab di Indonesia dengan
yang memiliki perjuangan
dan semangat persatuan dan kesatuan melalui bidang pendidikan seperti Al-Irsyad yang terus melakukan perjuangan. Tahun 1950 menjadi catatan penting bagi A.R. Baswedan selama memimpin gerakan Al-Irsyad yang berhasil mengakomodir atau berafiliasinya Al-Irsyad dengan Masyumi meskipun Masyumi dibubarkan oleh Pemerintah pada
13 September 1960, sikap yang ditujukan
oleh Abdurahman Baswedan terus memperjuangkan nasib Keturunan Arab di Indonesia
dengan bergabungnya pada kelompok pemerintah yang cenderung nasionalis.
Meskipun pada perkembangan selanjutnya hingga berlanjut pada Masa Reformasi
internal Al-Irsyad mengalami
perpecahan. Perpecahan tersebut dikarenakan sebagai buntut panjang Masa Orde Baru ketika mulai
menerapkan Azas Tunggal Pancasila sebagai
dasar mutlak dalam pelaksanaan praktik pendidikan yang diatur dalam P4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila). Panduan P4 dibentuk berdasarkan
Ketetapan MPR no. II/MPR/1978. Tidak
semua anggota kelompok Al-Irsyad mendukung P4 dikarenakan sebagian dari mereka
mengingkan agar ideologi
Islam sebagai ideologi kuat dalam melaksanakan
program pendidikan hingga sampai politik praktis. Maka dampakya
Al-Irsyad terbagi menjadi dua yakni
Al-Irsyad Baru yang didominasi oleh kelompok Salafi-Islami dengan kelompok
Al-Irsyad Lama yang didominasi
oleh kelompok Hadrami Tulen yang berjiwa nasionalisme.
Bibliografi
Amaruli, R.
J., Maulany, N. N., & Sulistiyono, S. T. (2018). Sumpah Pemuda Arab, 1934:
Pergulatan Identitas Orang Arab-Hadrami di Indonesia. Jurnal Sejarah Citra
Lekha, 3(2), 122–132.
Buana,
E. G. (2019). Peran Hamid Algadri dan Keturunan Arab dalam Dinamika Politik
Kemerdekaan Indonesia 1931-1978. UIN Sunan Ampel Surabaya.
Cipta,
S. E. (2020). Kaum Arab Hadrami Dalam Sejarah Perkembangan Lembaga Pendidikan
Al Irsyad (1918-1950). AL-MISBAH (Jurnal Islamic Studies), 8(2),
52. https://doi.org/10.26555/almisbah.v8i2.1962
Indriani,
M., Niswah, C., & Arifin, S. (2017). Pengembangan Lembar Kerja Peserta
Didik (LKPD) Berbasis Inkuiri Terbimbing pada Materi Transformasi Geometri. Jurnal
Pendidikan Matematika RAFA, 3(2), 165–180.
Kuntowijoyo,
I. P. U. I., & Cet III, B. (1999). Paradigma Islam. Interpretasi Untuk
Aksi, Cet VIII, Bandung: Mizan.
Marwati,
D., & Nugroho, N. (1992). Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI.
Jakarta: Balai Pustaka.
Olenka,
E. (2014). Perjuangan Ar Baswedan Pada Masa Pergerakan Sampai Pasca Kemerdekaan
Indonesia Tahun 1934-1947. Avatara, 2(3).
Padmo,
S. (2012). Gerakan Pembaharuan Islam Indonesia Dari Masa Ke Masa: Sebuah
Pengantar. Humaniora, 19(2), 151–160.
https://doi.org/10.22146/jh.v19i2.899
Saefullah
Hikmawan. (2013). Kaum Arab Hadrami di Indonesia : Sejarah dan Dinamika
Diasporanya # 2. Academia, 2, 1–8.
Simarmata,
P. (2017). Hukum Zona Ekonomi Eksklusif dan Hak Indonesia Menurut Undang-Undang
RI Nomor 5 Tahun 1983. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 2(2),
108–123.
Ulaan,
G. F., Lusiana, N. A., & Wahyudi, K. E. (2020). Implementasi Nilai
Kesadaran Berbangsa Dan Bernegara Di Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Syntax, 2(6), 57.
Wahyuni,
A. (2019). Peran AbdulRahman Baswedan dalam Memeperjuangkan Kemerdekaan
Indonesia Tahun 1934-1947. Universitas Islam Negeri Serang Banten.